Usiaku mungkin masih terbilang muda untuk mengikuti seleksi tes pegawai negeri sipil. Pada akhir tahun 2013 kemarin, aku mengikuti seleksi masuk yang diselenggarakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum setelah setahun sebelumnya aku lulus dari perguruan tinggi. Sesaat setelah lulus perguruan tinggi tersebut, harapanku melambung tinggi karena berdasarkan kabar yang berhembus bahwa tahun 2013 merupakan akhir dari moratorium PNS. Prediksi berbagai media bahwa tahun 2013 jelas akan ada penerimaan besar-besaran untuk pegawai negeri. Namun tak disangka, harapanku(dan mungkin seluruh calon pegawai seluruh Indonesia) kemudian sirna begitu saja ketika pada kenyataannya pemerintah hanya membuka lowongan jauh di bawah penerimaan di tahun 2010. Lowongan yang ada di daerah-daerah pun sangat amat dibatasi, sehingga banyak teman-teman sesama jobseeker yang mengeluh terhadap kebijakan ini. Lowongan yang terbatas di daerah membuat aku mengalihkan bidikan ke lingkup yang lebih luas, yaitu ranah kementerian pusat. Langkah ini mesti dipilih, tidak ada jalan lain, walaupun ini berarti harus bersaing dengan peserta seluruh Indonesia. Saat itu jumlah pendaftar untuk Kementerian Pekerjaan Umum saja sebanyak 13 ribu lebih, dan hanya akan diterima 200 orang. Bisa dibandingkan dengan tahun 2010, yang mendaftar kurang dari 13 ribu, tapi jumlah yang dibutuhkan sebanyak 3000 kursi. Luar biasa perbedaannya!
Jumlah kebutuhan calon pegawai yang menyusut ini secara langsung membuat persaingan antar peserta semakin ketat. Jauh hari sebelum pelaksanaan tes dimulai pemerintah telah mewanti-wanti kepada warga negara Indonesia bahwa rangkaian seleksi akan dibuat ekstra ketat. Tidak akan ada peluang untuk disusupi oleh berbagai tindak pelanggaran dan penyelewengan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Pemerintah katanya bekerja sama dengan instansi-instansi yang bisa menjamin itu semua, seperti BIN, KPK, Polri, dan lain-lain. Sistem penyelenggaraan tes di lingkungan kementerian pusat pun sudah ada yang menggunakan metode CAT (Computer Assisted Test), yang katanya 100 persen aman karena hasil langsung bisa diketahui saat itu juga. Namun sebagian besar daerah-daerah seluruh Indonesia yang masih menggunakan LJK (Lembar Jawaban Komputer). Anehnya, aku lolos ketika tes pertama dengan sistem CAT, tapi tes tahap kedua menggunakan LJK. Aku kemudian agak putus asa dengan tes kedua, karena aku tahu sistem LJK inilah yang bisa menjadi sarang masuknya penyelewengan dari berbagai pihak. Betapa tidak, di daerahku sendiri banyak teman-teman yang bangga dengan adanya ‘orang dalam’ yang bisa menjamin mereka masuk lewat ‘jalur belakang’ dengan syarat menyetor sejumlah uang. Saat itu juga akuberpikir, dimana peran instansi-instansi yang tadinya berkoar bisa memotong mata rantai syetan kebobrokan birokrasi seleksi ini? Apa mereka hanya akan selalu menjadi objek formalitas belaka? Apa yang bisa mereka lakukan untuk menghentikan ini semua?