Rabu, 26 Februari 2014

Wilayah Perbatasan, (Harusnya) Pintu Gerbang Negara


Pengantar

Data yang dipaparkan oleh Direktorat Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal Bappenas menyatakan bahwa luas total garis pantai di Indonesia berjumlah 81.900 kilometer. Dominasi wilayah laut dari salah satu negara kepulauan dan maritim terbesar di dunia ini menyebabkan adanya batas perairan dengan wilayah negara lain. Wilayah laut Indonesia berbatasan dengan 10 negara, yaitu India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Kepulauan Palau, Australia, Timur Leste, dan Papua Nugini. Perbatasan langsung dengan perairan negara lain tersebut sehingga ada istilah pulau-pulau terluar, jumlahnya mencapai 92 pulau. Selain batas laut, ada pula batas darat yang memisahkan daratan Indonesia dengan beberapa negara tetangga. Negara yang berbatasan darat langsung dengan negara kita adalah Malaysia, Timur Leste, dan Papua Nugini. Jika dirinci, batas-batas itu tersebar di 3 pulau, 4 provinsi, dan 15 kabupaten/kota. Masalah krusial yang masih menjadi pekerjaan rumah rumit bagi pemerintah adalah terkait paradigma berpikir. Bahkan kita semua, tidak hanya pemerintah, masih memandang wilayah perbatasan sebagai suatu entitas kumuh, jauh dari peradaban, kurang menarik bagi investor, sehingga jarang dilakukan pembangunan infrastruktur. Kita masih melihat dengan sudut pandang inward looking, belum serta merta menggunakan outward looking. Jadilah kemuadian wilayah perbatasan seakan menjadi ‘pelengkap’ eksistensi sebuah negara kepulauan terbesar di dunia.

Konstitusi Wilayah Pesisir & Pulau Kecil

Potensi kekayaan bahari yang terkandung di perairan Indonesia sungguh sangat istimewa. Seluruh dunia tidak ada yang pernah mengingkarinya, Indonesia kini adalah negara kaya yang (hanya) belum mampu memaksimalkan potensi alamnya. Rencana pengelolaan wilayah laut di Indonesia bisa dikatakan cukup lamban. Peraturan tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara masif baru saja disusun pada tahun 2007, itu pun hanya dalam bentuk Rancangan Undang-Undang. Pada akhir tahun 2013 yang lalu, Kementerian Kelautan dan Perikanan akhirnya menyerahkan RUU yang telah digodok untuk disahkan oleh DPR. Kini, peraturan itu telah berbentuk Undang-Undang yang berlaku formal sebagai ‘izin’, tidak lagi berupa ‘hak’(Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil). Hal ini berarti bahwa individu atau kelompok yang punya wewenang untuk mengelola wilayah perbatasan dan pulau kecil adalah hanya mereka yang telah mendapatkan izin dari pemerintah (dalam hal ini diwakili Kementerian Kelautan dan Perikanan). Pengecualian dalam peraturan tersebut adalah hak bagi nelayan tradisional dan tanah adat. Dua elemen itu dijamin hak-haknya dalam mengelola potensi alam di sekitar lokasi hunian mereka. Pemerintah bermaksud untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal demi mendukung konsep otonomi daerah. Pemerintah juga merespon Undang-Undang itu dengan menyusun RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) sejak tahun 2004, kemudian diperbaharui lagi untuk periode 2010-2014. Konsep yang ditawarkan untuk wilayah perbatasan itu tidak hanya mengutamakan segi keamanan (security), namun juga mengedepankan aspek kesejahteraan (prosperity). Rencana pembangunan itu menekankan bahwa pengembangan wilayah perbatasan menjadi salah satu prioritas utama pemerintah. Apakah kini semua konstitusi yang disusun dan diperuntukkan untuk pengelolaan wilayah perbatasan, pesisir, maupun pulau-pulau kecil sudah tepat mengenai sasaran?

Apa Kata Mereka?

Setiap penyusunan sebuah peraturan yang menyangkut hajat hidup orang banyak selalu mendatangkan gelombang pro-kontra. Jika pemerintah merasa bahwa dengan mengesahkan Undang-Undang ini mereka telah mendekatkan masyarakat dengan kesejahteraan, maka tidak begitu halnya dengan beberapa NGO atau LSM yang terkait. Salah satu lembaga independen yang mengkritik kebijakan pemerintah terkait pengesahan peraturan itu adalah KIARA (Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan). Mereka mempermasalahkan tentang proses penyusunan dan konten peraturan.

  • [Proses] persetujuan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang tidak melibatkan partisipasi nelayan tradisional dan tambak secara terbuka
  • [Konten] Undang-Undang berpotensi menyalahi amanat UUD 1945 Pasal 28 ayat 2 karena pemerintah melakukan penyetaraan antara masyarakat nelayan tradisional dan pihak swasta.
  • [Konten] Satu sisi pemerintah mengecualikan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk sepenuhnya dikelola oleh masyarakat adat, namun di sisi lain masih dikonfrontasikan dengan “mempertimbangkan kepentingan nasional dan peraturan perundangan”. Pemerintah dianggap membiarkan bola salju ketidakpastian untuk tetap mengambang dan rentan penyalahgunaan.
  • [Konten] Ketika sistematika hak berubah menjadi perizinan, maka perizinan dibagi menjadi dua bagian (izin pengelolaan dan izin lokasi). Namun skema ini tidak menunjukkan perlunya persetujuan nelayan tradisional dan masyarakat adat dalam perizinan.
  • [Konten] Pada materi pasal 26 A dinilai malah dapat mempermudah penguasaan sumber daya alam oleh pihak asing dengan kedok skema investasi.
  • [Konten] Menteri dinilai mendapat kewenangan yang terlalu luas dalam merubah peruntukkan lahan dan zona inti pada kawasan konservasi.
Pemerintah langsung menanggapi secara diplomatis pernyataan yang dilontarkan oleh salah satu LSM yang membawa hasil kajian tersebut. Kementerian Kelautan dan Perikanan merasa telah melibatkan semua stakeholders sebelum akhirnya mengesahkan Undang-Undang yang dimaksud. Pihak yang turut dilibatkan adalah dosen-dosen perguruan tinggi dan berbagai LSM. Semua dimaksudkan untuk mendapat aspirasi, kritik, dan saran yang membangun bagi daftar inventasrisasi masalah.

Selain dua pihak diatas, kedua calon Presiden dari Konvensi Demokrat (Gita Wiryawan dan Dino Pati Djalal) memiliki pandangan yang hampir sama ketika berbicara mengenai wilayah perbatasan. Mereka menilai bahwa daerah perbatasan adalah wilayah penting bagi eksistensi Indonesia selama ini, karena langsung berbatasan dengan wilayah negara lain. Mereka yang hidup di ‘serambi Indonesia’ akan mudah luntur nasionalismenya jika pemerintah pusat tidak secara kontinyu memperhatikan nasib mereka, terutama dalam hal pembangunan. Contoh kecilnya saja, masyarakat di perbatasan lebih memilih untuk berjual-beli di negara tetangga dari pada harus ke pusat kota Indonesia, selain lebih murah harganya, juga fasilitas dan kenyamanan lebih lengkap dirasa. Belum lagi berbicara masalah isu mudahnya para misionaris yang melancarkan aksi pemurtadan di wilayah-wilayah rentan seperti pulau-pulau perbatasan negara. Semuanya akan semakin rumit saat pemerintah tetap ‘meng-anaktiri-kan’ masyarakat wilayah pesisir dan perbatasan.

Kongklusi

Terlepas dari klaim yang benar dan yang salah dalam perbedaan pandangan terhadap peraturan, maka kita dapat mengambil sebuah benang merah yang setidaknya bisa menjadi tujuan bersama. Wilayah perbatasan adalah bagian dari kesatuan negara Indonesia. Jika mau menganalogikan wilayah perbatasan/pesisir/pulau-pulau terluar sebagai pagar atau serambi bagi sebuah rumah mewah, maka kita harus mendeskripsikannya secara utuh. Ini berarti bahwa wilayah terluar negara bukan hanya untuk fungsi perlindungan dari serangan luar, tapi juga harus menjadi bagian ‘pemandangan pertama’ yang tak terlupakan oleh tamu yang ingin berkunjung. Bayangkan saja jika pagar dan halaman sebuah rumah tidak bersih, berkarat, tidak memiliki tumbuhan hijau yang teduh, tidak dipasang keramik, tanahnya tandus, dan lain sebagainya.. Apakah ini tidak akan menunjukkan betapa malasnya penguni rumah mengurus lingkungan yang notabene bagian tak terpisahkan dari rumahnya? Apakah ini tidak menunjukkan betapa miskinnya si pemilik rumah? Apakah ini tidak menunjukkan betapa tidak tuan rumah tidak memiliki seni dan estetika dalam menata rumahnya? Memang ada ungkapan don’t judge the book from that cover, tapi konsep tentang kesejahteraan negara lebih tinggi dari pada hanya sebuah ungkapan. Wilayah perbatasan, baik darat maupun laut harus menjadi pintu gerbang dengan kesan yang indah dalam mnyambut tamu yang datang. Kesejahteraan harus diberlakukan secara adil dan merata, tanpa harus melihat kondisi geografis dan perbedaan lainya. Bhineka Tunggal Ika tidak semestinya digunakan hanya untuk pajangan semboyan belaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan meninggalkan komentar anda..
Pasti sangat membangun untuk perbaikan blog ini..

Pemuda, Pembangunan, dan Kemerdekaan

Potensi Pemuda Sang Proklamator, Soekarno, begitu menekankan pentingnya peran pemuda. Ungkapannya yang biasa diulang oleh kita sekarang “ ...