Sabtu, 25 Februari 2017

JIKA HANYA MEMBAWA LUKA, PANTASKAH LIDAH TERUS BERKATA?

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.” (HR Bukhari Muslim) Barang siapa bisa memberikan jaminan kepadaku (untuk menjaga) sesuatu yang ada di antara dua janggutnya dan dua kakinya, kuberikan kepadanya jaminan masuk surga.” (HR. Bukhari)

 

Apa yang ada di benak kita ketika melihat dan mendengar konflik antar kampung? Apa reaksi kita saat mengetahui bahwa sumber pertikaian itu hanya karena masalah sepele? Rasa-rasanya sudah muak melihat orang yang beradu otot di zaman yang sudah mengedepankan pikiran dan teknologi seperti saat ini. Memang banyak faktor yang membuat suatu daerah rawan konflik, antara lain pendidikan, pekerjaan, lingkungan, dan penegasan eksistensi. Tapi amat banyak di luar sana orang-orang yang tidak menyelesaikan jenjang sekolah dasar, tidak memiliki pekerjaan tetap, serta hidup di lingkungan yang kumuh; namun tetap bisa menjadi sumber inspirasi bagi lingkungan sekitarnya. Kenapa kita tidak bisa? Kenapa kita masih mengejar predikat “hebat” dengan memburu dan saling membunuh antar kampung?


Miris sekali berada di tengah-tengah pembicaraan yang membeberkan bahwa konflik antar kampung di daerah kita ini kebanyakan dipicu oleh kata-kata yang dikeluarkan tidak pada tempatnya; kadang dimulai dengan cekcok di media sosial, hinaan di sebuah event/lomba antar kampung, atau bahkan kesenggol di jalan yang disertai makian. Hebatnya, hasil dari kejadian sepele itu bisa menggerakkan niat dan tekad masyarakat dua kampung untuk turun ke jalan membawa segala jenis senjata tajam dan senjata api rakitan! Apa hasil yang ingin dicapai? Minimal luka, maksimal berujung kematian. Luar biasa... Betapa mudah untuk menjemput kematian di zaman sekarang.

Kenapa saat diajak untuk melakukan gotong royong pemuda-pemuda kita malah asyik menikmati tidur panjangnya di rumah masing-masing? Kenapa saat dihimbau untuk turun melakukan aksi penggalangan dana untuk negara sahabat yang sedang membutuhkan bantuan pemuda-pemuda kita malah asyik nongkrong melepas tawa? Bagaimana bisa warga dengan banyak kesamaan (adat, budaya, agama, dan lain-lain) lebih semangat untuk membantai sesamanya ketimbang memikirkan orang dengan daerah dan agama berbeda yang sedang perlahan membantai kita dengan tindakan yang masif? Kalau menurut saya, para warga kampung yang selama ini selalu gagah membawa senjata rakitan dan selalu turun ketika ada konflik, lebih baik dikirim ke Palestina saja. Kaum muslim disana sangat membutuhkan bantuan dari para pemuda yang punya jiwa militansi yang kuat seperti itu.

Bagaimana pun juga, para kalangan bijak selalu mengingatkan bahwa setiap kejadian itu bergantung bagaimana kita menyikapinya. Jika ada orang yang mengejek kita, maka ada dua pilihan disana; kita ingin membalas ejekan dia dengan ucapan yang lebih parah, atau membalasnya dengan tersenyum sambil memberikannya saran yang terbaik biar sama-sama enak di hati. Tapi jangan tersenyum sambil memukul ya, itu tidak ada dalam pilihan. Heuheu..

Imam Abu Hatim Ibnu Hibban Al-Busti berkata dalam kitabnya, Raudhah Al-‘Uqala wa Nazhah Al-Fudhala : “Orang yang berakal selayaknya lebih banyak diam dari pada bicara, karena betapa banyak orang yang menyesal karena bicara dan sedikit yang menyesal karena diam. Orang yang paling celaka dan paling besar mendapat bagian musibah adalah orang yang lisannya senantiasa berbicara, sedangkan pikirannya tidak mau jalan”.

Ya, selama ini kita selalu memandang rendah orang yang pendiam dan tidak banyak komentar.  Kita yang sering ngomong  selalu merasa diri (sombong) dengan kemampuan berkomunikasi yang diatas rata-rata. Padahal tidak ada jaminan sama sekali kita lebih baik dari pada orang yang pendiam itu.  Selain dia senantiasa lebih bisa menjaga diri dari ucapan yang tidak berguna (mubajir), dia juga bisa menghindari konflik yang lebih besar dari hasil ucapannya. Betapa menyesalnya jika hasil dari lidah kita berucap satu kata saja yang tidak berkenan, tapi membawa korban nyawa dari orang lain yang sama sekali tidak ada hubungan kekerabatan dengan kita.

Kita ini muslim. We are moeslim. Kekerabatan kita, persaudaraan kita, perjuangan kita; semua terhitung dalam hal kebaikan. Kita sama sekali tidak disarankan bahkan diharamkan untuk menganggap bahwa pertikaian antar sesama  muslim itu adalah bagian dari perjuangan membela kerabat. Hubungan persaudaraan kita tidak dibatasi oleh suku, batas geografi, batas administrasi daerah, pulau, benua, atau pun samudera. Kata ustadz ketika khutbah jumat kemarin : “tidak ada batas-batas fisik bagi persaudaraan kita sesama Muslim, selama dia telah dengan niat murni mengucapkan kalimat syahadat maka dia adalah saudara kita. Haram dalam Islam membunuh atau bahkan sekedar meneteskan darah saudaranya sesama Islam, sebab yang membunuh akan ada prosedur hukuman setimpal untuk dibunuh pula. Tidak akan masuk surga orang yang membunuh saudara sesama Muslim sebelum dia benar-benar diampuni oleh keluarga yang dibunuh dan melakukan taubat nasuha” .

Okelah, mari kita akhiri saja, sebelum saya dianggap sedang berkhutbah disini. Tapi saya dengan niat tulus mengajak kepada teman-teman yang membaca tulisan ini, mari kita sama-sama introspeksi diri. Daerah kita sangat bergantung pada pribadi kita yang pandai memposisikan diri dalam hakikat hidup bermasyarakat. Norma agama selayaknya lebih diprioritaskan dari pada ego kampung, ego desa, ego kelompok, ego organisasi, dan ego pribadi. Toh ‘tidak berpendidikan’ saat ini tidak lagi layak dijadikan alasan untuk jadi faktor konflik yang membabi buta, karena cahaya hidayah Tuhan itu datang kepada hati yang beribadah dan mencari ilmuNya, tidak mesti harus melalui lembaga resmi.

Berita-berita di media elektronik dan media online telah ramai memberitakan turunnya salju di negara-negara timur tengah. Selain itu peneliti dari Arab World Institute telah meneliti lukisan Bunda Maria di Museum Louvre di Prancis, bahwa tulisan (simbol) Arab Pseudo Kufic di kerudung Bunda Maria bila digabung menunjukkan lafadz “Laa Ilaaha Illallah”. Ada lagi berita perpecahan di negara-negara timur tengah yang dipelopori oleh rezim-rezim adikuasa, demi mencaplok kembali “tanah yang dijanjikan”. Sudah sedemikian nyata tanda-tanda akhir zaman yang diprediksi oleh Nabi Muhammad sejak 14 abad yang lalu. Kita di Bima masih saja dengan kesibukan untuk memerangi saudara sendiri? Malu dong dengan waktu! Kita harusnya saat ini sudah berpacu dan berlomba menabung kebaikan, jangan malah menebar benih-benih perpecahan. Sudahlah, awali semuanya dengan sesuatu yang simpel : Jika ucapan dari lisan hanya akan menyebabkan luka, maka sebaiknya lupakan apa yang akan kita ucapkan. Itulah pentingnya akal mendahului lisan, jangan lisan yang mendahului akal. Wallahu’alam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan meninggalkan komentar anda..
Pasti sangat membangun untuk perbaikan blog ini..

Pemuda, Pembangunan, dan Kemerdekaan

Potensi Pemuda Sang Proklamator, Soekarno, begitu menekankan pentingnya peran pemuda. Ungkapannya yang biasa diulang oleh kita sekarang “ ...