Selasa, 10 Februari 2015

Why Always BANK?



Wuih, judulnya keren ya! Jangan underestimate dulu, baca sampai akhir baru disimpulkan. Judul itu terinspirasi dari why always me-nya Mario Ballotelli, ketika dia merumput bersama klub Manchester City dulu. Jika saya perhatikan di Bima, bukan saya saja sih, Anda juga bisa melihatnya sendiri, bahwa makin banyak kantor bank yang dibangun. Bank apa yang belum ada di daerah kita tercinta? BNI 46 sebagai bank tertua di Indonesia ada di sini, BRI sebagai bank daerah yang dikenal merakyat ada juga, Mandiri sebagai bank dengan aset paling besar di Indonesia juga ada. Itu baru seberapa. Belum lagi ditambah Bank Danamon, Sinarmas, BNI Syariah, Mandiri Syariah, BRI Syariah, Bank Pundi, Bank Perikanan, Bankrut #upss (kalau ada yang lain mohon ditambahkan, hehe).

Baguskah jika ada fenomena menjamurnya bank seperti ini di daerah? Saya juga tidak tahu, toh saya bukan ahli ekonomi kok! Yang jelas kondisi itu menandakan bahwa aliran uang sekaligus arus hutang orang Bima Raya ini cukup menjanjikan bagi pihak bank. Kenapa? Orang disini terkenal ‘berani’ minjam uang bank. Belum genap satu tahun jadi PNS saja sudah langsung ajukan pinjaman. Kalau bisa pas pengumuman lulus PNS itu kita langsung ke bank saking sudah mindset kita dengan dunia perbankan sudah tidak bisa terhindarkan. Heuheu.. Bank itu ada yang dikategorikan bank kecil dan bank besar tergantung dari total asetnya masing-masing. Nah, faktanya di Bima Raya ini bank dengan nilai aset yang kecil saja berani masuk dan bersaing, apalagi bank besar. Logikanya, bank kecil tetap mendapat klien yang cukup memadai dari jumlah penduduk Bima Raya yang mencapai sekitar 430 ribu jiwa.



Kalau menurut kata guru saya dulu, keberadaan sebuah bank TIDAK LEBIH BAIK dari pada perkembangan perdagangan lokal. Kenapa? Karena jika di sebuah daerah banyak kantor bank, pasti perputaran ekonomi di daerah itu cenderung negatif, uang yang masuk ke bank mau tidak mau ada yang dibawa keluar dari daerah, karena memang bank besar itu skalanya nasional, jadi kantor pusatnya ya di Jakarta sana. Beda jika perdagangan (bisnis) lokal yang menjamur, maka perputaran uang yang ada dalam daerah itu bisa bergerak merata dalam lingkup internal, tidak dibawa keluar untuk mensejahterakan orang yang di pusat. Masuk akal nggak ya? Heuheu.. Jadi guru saya itu benar-benar menyadari kebenaran hadits Rasul yang menyatakan bahwa pintu rezeki utama itu dari kegiatan berdagang. Saya juga kalau punya modal sangat ingin berdagang saja, Pak.

Sampai disini teman-teman yang kerja di bank dan membaca notes ini pasti sekarang sedang mengernyitkan dahi karena kesal. Bagaimana bisa kamu berbicara seperti ini sementara keluarga-keluargamu hidup di Bima ini karena bantuan bank? Jangan sok ngomongin bank deh! Kurang lebih begitu kata mereka dalam hati. Saya minta maaf terlebih dahulu sebelum ada yang tidak berkenan. Heuheu.. Tapi saya membicarakan apa yang ada di depan mata, mungkin ada beberapa orang yang setuju dengan saya. Dalam lingkup Bima Raya ini orang mau bekerja sebagai apa? Peringkat paling elite saat ini berdasarkan ‘penerawangan’ saya adalah bekerja sebagai pegawai bank. Setelah itu, peringkat kedua dikuasai oleh PNS (birokrat) dari berbagai kalangan, disusul oleh pedagang (bisnisman/wiraswasta) dan segela tetek bengeknya, petani, dan peternak (darat/laut) di posisi ketiga. Entahlah posisi keempat dan seterusnya diisi oleh kaum apa, masih abu-abu, saya tidak berani menerka-nerka. Yang jelas saya sekarang sedang berada di posisi paling bawah di daftar tersebut. Heuheu..

Berbicara masalah kerja pasti bicara motivasi dan obsesi. Kerja di sektor perbankan, apalagi yang tergolong BUMN, tampak mentereng karena orang melihat dari gaji yang diperoleh. Apalagi tidak diperlukan skill tertentu untuk menjadi seorang pegawai bank. Kalau kata kakek saya, apa susahnya jadi pegawai bank? Yang penting bisa ngitung uang, jaga sikap dan tanggung jawab, itu saja! Mau kamu kemanakan ilmu mu yang diperoleh di bangku kuliah kalau hanya jadi pegawai bank?. Asik sekali kalimat itu menusuk tepat di titik diagonal hati saya, kemudian suara itu bergema ke seluruh penjuru hati. Yah, begitulah dunia kerja. Ada yang bekerja banyak atau pun dikit tetap digaji sedikit. Ada yang kerja sedikit tapi malah dibayar banyak. Ada pula yang gajinya disesuaikan dengan tingkatan kinerjanya. So complicated!

Oke, sekarang kita kaitkan keberadaan bank dengan perkembangan Bima Raya. Perkembangan sebuah daerah tidak hanya dilihat dari menjamurnya bank, tetapi yang lebih penting adalah mampu menarik investor sebanyak mungkin untuk ikut memajukan kesejahteraan di tanah kelahiran kita ini. Jika total PAD serta kucuran DAU/K dari pemerintah pusat tidak bisa menutupi untuk terselenggaranya pembangunan yang berkesinambungan, maka solusi alternatif dalam bentuk pelibatan investor swasta patut dilakukan. Tidak bisa kita terus berharap dari kas daerah yang tidak jelas. Kenapa saya katakan tidak jelas? Ya, karena satu sisi jumlahnya tidak besar, kemudian di sisi lain ditambah dengan tindak KKN yang semakin merajalela. Patutkah terus berharap pada sumber keuangan semacam itu? Daerah kita akan maju, tapi akan memakan waktu seperti siput yang sedang menempuh perjalanan dari Bima ke Jakarta!

Namun tahukah Anda sekalian apa yang menjadi hambatan terbesar masuknya investor ke daerah kita? Pertama, karena kita sangat-sangat-sangat minim publikasi. Pemberitaan di Bima Raya selalu berkutat dengan konflik yang tiada habisnya, pokoknya dominan berita negatif. Sedangkan yang kita butuhkan adalah pemberitaan yang mengangkat ribuan potensi dan eksotisme daerah Bima Raya kita tercinta ini ke hadapan publik. Mungkin bagi kalangan wartawan dan insan pers pemberitaan seperti ini tidak menguntungkan. Iya, memang dalam kacamata pribadi tidak akan menguntungkan dalam jangka pendek. Tapi ini demi daerah kita, Bima kita yang kita sayangi. Kedua, paradigma berpikir sebagian besar masyarakat kita yang masih terkesan sempit. Entah karena masalah pendidikan, budaya, atau memang karakter awalnya. Bagaimanakah daerah ini bisa maju jika investor yang melihat potensi mutiara di salah satu pojok daerah kita tapi malah ditolak dan muncul konflik? Bagaimanakah daerah ini bisa maju ketika di salah satu pojok daerah para investor yang ingin mengolah lahan tebu malah mobilnya dibakar habis? Bagaimanakah daerah ini bisa maju jika semua dihadapi dengan emosi dan senjata tajam? Tolong katakan pada saya, bagaiamana bisa? Kenapa kita masyarakat yang (pasti) sudah banyak yang berpendidikan tinggi, tidak mengajak investor untuk berdiskusi, membicarakan nota kesepakatan, sistem bagi keuntungan, sistem bagi hasil dan lain-lain? Ini demi kemajuan daerah lohh!

Pada akhirnya, ketika investor sudah diterima dengan baik, maka akan banyak pintu-pintu lain yang akan terbuka. Maksud saya adalah akan tercipta lowongan pekerjaan buat masyarakat lokal, akan terbuka wawasan masyarakat tentang pentingnya investasi, akan terjalin simbiosis mutualisme antara berbagai elemen, dan masih banyak lagi. Pada gilirannya, keberadaan bank-bank di Bima Raya lebih asik lagi, karena akan semakin banyak masyarakat yang menabung, semakin sedikit masyarakat kalangan bawah, dan semakin segar pula roda perputaran ekonomi antara bank dan pengusaha (pedagang). Selain itu, kondisi itu bisa saja makin menekan angka manusia yang melamar kerja di bank. Makin sedikit anak-anak muda pegawai bank yang mengupload foto narsis di media sosial, #ehh. Makin luas lingkup lamaran kerja, tidak terbatas hanya pada sector perbankan dan PNS. Pemerintah harus cepat menyadari bahwa pertumbuhan penduduk usia kerja di Bima Raya sebentar lagi akan mencapai titik puncaknya, jadi perlu dipersiapkan wadah berupa alokasi tempat bekerja. Waspadalah, Waspadalah, Waspadalah!

Selamat menikmati indahnya horizon kemerah-merahan di ufuk timur tanah Bima Raya tercinta. Selamat menikmati hidangan makanan bersama keluarga seraya merenungi tulisan ini. NB : ntar kalau suatu saat saya juga jadi pegawai bank untuk mengumpulkan modal usaha, saya juga tidak menjamin bisa menghindari kegiatan upload foto narsis di media sosial.. Heuheu..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan meninggalkan komentar anda..
Pasti sangat membangun untuk perbaikan blog ini..

Pemuda, Pembangunan, dan Kemerdekaan

Potensi Pemuda Sang Proklamator, Soekarno, begitu menekankan pentingnya peran pemuda. Ungkapannya yang biasa diulang oleh kita sekarang “ ...