Sabtu, 25 Februari 2017

ADIL PADA LINGKUNGAN, TANDA KITA BUKAN GENERASI EDAN

Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan." (QS Al-An’am : 38)

Suasana pagi di hari minggu sungguh menyenangkan, selain kita punya waktu senggang untuk sejenak merehatkan badan setelah rutinitas pekerjaan yang berat, kita juga bisa sejenak memanjakan hati dan pikiran untuk keluar ke alam bebas. Betapa indah karunia Tuhan saat kita menyadari bahwa udara segar di pagi hari membuat pikiran kita rileks. Kita tidak hidup di Jakarta yang penuh dengan polusi pabrik. Kita tidak hidup di Surabaya yang sesak dengan kendaraan bermotor. Kita tidak hidup di Medan yang padat dengan manusia. Daerah kita belum mencapai titik kemajuan yang sangat kompleks seperti itu, sehingga kita masih diberi kesempatan menikmati udara segar, jalanan yang lengang, manusia yang homogen, budaya yang sama, kebiasaan yang serasi.

Kemudian tiba-tiba saya merasa asing di daerah saya sendiri. Saya di hari libur seringkali duduk menikmati bubur ayam di Pantai Amahami, sorenya saya menikmati indahnya sunset yang turun ke peraduannya. Semua aktivitas di atas permukaan sungguh menenangkan hati. Namun hati ini teriris demi melihat anak-anak kecil yang dengan polosnya bermain air di bibir pantai yang sangat kotor dengan tumpukan sampah makanan. Anak-anak itu tetap ceria meski kaki mereka menginjak ratusan sampah plastik yang tidak bisa terurai!

Sebenarnya, seberapa peduli kita dengan kelestarian lingkungan? Kita belum menjadi kota-kota besar, daerah kita belum semrawut dengan pembangunan yang tak terkendali. Tapi fakta yang terjadi,
perlakuan terhadap lingkungan sama bobroknya dengan yang sering kita lihat di layar televisi selama ini. Para pedagang sudah diberi keleluasaan untuk membuka lapak di pinggir pantai, tapi bukan berarti pedagang juga berhak menjadikan pantai sebagai tempat sampah umum. Warga yang bukan pedagang juga sudah diberi hak untuk menikmati keindahan Amahami di pagi dan sore hari, menikmati interaksi dan kebersamaan disana, tapi bukan berarti kita juga bisa ikut-ikutan memberikan beban sampah yang makin parah di sekitar situ.

Bukan sampai disitu saja. Pemerintah kita sudah memberikan kesempatan bagi warga di pinggir sungai untuk tetap tinggal, yang apabila ingin disesuaikan dengan peraturan maka kawasan rumah mereka itu termasuk dalam kategori daerah terlarang untuk dibangun hunian. Pemerintah sudah memberi keringanan itu, namun warga membalas keringanan itu dengan terus membuang sampah di aliran sungai. Mereka sudah menganggap sungai adalah “bagian belakang” rumah mereka, yang memang pantas untuk dipakai membuang sampah bahkan buang kotoran. Bagaimana lingkungan tidak tercemar jika sudah seperti itu? Bagaimana air sungai yang dulunya jernih tidak berubah cokelat pekat?

Pepohonan yang dahulu membuat daerah Bima sangat teduh dan bersahaja, kini sudah “gundul” terganti oleh bangunan kost, kontrakan, ruko, cafe, dan lain sebagainya. Jalan raya dianggap lebih indah tanpa pepohonan, jalan raya dianggap lebih butuh dilebarkan dari pada di-rindang-kan. Sumbangan oksigen dari tumbuhan hijau itu sangat tidak ternilai, lebih dari harga sebuah keindahan, lebih dari nilai ekonomi semata. Membabat habis semua pepohonan berarti mengurangi pasokan oksigen yang jumlahnya sudah banyak --- itu berarti kita tidak mensyukuri atau tidak butuh oksigen yang banyak ---- dan itu berarti kita tidak butuh kenyamanan --- dan itu berarti kita memang berharap Bima lebih panas --- dan itu berarti kita memang menginginkan banjir makin sering datang --- dan itu berarti kita memang memancing korban jiwa dan harta kita sendiri!

Masyarakat kita mayoritas memeluk agama Islam. Sudah jelas dalam ajaran agama kita dikatakan bahwa “Kebersihan adalah sebagian dari Iman”. Begitu pula kita diajarkan bahwa baik itu binatang maupun tumbuhan dipandang sebagai makhluk pula, umat yang mengabdi pada Pencipta. Tumbuhan dan binatang juga terus beribadah kepada Allah dengan cara mereka sendiri. Mereka berkomunikasi dengan bahasa mereka sendiri. Mereka berinteraksi juga membutuhkan kenyamanan dan rasa sayang. Coba kita bayangkan bagaimana tersiksanya jika berada di posisi makhluk yang notabene mendapat perlakuan buruk dari manusia, tapi tidak bisa membalasnya secara langsung. Bagaimana rasanya jadi ikan yang harus merelakan polusi dalam kandungan air laut hasil dari sampah manusia, sementara manusia diatasnya menatap laut sambil bercengkerama menikmati sunset, berpegangan tangan dengan kekasihnya sambil menghirup udara pagi tanpa polusi?

Bagimana rasanya jadi pepohonan yang sudah tenang tumbuh besar puluhan tahun menyumbangkan oksigen untuk kelangsungan hidup manusia, kemudian dengan seenaknya dibabat habis tanpa rasa bersalah? Bagaimana rasanya jadi ikan-ikan kecil di sungai yang sudah lama menikmati beningnya air selama bertahun-tahun, kemudian mereka harus menyesuaikan diri dengan sampah-sampah dan air keruh yang mereka sendiri tidak tahu dari mana asalnya?

Jika berkaca pada konstruksi ajaran agama Islam, maka kita akan mendapati dalam Al-Qur’an perintah untuk berbuat adil sesama manusia maupun terhadap lingkungan, sebab bukan hanya manusia yang merupakan makhluk Allah di muka bumi ini. Allah menciptakan semuanya dalam rangka mencapai keseimbangan alam, bukan untuk dijadikan lahan egosentrisme manusia semata. Jika kita percaya bahwa manusia adalah khalifah (pemimpin) di muka bumi ini, maka kita perlu menunjukkan kepercayaan Allah tersebut melalui sifat-sifat seorang pemimpin, bukan malah mengacaukan semua itu.

Menurut Kiyai Maman yang saya kutipkan : “Islam adalah agama yang bersumber dari Allah dan berorientasi lingkungan. Salah satu tugas penting kita adalah mengampanyekan pentingnya upaya mengatasi krisis lingkungan, mencari akar permasalahannya, serta mencari solusi penyelamatan lingkungan hidup yang nyata. Hal itu tentu saja tidak bisa dilakukan sendirian oleh para agamawan, melainkan harus melibatkan semua pihak. Misalnya, ilmuwan yang dapat mendiagnosis permasalahan lingkungan secara tepat dan menyeluruh. Pemerintah, baik legislatif maupun eksekutif yang melahirkan kebijakan yang berorientasi pada lingkungan serta mengatur kegiatan produksi dan konsumsi ekonomi berdasarkan undang-undang. Aparat keamanan yang harus bertindak tegas terhadap para pelaku perusakan, para penyalahguna wewenang dan kesepakatan, serta para oknum yang suka memanipulasi data. Tak kalah pentingnya adalah peran kelompok kritis, seperti lembaga non-pemerintah (LSM) dan masyarakat luas.”

Nah, jika sudah seperti itu maka kehidupan kita akan lebih baik. Membuka wawasan tentang lingkungan tidak membuat kita rugi, tetapi justru akan membina kehidupan yang lebih berkelanjutan di zaman yang semakin edan ini. Kita tidak harus ikut-ikutan menjadi edan, tapi justru bisa menjadi teladan menuju kebaikan. Buktikan bahwa “Bima Berteman” bukan hanya sekedar hiasan, bukan hanya slogan, perubahan itu ada di alam kenyataan, bukan hanya di angan-angan..


Selamat petang teman-teman, semoga kita tidak termasuk dalam pengikut arus generasi edan yang tak tahu cara memperlakukan lingkungan,, :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan meninggalkan komentar anda..
Pasti sangat membangun untuk perbaikan blog ini..

Pemuda, Pembangunan, dan Kemerdekaan

Potensi Pemuda Sang Proklamator, Soekarno, begitu menekankan pentingnya peran pemuda. Ungkapannya yang biasa diulang oleh kita sekarang “ ...