Tampilkan postingan dengan label Puisi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Puisi. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 22 Maret 2014

[PUISI] Setangkai Rindu untuk Ibu di Alam Baru


Kasih sayangmu ibu..
Tercurah penuh waktu..
Padaku sang anakmu..
Menguntai syahdu..
Semerdu lagu..

Ribuan laku sia-sia..
Bermodal nafsu dunia..
Mengiris hatimu terluka..
Meluka jiwamu durja..
Hilangkan senyum tawa..

Sakitmu meluruh ketegaran..
Jeritmu meruntuh keceriaan..
Terkulai lemas kau kesakitan..
Ruang medis tak meringankan..
‘Enyahlah kau sakit, sialan!’

Hancur lebur..
Ombak berdebur..
Mengalur..
Mengubur..
Harap tlah menjamur..

Maaf untuk ibu tercinta..
Kau tinggalkan aku putus asa..
Anakmu tak tahu balas jasa..
Kini, meronta pun ku tak bisa..
Hanya doa di atas nisanmu saja..

Terima kasih ibu terkasih..
Tiada aku ingin berdalih..
Hidup ini telah menyerpih..
Ku berusaha ntuk tidak tertatih..
Jalani nuansa kehidupan hitam dan putih..

[Syair dedikasi untuk sahabat yang ditinggal pergi sang ibu, semoga tetap tegar, yakin saja bahwa musibah itu sumber penghapusan dosa]

[PUISI] Remaja di Ujung Zaman



Hikayat cinta, bicara remaja..
Ceritera insan manusia bernada manja..
Pagi bahagia, siang terlena, malam terluka..
Nodai tawa bertukar galau menyiksa..
Tak pernah berbeda memahami warna dunia..

Cinta berbagi memberi setulus hati..
Bukan rupawi, janji, pun materi..
Bukan ajang perburuan nafsu syahwati..
Bukan takaran nilai harga diri..
Iblis hanya membual tentang cinta sejati..

Terang saja, remaja hilang harapan..
Linglung lihat jalan, semua inginkan instan..
Gengsi dibesarkan, walau hanya orang pinggiran..
Ilmu sejengkal kuku tak pernah diberdayakan..
Kini asmara datang, pikiran makin tak karuan..

Bicara remaja, jaminan bangsa..
Ini gambaran negara penuh nelangsa..
Ayah serasa asing menatap anaknya..
Ibu sudah tidak peka dalam merasa..
Anak merdeka menggores dosa..

Remaja, bunga yang merekah..
Bertahta kelopak dan daun indah..
Tiada pernah berubah merah..
Ketika musim belum siap merubah..
Kini, kuselip doa demi menghapus gundah..

Kamis, 13 Februari 2014

Hamba-Hamba Politik

Termenungku di pelupuk mentari pagi..
Teruap embun kembali berganti..
Setangkai ilalang berayun lemah gemulai..
Diliriknya sinis aku sedari tadi..
Seorang pemuda tengah memikirkan negeri..

Begitu heranku dengan hamba politik..
Memperbudak diri dengan pikiran pragmatik..
Polesan citra berbumbu menarik..
Tingkah polah bertumpu pada rasa fanatik..
Pikirannya sempit, hidup kian tak asyik..

Tak peduli siapa nama yang dibela..
Tak mengerti makna dibalik cara..
Hanya gila akan data dan angka..
Sengaja mengesampingkan fakta agama..
Nyata kini sekularis tengah merajalela..

Jagoan mereka tidak boleh dikritisi..
Darah juang penuh militansi..
Dikedepankan hingga berani mati..
Siapa menghujat seakan siap dikuliti..
Siapa menghina seakan siap dikebiri dan dibully..

Sampai kapan akan terus bertahan..
Jika calonmu kelak menjadi pemimpin rendahan..
Tidakkah dia akan kau tinggalkan..
Begitulah selalu hikayat kepemimpinan..
Sejak dulu, roda politik yang telah kita lewatkan..

Jumat, 31 Januari 2014

Syair Teruntuk Korban Banjir





Tetes air mata tiada henti membasahi pipi..
Memandang jenuh air surut selutut kaki..
Banyak sudah harta kami raib dibawa pergi..
Anak semata wayang pun hanyut terbawa lari..
Oleh deru amukan bah semalam tadi..

Kepingan takdir datang keras mengkerak..
Hendak jiwa kubiarkan berteriak..
Namun tubuh ini kaku, kelu, enggan bergerak..
Tetanggaku, kampungku, semua histeris berontak..
Aku tak bisa, hanya istri kini bersandar di pundak..

Aku ingin berduka, menumpah segala asa..
Aku ingin kecewa, menghina sebuah sandiwara..
Aku ingin putus asa, meregang sendiri tali nyawa..
Seketika kelebat hitam hadir ingatkan dosa..
Dosa, kegemaran setiap umat manusia..

Insan bijak banyak bertanya..
Adakah banjir ini salah siapa..
Apakah tata ruang serta rencana kota..
Sungguh, tidak ada apa dan bagaimana..
Hanya manusia yang sudah lupa kodratnya..

Kusadari kini kelalaian datangkan cobaan..
Untuk yang memuja ‘berhala’ kejahatan..
Untuk yang menggilai haramnya obat-obatan..
Untuk yang membabi buta tebang hutan..
Untuk yang rakus korupsi di pemerintahan..

Kini, aku tak berharap dikunjungi kepala negara..
Alihkan saja uang jalan agar terbebas kami dari lara..
Kampung ini kian kumuh bagi tamu istimewa..
Biarlah kami saja yang menderita..
Tak perlu kalian memakai topeng pura-pura..

Wahai, Tuhan Yang Mendengarkan..
Datangkan banjir ini untuk kebaikan..
Hapuskan dosa dan kekejian..
Gantikan generasi penuh kebobrokan..
Hingga negeri aman penuh kedamaian..

Selasa, 28 Januari 2014

[PUISI] Hariku di Damaskus



Mentari akan beranjak dari peraduannya..

Mengantar pagi cerah nikmat dunia..

Terbangun dengan syukur tiada tara..

Jendela tua berderik pelan saat kubuka..

Ternyata, aku berada di belahan bumi berbeda..



Cahaya lampu kota mewah mewarna indah..

Gedung menjulang terselingi suasana ramah..

Aku pikir aku telah salah, mimpikah?

Membayanginya pun aku tak pernah..

Seketika aku merasa takut dan nyaris menyerah..


Sosok berjubah putih mengajakku beranjak..

Orang ini berkilau layaknya bulu seekor merak..

Pesonanya sempurna, siapa pun pasti terhenyak..

Wajah campuran layaknya orang arab dan irak..

Sepanjang jalanku seperti terjerat, tak banyak bergerak..


Aku terbawa dalam suasana di depan mata..

Gang sempit ala zaman dahulu kala..

Penuh jubah tertutup khas pakaian muslim wanita..

Rumah-rumah berbentuk kotak ber-parabola..

Toko-toko kecil menjual bahan kualitas aneka rupa..



Ada rasa kagum menyusup dan menepi di hati..

Pada Yousof Al-Azmeh Square yang ramai..

Pada megahnya bangunan Masjid Umawi..

Pada tepian kota yang dialiri sungai..

Pada damai yang tercipta dalam suasana religi..


Pintu masjid terpampang untuk kami..

Selasar Pasar Hamidiyyeh terbentang harus disusuri..

Hingga setelahnya terlihat makam para ahlul baiti..

Kutatap takjub nisan Salahuddin Al-Ayubi..

Sebelum kahirnya khusyuk dengan shalat kami..


Aku ternyata telah berkelana di kota tua..

Kota induk peradaban dalam sejarah agama..

Menambah pundi pengalaman penuh makna..

Begitu rindu kuulangi menyebut namanya..

Damaskus, ibukota Syiria..

Senin, 20 Januari 2014

Nostalgia Itu Berbayang Lalu Pergi

Sejumput rasa datang menyusup seketika lalu pergi..
Teruntai bayang yang pernah mati..
Membisik indahnya lagu kenangan musim semi..
Aroma kehangatan dulu mewangi mengisi hari..
Kalian temani aku dalam hidup penuh onak dan duri..
Pernah kalian membuat bahagia.. 
Setiap saat terselip tawa ceria..
Pernah kalian mewarisi duka..
Satu-satunya duka yang tak membekas luka..
Maafkan, kini ku lemah atas bayang nostalgia..
Kita yang tak pernah terganti oleh mereka..
Berpisah membuat denyut nadiku lemah..
Menjauh mengguncang cawan hidupku hingga nyaris pecah..
Berpura-pura melupakan membuat darahku berubah..
Akan kujaga seluruh nama hingga nyawa sudah lupa rupanya darah..
Aku bisa saja mengalah, tapi bersama kalian aku tak pernah kalah..

Pemuda, Pembangunan, dan Kemerdekaan

Potensi Pemuda Sang Proklamator, Soekarno, begitu menekankan pentingnya peran pemuda. Ungkapannya yang biasa diulang oleh kita sekarang “ ...