Sabtu, 25 Februari 2017

SERUAN INDAH YANG MAKIN JARANG DIINDAHKAN

Hidup sebenarnya sebuah kumpulan peraturan sekaligus tata cara dalam menjalankan aturan-aturan tersebut. Lalu bagaimana jika semakin maju zaman namun semakin banyak aturan yang dilanggar? Bagaimana jika kemajuan zaman malah semakin menciptakan cara untuk mengelabui para pembuat aturan? Saya menilai, cara-cara ini sebagai degradasi. Manusia semakin tidak patuh terhadap aturan, berani menantang aturan, malah terkesan sangat merendahkan peraturan itu sendiri. Beberapa aturan kecil yang saya perhatikan, ternyata menjadi “makanan empuk” bagi para pelanggar. Semua terangkum dalam “The Last Magic Words” versi Abdul Basel Coorporation di bawah ini.. Heuheu
1. Dilarang Buang Sampah Disini
Kalimat ini terpilih menjadi urutan pertama, karena dampak yang timbul akibat disepelekannya kalimat tersebut sangat besar. Kata orang-orang sih sampah bisa menjadi momok karena menyebabkan banjir. Saya katakan itu semua tidak benar! Itu fitnah. Sampah itu tidak pernah menjadi bahaya jika dibuang serta ditempatkan di lokasi yang benar. Jadi yang menjadi momok bagi kita adalah oknum-oknum masyarakat yang membuang sampah sembarangan. Himbauan “jangan membuang sampah disini” malah menjadi tempat favorit untuk membuang sampah. Ini baru yang namanya fakta. Kasian sekali sampah selalu menjadi kambing-hitam. Manusia yang melakukan, mereka yang harus kena tuduhan. Ternyata “sampah masyarakat” lebih berbahaya dari pada sampah perumahan.

GERAKAN “SEMINGGU TANPA MALAM MINGGU”





Tiga kata yang menarik untuk dicermati saat ini : Cinta, Pemuda, dan Malam Minggu-nya. Layaknya trisula maut dalam klub sepakbola dunia yang terus saling menguatkan sektor penyerangan. Bagai ular berkepala tiga yang akan menjemput ajalnya jika salah satu kepala dibegal. Seperti tiga mata rantai yang berhamburan tak menentu jika salah satu dari tiga pengaitnya dilepaskan. Seumpama trio warkop DKI yang tidak asyik lagi jika salah satu personilnya telah tiada. Semisal Soekarno-Hatta-Syahrir yang begitu kompak jika bersatu. Begitulah, sekedar gambaran betapa ketiga istilah itu kaitannya sungguh erat.

Cinta. Tidak ada yang salah dengan cinta. Cinta hanya kata paling sering dicari dalam kamus para pujangga. Pemuda pun demikian, tidak ada yang aneh dengan kata itu. Malam minggu juga hanya sebuah frase yang terbentuk sebagai istilah lain dari hari sabtu malam. Menariknya adalah saat ketiganya dijejerkan dalam sebuah fenomena kekinian, dalam renungan dalam tentang pergaulan; ketiganya menjadi asyik untuk dijadikan bahan pembelajaran. “Cinta” selalu terkait dengan kejiwaan (psikologi), “Pemuda” akan dinilai dari fisik, sedangkan “Malam Minggu” (entah kenapa saya rasakan) erat kaitannya dengan spiritualitas.

Kenapa frase Malam Minggu, yang bagi sebagian besar pemuda bermakna spesial, namun bisa bermakna spiritual? Pertanyaan itulah yang menjadi titik tumpu (alasan) adanya tulisan ini. Saya tergerak untuk menulis tentang topik ini, bukan berarti saya haters dari hari sabtu malam tersebut, bukan pula berarti saya tidak pernah ‘nongkrong’ menikmati desiran pantai serta menikmati bagaimana gegap gempitanya dunia di malam minggu. Justru karena pernah merasakan sehingga saya tahu, sehingga memberi waktu bagi nurani untuk merenung. Perlahan bergelayut rasa bosan dari lubuk hati yang biasa terjadi pada manusia dalam menghadapi suatu kesenangan semu.

Sifat Menginginkan Milik Orang Lain, Tanda Perlu Introspeksi! Jangan Jadi Pemuda "SMS"




Pagi tadi tepat pukul 05.30 wita, saya sedang asyik menikmati berbagai buku bacaan di dalam kamar. Suasana rumah tetangga juga masih sangat sepi, hanya suara kodok dan jangkrik yang sahut menyahut menyapa gendang telinga saya. Ini mungkin suasana khas Bulan Ramadhan, warga masih lelap dalam tidurnya selepas bangun makan sahur yang lebih awal dari jadwal bangun biasanya. 

Sedang asyik membaca, saya dikagetkan dengan teriakan ayah dari kamarnya. Suara beliau seperti sedang menghardik seseorang. Benar saja, ayah tidak sempat bertindak lebih jauh, diluar halaman kami yang luas telah dimasuki oleh "tamu tak diundang". Seorang pemuda telah memanjat pagar rumah kami, dan mengambil induk ayam yang tengah asyik bermain dengan anak-anaknya. Sebelum ayah sempat berlari keluar, induk ayam itu sudah ada di pelukan sang pemuda, dia segera keluar dari pagar lalu memacu motor yang diparkir diluar sekencang-kencangnya.

Sejenak saya tertegun mendengar kalimat yang keluar dari mulut ayah. Beliau mengutuk nyali para pemuda yang kerap dipergunakan dalam cara-cara yang salah. Negara ini makin edan, pikirku.

KENAPA PERUBAHAN ITU BEGITU MENYAKITKAN? (Sebuah Renungan Untuk yang Mengaku Kekinian)

Tuhan, berilah aku kedamaian untuk menerima hal-hal yang tidak dapat aku ubah, keberanian mengubah hal-hal yang bisa aku ubah, dan kebijaksanaan untuk mengetahui perbedaan antara keduanya” (Reinhold Niebuhr).

 

Entah sudah berapa banyak kaum bijak yang mengutarakan statement-nya tentang kehidupan yang dinamis, selalu berubah dari waktu ke waktu, bahwa hidup itu bergerak hingga waktu yang tidak bisa ditentukan oleh makhluk hidup sendiri, sebab hidup bukan spekulasi, oleh karena ada Yang Maha Mengatur untuk kita yang berperan sebagai ‘pemain’. Tidak ada yang tidak berubah di dunia ini, kecuali perubahan itu sendiri, begitu kata mereka.

Masalahnya adalah tentu saja mengeksekusi sebuah perubahan tidak semudah mengucapkan kata “perubahan” itu sendiri. Ada sebuah memontum yang tidak mungkin terelakkan, ketakutan atas perubahan yang meminta pengorbanan harta, jiwa, maupun tenaga. Kurang lebih empat belas abad yang lalu, orang yang paling saya kagumi sejarahnya; sosok yang ucapannya selalu menggetarkan relung-relung jiwa yang sedang kering; jiwa fitri yang membawa ajaran yang suci; berusaha menjadi media nyata untuk menyampaikan firman Allah. Ya, Sang Rasul berusaha membawa perubahan dengan usaha maksimal agar sekecil-kecilnya ‘meminta’ pengorbanan dari pihak yang ingin berubah. Tapi anehnya, walau Rasul membawa risalahnya dengan cara damai, tetap saja ada raut ketakutan dari musuh-musuhnya. Mereka takut menghadapi perubahan, mereka anti untuk meninggalkan “sosok” sesembahan mereka yang lebih nyata di depan mata, yang mereka buat sendiri dengan tangan-tangan penuh noda.

BERITA KADANG MENGGALI WAWASAN, TAK JARANG JADI IDE UNTUK KEJAHATAN

Media informasi tidak bisa dipungkiri semakin menjadi garda terdepan dalam menambah wawasan kita di era globalisasi saat ini, baik itu media dalam bentuk cetak maupun elektronik. Pemberitaan di televisi yang menjadi tontonan paling nyata yang dihadirkan di depan mata mampu menyajikan beragam dinamika yang terjadi di seluruh pelosok nusantara. Tapi kenyataan itu makin terasa nyesek bagi saya pribadi -entah Anda sekalian juga merasa yang sama- bahwa semakin banyak muatan berita kriminal yang kronologisnya bahkan diluar logika dan imajinasi kita sekalipun! Seakan dunia ini menjadi ajang lomba kreatif dalam berbuat kejahatan.

Kita bisa saja menyaksikan pemberitaan yang beragam dalam satu waktu, yang bisa membuat kita geleng-geleng kepala keheranan : ada kasus orang tua (ayah) memperkosa anak kandungnya yang masih di bawah umur, ada kasus seorang anak yang gantung diri karena tidak diizinkan bertemu dengan ayah kandungnya, ada pula yang sebuah keluarga yang memilih mati bersama dengan meminum racun serangga karena alasan ekonomi, ada kasus kelompok pria normal yang berebut memperkosa wanita tunawisma, ada kasus seorang anak yang menuntut ibunya yang sudah lanjut usia di pengadilan karena permasalahan lahan, ada pula yang menuntut orang tua lanjut usia lantaran beliau hanya mengambil sayur di lahan si penuntut. Ada lagi kasus begal motor yang merajalela, pencurian sepeda motor secara masif, pembobolan bank versi internet dan sms banking, serta tak lupa pula kasus jual-beli jasa prostitusi online yang mulai meresahkan. Tentu masih banyak lagi kasus lain, yang jari saya akan pegal jika harus mengetikkan semuanya disini!

JUJUR ITU MANJUR (Sekelumit Kalimat Tentang Good Corporate Governance)

Hal yang sangat aneh ketika melihat orang-orang yang tetap bertahan dengan ketidakjujuran untuk memperoleh sesuatu, padahal mereka tahu tentang konsep “rezeki sudah ada bagiannya masing-masing”, selain itu mereka juga mengerti bahwa Rasul mereka, Muhammad SAW, disegani karena kejujurannya bukan kecurangan.

Dunia bisnis memang sadis, tetap mengacu pada paradigma yang dibentuk oleh para kapitalis, bahwa siapa yang paling opportunis dialah yang jualannya laris. Tidak jarang para pebisnis yang takut uangnya habis, seperti kata AA Gym : mereka tidak paham bahwa yang memerintahkan jujur itu Allah sendiri, dan yang memberi rezeki itu juga Allah, lantas kenapa harus tidak jujur?


Suatu malam saya duduk bersama bapak di depan televisi, begitu serius memperhatikan berita yang cukup heboh. Berita itu seputar tiga anggota keluarga yang sepakat untuk bunuh diri dengan meminum racun serangga. Mereka diduga bunuh diri karena himpitan ekonomi dan kegagalan dalam bisnis. Hal itu diketahui dari surat wasiat yang ditinggalkan oleh mereka. Melihat itu bapak saya merasa geram.

Bapak : “Kok mau ya istri dan anaknya yang masih balita juga minum racun serangga itu hanya untuk memenuhi obsesi sang suami yang gagal dalam bisnis? Bisnis tidak akan ada yang gagal, asal jujur dan bekerja keras. Sukses hanya masalah waktu saja. Cobaan dari Allah itu memang paling sering datang dalam dunia bisnis (dagang), kalau mereka bisa lolos dari cobaan itu jaminan sukses deh. Coba lihat orang-orang besar di dunia bisnis, mereka besar hasil dari jatuh bangun yang kadang membuat hampir putus asa. Tapi mereka bangkit lagi, kumpulin modal lagi, tetap berbisnis dengan jujur lagi.

JIKA HANYA MEMBAWA LUKA, PANTASKAH LIDAH TERUS BERKATA?

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.” (HR Bukhari Muslim) Barang siapa bisa memberikan jaminan kepadaku (untuk menjaga) sesuatu yang ada di antara dua janggutnya dan dua kakinya, kuberikan kepadanya jaminan masuk surga.” (HR. Bukhari)

 

Apa yang ada di benak kita ketika melihat dan mendengar konflik antar kampung? Apa reaksi kita saat mengetahui bahwa sumber pertikaian itu hanya karena masalah sepele? Rasa-rasanya sudah muak melihat orang yang beradu otot di zaman yang sudah mengedepankan pikiran dan teknologi seperti saat ini. Memang banyak faktor yang membuat suatu daerah rawan konflik, antara lain pendidikan, pekerjaan, lingkungan, dan penegasan eksistensi. Tapi amat banyak di luar sana orang-orang yang tidak menyelesaikan jenjang sekolah dasar, tidak memiliki pekerjaan tetap, serta hidup di lingkungan yang kumuh; namun tetap bisa menjadi sumber inspirasi bagi lingkungan sekitarnya. Kenapa kita tidak bisa? Kenapa kita masih mengejar predikat “hebat” dengan memburu dan saling membunuh antar kampung?

ADIL PADA LINGKUNGAN, TANDA KITA BUKAN GENERASI EDAN

Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan." (QS Al-An’am : 38)

Suasana pagi di hari minggu sungguh menyenangkan, selain kita punya waktu senggang untuk sejenak merehatkan badan setelah rutinitas pekerjaan yang berat, kita juga bisa sejenak memanjakan hati dan pikiran untuk keluar ke alam bebas. Betapa indah karunia Tuhan saat kita menyadari bahwa udara segar di pagi hari membuat pikiran kita rileks. Kita tidak hidup di Jakarta yang penuh dengan polusi pabrik. Kita tidak hidup di Surabaya yang sesak dengan kendaraan bermotor. Kita tidak hidup di Medan yang padat dengan manusia. Daerah kita belum mencapai titik kemajuan yang sangat kompleks seperti itu, sehingga kita masih diberi kesempatan menikmati udara segar, jalanan yang lengang, manusia yang homogen, budaya yang sama, kebiasaan yang serasi.

Kemudian tiba-tiba saya merasa asing di daerah saya sendiri. Saya di hari libur seringkali duduk menikmati bubur ayam di Pantai Amahami, sorenya saya menikmati indahnya sunset yang turun ke peraduannya. Semua aktivitas di atas permukaan sungguh menenangkan hati. Namun hati ini teriris demi melihat anak-anak kecil yang dengan polosnya bermain air di bibir pantai yang sangat kotor dengan tumpukan sampah makanan. Anak-anak itu tetap ceria meski kaki mereka menginjak ratusan sampah plastik yang tidak bisa terurai!

Sebenarnya, seberapa peduli kita dengan kelestarian lingkungan? Kita belum menjadi kota-kota besar, daerah kita belum semrawut dengan pembangunan yang tak terkendali. Tapi fakta yang terjadi,

Pemuda, Pembangunan, dan Kemerdekaan

Potensi Pemuda Sang Proklamator, Soekarno, begitu menekankan pentingnya peran pemuda. Ungkapannya yang biasa diulang oleh kita sekarang “ ...