Minggu, 29 Maret 2015

KETIKA KITA TIDAK BER-INDERA, TIADA YANG BENAR-BENAR ADA


Tuhan sudah menciptakan manusia dalam bentuk yang sempurna, tapi kenapa di dalam kesempurnaan yang telah dijamin itu kita masih saja masih sulit bersyukur? Masih ada pemisahan yang ganteng dari yang buruk rupa, yang anggun dari yang nanggung, yang indah dari yang membuat muntah. Inikah cara kita memaknai jaminan kesempurnaan manusia?!



Perjalanan dunia hanya sementara. Kita manusia diberi akal untuk merenungkan arti penciptaan makhlukNya, termasuk asal mula kita sendiri. Kita sama diciptakan dari setitik air hina (mani) dari tulang sulbi para orang tua kita. Siapa yang tidak diciptakan dari mani? Kalau saja ada, mugkin dia bukan manusia! Kemudian dari sititik mani yang mengandung jutaan sel sperma itulah anak manusia baru dilahirkan ke dunia.

Bayangkan, Tuhan tidak pernah memberi cap (label) cantik dan cakep atau jelek dan buruk pada setiap calon manusia baru yang akan dilahirkan ke dunia. Semua sama, dilahirkan dengan kondisi fitrah (suci). Namun, coba tengok apa yang dilakukan oleh para pendahulunya di dunia? Sejak anak manusia itu keluar dari rahim ibunya, keluarga mereka sendiri yang kemudian sangat ‘pandai’ menilai bayi yang lahir itu. Belum apa-apa mereka sudah di-bully : “ihh.. bayinya cakep ya, persis ayahnya, tapi sayang sekali pesek kayak hidung ibunya”.. “waahh.. alisnya tebal banget kayak hutan amazon, ditambah lagi rambutnya kusut seperti pakaian dalam yang belum disetrika”.. “coba deh lihat, bayi yang lahir itu adalah anak haram, hasil hubungan gelap orang tuanya!”. Masih banyak lagi sentilan-sentilan kecil dari lidah manusia sekitarnya. Kalau saja saat itu bayinya bisa jalan sendiri, mungkin dia lebih memilih masuk kembali ke rahim ibunya! Heuheu..

Saya teringat kalimat bijak dari Kahlil Gibran : “Anak kalian adalah bukan anak kalian. Mereka putra-putri kehidupan yang merindu pada dirinya sendiri. Berikan kepada mereka cinta kalian, tetapi jangan gagasan kalian, karena mereka memiliki gagasannya sendiri. Kalian boleh membuatkan rumah bagi raga mereka, tetapi tidak untuk jiwa mereka, sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan, yang tidak bisa kalian kunjungi, sekali pun dalam mimpi”.

Itu artinya apa? Kita tidak layak untuk terpengaruh dengan bentuk fisik dari sesama manusia, termasuk anak kita. Sebab kehidupan ini jauh lebih penting untuk memiliki sebuah gagasan, sebuah visi, sebuah mimpi, yang mampu meneruskan hakikat kehidupan itu sendiri dari pada hanya sebuah wajah yang indah namun tak mencerahkan. Bukankah seseorang lebih baik disegani karena pemikirannya dari pada disegani karena ketampanan atau kecantikannya?

Kembali lagi ke kisah bayi yang lahir tadi. Jika bayi itu jenis kelaminnya laki-laki, ketika dia tumbuh dewasa menjadi pria yang tampan rupawan, maka pasti dia memiliki ‘nilai jual’ yang lebih. Begitu pula jika bayi itu perempuan, ketika dia tumbuh dewasa menjadi gadis cantik, anggun, dan montok, maka pasti dia akan menjadi incaran para kaum adam.

Saya percaya pada sebuah rumus kehidupan, bahwa semua anugerah Tuhan adalah sebuah titipan. Titipan itu tidak hanya dalam bentuk uang, rumah, mobil, motor, sawah, ladang, villa, losmen, hotel; tetapi juga titipan itu juga tersembunyi dalam wajah yang cantik atau tampan, bentuk badan yang indah nan menawan, kesehatan yang tiada terganggu, dan lain sebagainya. Lantas apa yang perlu kita banggakan dengan ‘kelebihan’ yang ada dalam diri kita dan keluarga?

Ketika titipan berupa wajah cantik dan tampan selalu digunakan untuk menarik perhatian lawan jenis, ketika body montok diumbar untuk membangkitkan syahwat, ketika kesehatan digunakan untuk banyak melakukan maksiat; bukankah itu akan membawa kita pada pertanggungjawaban yang berat di akhirat kelak? Bukan saja si anak yang akan mempertanggungjawabkan perilaku a-moral-nya di akhirat, tetapi orang tuanya pun akan terseret sebagai orang yang berhak atas diri dan kehidupan anaknya. 

Lebih ironisnya lagi, ada fakta menarik yang diungkapkan oleh salah satu Revolusionis Islam modern, Harun Yahya : bahwa kehidupan ini tidak lain hanyalah sekumpulan persepsi manusia, tidak ada alam materi seperti yang dituduhkan oleh para kaum pemuja teori materialisme. Menurut beliau, apa yang ada di dunia ini semua adalah hasil kerja kelima indera kita; mata, hidung, telinga, mulut, dan kulit. Mata untuk melihat, hidung untuk membau, telinga untuk mendengar, mulut untuk mengecap rasa, dan kulit sebagai sensor peraba.

Kita ibaratkan saja bahwa saya sedang melihat cewek cantik di sebuah kolam pemandian. Dia sangat cantik dengan balutan baju renang ketat berwarna pink, dan bodi-nya terasa penuh di baju tipis yang dia kenakan. Bokong dan dadanya membuat semua pria yang ada di kolam itu mengeluarkan air liur. Namun, di sudut kolam itu ada seorang pria buta yang sedang duduk menikmati udara. Hanya dia satu-satunya pria yang tidak menoleh ke arah cewek seksi tadi. Kenapa? Karena dia tidak merasakan persepsi yang sama dengan cowok lain di area kolam itu. Dia tidak mengerti arti sebuah keseksian, dia tidak mengerti ukuran kemontokan, dia tidak sempat mendamba wanita yang sempurna, karena dia tahu untuk mendapatkan satu cewek yang mencintai kekurangannya saja pun dia sudah bersyukur sekali!

Begitu pula halnya kenyataan yang harus diterima oleh orang yang memiliki keterbatasan indera yang lain. Ketika kita yang normal sangat asyik menikmati sebuah konser musik,orang yang tuli hanya akan lewat begitu saja di depan lapangan konser itu, terlihat acuh-tak acuh dengan irama yang menggebu-gebu dari sound system musik itu. Dia tidak paham arti keindahan lagu, dia tidak tahu ukuran nikmatnya musik, yang dia sanggup lakukan hanya menitikkan air mata melihat orang-orang yang berjoget dan loncat-loncat dalam keheningan.

Begitulah mengapa kemudian ada istilah yang beken zaman sekarang "Cantik itu relatif, merdu pun relatif". Ya, bagi sesama orang yang matanya normal saja ukuran kecantikan akan berbeda. Satu bilang cantik, yang satunya belum tentu melihat itu sebagai kecantikan. Nah, apalagi ukuran kecantikan menurut orang yang buta? Hmm.. pantas saja hukum Relativitas Einstein sangat laku hingga sekarang. :)

Dunia ini hampa tanpa indera. Dunia ini tiada berarti tanpa indera. Semua yang dilihat bukanlah materi, tetapi hanyalah kumpulan bayang semu yang dibiaskan oleh lensa mata ke dalam retina, yang kemudian diteruskan oleh otak. Ketika retina dan syaraf otak rusak, maka tidak ada lagi wanita cantik dan montok. Bayang itu tidak akan nampak di depan matamu. Semua yang didengar adalah kumpulan persepsi yang diteruskan ke dalam lubang telinga, rumah siput, dan sensor suara di otak. Ketika salah satu mengalami gangguan, maka tidak akan ada lagi nikmatnya desahan gadis nakal atau cabe-cabean di telingamu, tidak ada lagi nikmatnya musik disco yang biasa mengiringi dunia malammu!

Kesimpulan yang dapat ditarik dari uraian diatas salah satunya adalah, bahwa bersyukur untuk hidup ini sangatlah penting. Bukan keunggulan dari salah satu anggota badan saja yang patut diperhatikan (misalnya cantik, tampan, tinggi, mancung, dll), tetapi yang lebih patut disyukuri adalah kelengkapan semua indera kita. Tidak ada istilah jelek dan buruk, karena itu hanyalah predikat yang muncul karena persepsi sesama manusia. Sebab Tuhan yang menciptakan kita sudah memberikan jaminan kesempurnaan bagi umat manusia. Walau menurut manusia ada yang tidak sempurna, tetapi Tuhan tetap menyempurnakan dalam ketidaksempurnaannya itu sebuah kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang yang menuduhnya tidak sempurna. Wallahua’alam.

“Sebagian kita seperti tinta, dan sebagian lagi seperti kertas. Dan jika bukan karena hitamnya sebagian kita, sebagian kita akan bisu. Dan jika bukan karena putihnya sebagian kita, sebagian kita akan buta”. (Kahlil Gibran).

Jumat, 06 Maret 2015

WANITA ITU INDAH? (All About Love)


Beuhhh.. Kok selalu bahas cinta sih? Bosen!

Loh, jangan salah. Kita diciptakan dengan cinta, dibuat dengan gabungan cinta, dibesarkan dengan cinta, dikubur pun kelak dengan deraian air mata cinta. Jadi apa yang salah dengan ‘darah’ cinta yang mengalir dalam setiap urat nadi kita?

Terus, kenapa judulnya bawa-bawa nama wanita?

Cinta itu ada karena ada dua jenis manusia berbeda. Pria membuat cinta kuat, sedangkan wanita membuat cinta indah. Walaupun kita bisa saja menyebut perasaan kita kepada keluarga; ayah, ibu, kakek, nenek, adik, kakak, juga adalah cinta. Tapi percaya atau tidak, ketika kita beranjak dewasa, naluri untuk mendapatkan pasangan hidup membuat prioritas cinta kita dalam hidup menjadi hancur-lebur. Kita bisa saja mengesampingkan keluarga jika dibenturkan dengan kepentingan pasangan kita. Kita bisa saja bangga dengan titel “durhaka” pada keluarga demi melihat pasangan kita bahagia!

Idealnya kata para ustadz, prioritas cinta kita di dunia ini segalanya harus tetap berada di bawah cinta terhadap Pencipta dan juga orang tua. Ketika prioritas itu dilanggar, maka cinta itu akan berjalan tanpa arah : kepada Sang Pencipta kita membuatNya murka, kepada orang tua kita menanamkan bibit durhaka.

PELAJARAN DARI PERJALANAN KE DESA (Tuhan Masih Sayang Kita)


Saya berkunjung secara kontinyu ke sebuah desa di daerah Kabupaten, saya mendapati beberapa fenomena ‘menarik’ yang ada di dalam kehidupan masyarakatnya. Angka perceraian di usia muda cukup tinggi. Selain itu, yang lebih mencengangkan, disana para pemuda sudah tidak asing lagi dengan yang namanya melakukan hubungan di luar nikah!

Sungguh perut saya geli, serasa digelitik, melihat para pemuda usia sekolahan (sekitar 16-19 tahun) sudah menggendong anak. Satu sisi ada juga rasa empati karena saya menyadari betapa tegar mereka menjalani kehidupan yang sedemikian ‘tidak normal’ berdasarkan sudut pandang norma ketimuran. Ukuran badan mereka masih terlalu rapuh, masih sangat kecil untuk merasakan sakitnya prosesi kelahiran sebagai kompensasi kenikmatan sesaat yang pernah mereka lakukan di awal dahulu dengan sang pacar.

Desa ini berada cukup jauh dari keramaian serta aksesibilitas masih terbilang kurang memadai mengingat jauhnya lokasi desa dengan jalan arteri primer. Masyarakat harus menempuh satu setengah jam perjalanan normal untuk mencapai jalan utama kabupaten. Sekarang jalan menuju desa itu sudah lumayan bagus dengan aspal, dahulu kondisinya masih makaddam. Mayoritas masyarakat hidup dari hasil bertani dan berternak. Ada beberapa nama tokoh (yang kini sudah sepuh) berhasil keluar dari desa itu, kemudian terbilang sukses di tanah rantau. Namun perkembangan kehidupan masyarakat, terutama para pemuda di zaman modern ini, membuat suasana desa makin suram. Makin sedikit pemuda yang memiliki impian, makin sedikit pemuda yang berani menggantung mimpi di langit untuk sekedar membayangkan bagaimana rasanya sukses di usia tua. Sebaliknya, makin banyak pemuda yang sok menjadi ‘penguasa kampung’, semakin banyak pemuda yang berteman dengan miras dan judi, semakin banyak pemuda yang berani menggantung masa depan pacarnya dengan merampas kehormatan diri dan keluarganya.

Menurut sumber yang menceritakan ke saya, fenomena tersebut sudah terjadi sejak lama.

SERBA SALAHNYA PEMUDA ZAMAN SEKARANG (ALL ABOUT RELATIONSHIP)






Zaman sudah berubah, pergaulan pun makin bebas. Kenyataan itu kemudian diperparah dengan laju perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, baik berupa gadget, internet, maupun media sosial. Ada semacam tren yang dibentuk dalam ikatan pergaulan, bahwa pacaran merupakan sebuah keharusan. Pacaran dianggap sebagai sesuatu yang membanggakan, memiliki pacar seakan hukumnya fardhu ‘ain. Jika ada anak muda yang berpikir untuk tidak memiliki pacar, baik itu untuk kepentingan studi maupun karena memang didikan keluarga, maka dia akan dicap sebagai orang kampungan dan berpola pikir kolot.

Para pemuda yang terkena virus dari doktrin para pemuja pacaran akan merasa tersiksa jika tidak segera memiliki pasangan. Jomblo jadi sebutan paling menakutkan yang paling tidak ingin didengar oleh mereka. Keluar jalan-jalan sendiri di malam minggu jadi pemandangan tak biasa di zaman sekarang. Jika pun keluar berdua dengan sesama jenis, bisa-bisa dituduh homo, sungguh serba salah rasanya hidup ini. Mungkin ejekan atau cibiran itu tidak disampaikan secara langsung, tapi mereka bisa menyerang para jomblowan dan jomblowati melalui media sosial. Media sosial sudah menjadi strategi ampuh, selain bisa untuk mem-bully teman, wadah curhat, hingga kegiatan pencitraan para calon elit politik.

Selasa, 10 Februari 2015

Why Always BANK?



Wuih, judulnya keren ya! Jangan underestimate dulu, baca sampai akhir baru disimpulkan. Judul itu terinspirasi dari why always me-nya Mario Ballotelli, ketika dia merumput bersama klub Manchester City dulu. Jika saya perhatikan di Bima, bukan saya saja sih, Anda juga bisa melihatnya sendiri, bahwa makin banyak kantor bank yang dibangun. Bank apa yang belum ada di daerah kita tercinta? BNI 46 sebagai bank tertua di Indonesia ada di sini, BRI sebagai bank daerah yang dikenal merakyat ada juga, Mandiri sebagai bank dengan aset paling besar di Indonesia juga ada. Itu baru seberapa. Belum lagi ditambah Bank Danamon, Sinarmas, BNI Syariah, Mandiri Syariah, BRI Syariah, Bank Pundi, Bank Perikanan, Bankrut #upss (kalau ada yang lain mohon ditambahkan, hehe).

Baguskah jika ada fenomena menjamurnya bank seperti ini di daerah? Saya juga tidak tahu, toh saya bukan ahli ekonomi kok! Yang jelas kondisi itu menandakan bahwa aliran uang sekaligus arus hutang orang Bima Raya ini cukup menjanjikan bagi pihak bank. Kenapa? Orang disini terkenal ‘berani’ minjam uang bank. Belum genap satu tahun jadi PNS saja sudah langsung ajukan pinjaman. Kalau bisa pas pengumuman lulus PNS itu kita langsung ke bank saking sudah mindset kita dengan dunia perbankan sudah tidak bisa terhindarkan. Heuheu.. Bank itu ada yang dikategorikan bank kecil dan bank besar tergantung dari total asetnya masing-masing. Nah, faktanya di Bima Raya ini bank dengan nilai aset yang kecil saja berani masuk dan bersaing, apalagi bank besar. Logikanya, bank kecil tetap mendapat klien yang cukup memadai dari jumlah penduduk Bima Raya yang mencapai sekitar 430 ribu jiwa.

Pemuda, Pembangunan, dan Kemerdekaan

Potensi Pemuda Sang Proklamator, Soekarno, begitu menekankan pentingnya peran pemuda. Ungkapannya yang biasa diulang oleh kita sekarang “ ...