Minggu, 16 November 2014

MASA TRANSISI ITU TETAP ADA



Sudah banyak kata-kata mutiara yang terungkap oleh para kalangan bijak untuk mengungkapkan filosofi dari proses perubahan. Ya, dunia ini berubah! Gaya hidup, ukuran tubuh, keuangan negara, teknologi, penguasa kerajaan, dan lain-lain; semua berubah. Ungkapan paling keren tentang perubahan itu adalah “tidak ada yang tidak berubah di dunia ini, kecuali perubahan itu sendiri”. Semua karena Tuhan menjamin bahwa salah satu ciri makhluk hidup adalah dia bergerak, tumbuh, dan berkembang biak. Hanya dengan berubah kita bisa mengimbangi perubahan, hanya dengan berubah kita bisa mensejajarkan diri dengan keinginan alam dan juga amanat Tuhan. 

Tentu saja, kita semua punya impian dan harapan. Hidup bukan hanya untuk numpang makan, minum, dan buang air, sambil menunggu datangnya panggilan untuk kembali kepada Pencipta kita. Orang tua kita keras mendidik mulai dari rumah, kemudian menyekolahkan di institusi pendidikan terbaik, lalu dengan berderai air mata mereka melepas kita untuk melanjutkan studi ke luar daerah. Itu semua karena apa? Karena mereka juga punya naluri untuk merubah anaknya. Ketika anaknya berubah, mereka tahu bahwa nasib mereka juga akan berubah. 


Jangan heran ketika banyak para pakar ilmu sosial yang sangat menekankan pendidikan sebagai salah satu faktor ‘perubah nasib’ yang paling penting. Di Indonesia, pendidikan disebut sebagai sokoguru kemajuan peradaban sumber daya manusia. Pendidikan merubah pola pikir, pendidikan merubah tingkah dan perilaku, pendidikan merubah image seseorang, pendidikan memacu persaingan menuju globalisasi di segala lini.

Pada akhirnya, background (latar belakang) pendidikan kitalah yang sebagian besar mengisi pola pikir di dunia pekerjaan (pasca-kuliah). Jika kita menemukan orang-orang yang getol menyuarakan perubahan, sering ikut demo, menuntut kebijakan pemerintah; itu biasanya tidak jauh dari image seorang lulusan fakultas sosial dan ilmu politik, serta fakultas hukum. Jika suatu saat kita menemukan orang yang sangat lincah mengkritik kebijakan ekonomi, standby di depan layar televisi memandangi nilai saham dan valas, pakai setelan baju ala eksekutif muda; itu biasanya para lulusan ekonomi akuntansi, keuangan, bisnis perbankan, atau administrasi. Jika kita melihat teman-teman yang dengan semangat memperhatikan konstruksi bangunan Lippo Group atau Ciputra Group, senang hitung-hitungan struktur, sering merenung sambil memandangi ukuran jembatan, sering mengkritik campuran aspal yang kurang bagus, sering mengkritik kebijakan makro penerapan konsep kota dan wilayah; itulah dia teman-teman kita dari fakultas sipil dan perencanaan. Ada lagi orang-orang yang bawaannya bersifat bijaksana dan penyabar, senang memberi arahan, suka tampil memberi pelajaran di depan umum; nah itu teman-teman dari fakultas keguruan. Masih banyak lagi contoh-contoh lain yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.

Poin penting sekaligus fakta yang ada saat ini adalah bahwa ketersediaan tenaga kerja dalam usia produktif tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang ada. Lantas apa yang terjadi? Tentu saja munculnya kaum-kaum pengangguran yang tersebar di berbagai pelosok nusantara. Nah, dengan kenyataan yang sudah seperti itu adanya, maka pihak pemerintah dan swasta sebagai dua kubu sumber lowongan pekerjaan akhirnya punya kebijakan masing-masing. Dua kubu ini kemudian sepakat untuk memperbesar peluang para pencari kerja (jobseekers) dengan memberikan beberapa kemudahan dalam persyaratan lamaran. Apa yang dimaksud dengan kemudahan disini? Kemudahan itu adalah dengan kebijakan penerimaan para pegawai dari jalur “semua jurusan”. Mau tidak mau, dengan kebijakan ini maka akan banyak sekali pegawai yang akan bekerja tidak sesuai dengan bidang yang dia geluti ketika perkuliahan dahulu! Pegawai yang akan bekerja tentu bagaikan buah yang “belum matang”, sehingga perlu didikan atau masa orientasi untuk bisa menyesuaikan diri dengan bidang kerja yang baru. 

Misalnya : perusahaan BUMD bernama “Faqih Persada Permai” membuka lowongan pekerjaan bagi pria/wanita berusia 18-26 tahun dengan kriteria sebagai berikut : tinggi minimal 160 cm, berbadan sehat (dibuktikan dengan keterangan rumah sakit setempat), tidak buta warna, berasal dari semua jurusan perguruan tinggi dengan akreditasi minimal B, nilai IPK minimal 3.00 (skala 1-4), bersedia ditempatkan di seluruh cabang yang ada. 

Jika ada lowongan dengan kriteria umum seperti itu, maka dengan reputasi perusahaan BUMD yang dipandang baik dan berpenghasilan tinggi, maka akan sangat banyak para pencari kerja yang akan melamar. Ya, perusahaan-perusahaan elit saat ini sudah tidak lagi menjadikan IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) sebagai satu-satunya ukuran pegawai mereka. Itu artinya apa? IQ bukan hal yang harus didewakan lagi seperti paradigma lama. Sikap, niat, penampilan, emosi, motivasi, dan kecerdikan lebih dilihat sebagai aset penting bagi perusahaan untuk memajukan mereka di persaingan global!

Nah, hal inilah yang kemudian bisa menimbulkan apa yang saya istilahkan sebagai masa transisi dalam judul tulisan ini. Bagi saya seorang yang notabene memiliki background jurusan perencanaan wilayah dan kota (tata kota) yang tulen. Tulen ini dalam artian sejak zaman SMA dahulu saya memang sudah memimpikan ingin masuk jurusan itu (kan banyak tuh, teman-teman kita yang merasa “salah jurusan”). Kasus teman-teman merasa salah jurusan/kesasar/masuk karena terpaksa di perguruan tinggi ini sedikit banyak akan sama dengan kondisi dimana saya sebagai seorang alumni perencanaan wilayah dan kota tapi akhirnya harus bekerja di dunia perbankan. Nyambung nggak tuh?? Saya yang dengan susah-susah, bergelimang air mata dan keringat, berusaha membangun idealisme untuk membangun daerah sesuai disiplin ilmu saya, namun akhirnya harus “terjerumus” dalam jalan yang berbeda. 

Hingga kemudian nasihat dan wejangan dari para arif bijaksana bisa meluluhkan hati saya. Kuncinya adalah pola pikir kita sendiri. Ketika kita sudah berusaha untuk membangun semua impian kita, dan akhirnya jalan itu masih belum terbuka, maka bukalah jalan-jalan yang lain. Bagaikan aliran anak-anak sungai, jumlahnya banyak dan berbagai macam, tapi akhirnya akan bermuara pada laut yang sama. Kalau kata pepatah “banyak jalan menuju Roma”. Kalau kata bondan prakoso : “ketika mimpimu yang begitu indah tak pernah terwujud, ya sudahlah”. Kemudian dimantapkan lagi oleh  Mary Engelbreit : “jika kamu tidak menyukai sesuatu, maka rubahlah. Tetapi jika kamu tidak bisa merubahnya, maka rubahlah caramu berpikir tentang hal itu”. Nah, kalau sudah seperti itu, apa lagi yang harus disesali? Cintai pekerjaan yang telah diberikan untuk kita, dari pada menuntut pekerjaan yang belum pasti adanya. Karena cinta pada pekerjaan memuluskan niat untuk ibadah. Masa transisi memang akan sedikit sulit, karena kita akan bermain di antara ranah harapan dan kenyataan. Move On mungkin istilah yang tepat untuk segera lepas dari masa transisi itu.  

Selamat malam bagi para pemuda yang masih merasa tidak cocok dengan pekerjaan yang baru. Sama mantan aja bisa Move On, masa sama kerjaan nggak bisa? Pilih saja mau mencintai yang sudah pasti ada, atau mencari yang belum tentu adanya,, Heuheu. :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan meninggalkan komentar anda..
Pasti sangat membangun untuk perbaikan blog ini..

Pemuda, Pembangunan, dan Kemerdekaan

Potensi Pemuda Sang Proklamator, Soekarno, begitu menekankan pentingnya peran pemuda. Ungkapannya yang biasa diulang oleh kita sekarang “ ...