Sabtu, 25 Februari 2017

GERAKAN “SEMINGGU TANPA MALAM MINGGU”





Tiga kata yang menarik untuk dicermati saat ini : Cinta, Pemuda, dan Malam Minggu-nya. Layaknya trisula maut dalam klub sepakbola dunia yang terus saling menguatkan sektor penyerangan. Bagai ular berkepala tiga yang akan menjemput ajalnya jika salah satu kepala dibegal. Seperti tiga mata rantai yang berhamburan tak menentu jika salah satu dari tiga pengaitnya dilepaskan. Seumpama trio warkop DKI yang tidak asyik lagi jika salah satu personilnya telah tiada. Semisal Soekarno-Hatta-Syahrir yang begitu kompak jika bersatu. Begitulah, sekedar gambaran betapa ketiga istilah itu kaitannya sungguh erat.

Cinta. Tidak ada yang salah dengan cinta. Cinta hanya kata paling sering dicari dalam kamus para pujangga. Pemuda pun demikian, tidak ada yang aneh dengan kata itu. Malam minggu juga hanya sebuah frase yang terbentuk sebagai istilah lain dari hari sabtu malam. Menariknya adalah saat ketiganya dijejerkan dalam sebuah fenomena kekinian, dalam renungan dalam tentang pergaulan; ketiganya menjadi asyik untuk dijadikan bahan pembelajaran. “Cinta” selalu terkait dengan kejiwaan (psikologi), “Pemuda” akan dinilai dari fisik, sedangkan “Malam Minggu” (entah kenapa saya rasakan) erat kaitannya dengan spiritualitas.

Kenapa frase Malam Minggu, yang bagi sebagian besar pemuda bermakna spesial, namun bisa bermakna spiritual? Pertanyaan itulah yang menjadi titik tumpu (alasan) adanya tulisan ini. Saya tergerak untuk menulis tentang topik ini, bukan berarti saya haters dari hari sabtu malam tersebut, bukan pula berarti saya tidak pernah ‘nongkrong’ menikmati desiran pantai serta menikmati bagaimana gegap gempitanya dunia di malam minggu. Justru karena pernah merasakan sehingga saya tahu, sehingga memberi waktu bagi nurani untuk merenung. Perlahan bergelayut rasa bosan dari lubuk hati yang biasa terjadi pada manusia dalam menghadapi suatu kesenangan semu.


Pertanyaan penting untuk kita sekarang adalah bagaimana bila tidak ada malam minggu dalam kamus para pemuda di Bima? Malam minggu sudah menjadi tren dan juga lifestyle yang mengalir di nadi serta terekam dalam otak bawah sadar. Saat hari sabtu sore tiba, secara otomatis para pemuda, tanpa dikomando, akan mulai berdandan dengan pakaian paling menarik, dengan gaya yang paling trendy, bersiap-siap keluar rumah dengan atau tanpa kekasih hati. Misi-nya adalah mencari kesenangan di malam yang menurut mereka berbeda dari malam-malam lainnya. Betul?

Saya tidak sedang ingin berbicara mengenai doktrinasi agama, tetapi sebelum getol menikmati malam minggu, ada baiknya kita mengerti seluk beluknya dari sisi sejarah. Melihat dari sisi agama, “Minggu” berasal dari akar kata Dominggo (Tuhan) yang merupakan istilah yang “dibumikan” oleh bangsa Portugis kala menjajah Indonesia. Sabtu merupakan hari beribadah bagi Yahudi, dan hari Minggu bagi Nasrani. Sedangkan dari sisi sosial, sabtu dan minggu merupakan akhir pekan (weekend). Hal ini mengacu pada sejarah permintaan buruh Yahudi di Perusahaan Spinning Mill tahun 1908 yang ingin fokus beribadah di hari Sabtu. Mereka yang pertama menerapkan 5 hari kerja bagi perusahaan, dengan hitungan 40 jam seminggu, sehingga perhari karyawan hanya bekerja 8 jam.

Nah, setelah mengetahui sejarahnya, seharusnya itu menjadi titik tumpu yang kuat bagi kita untuk sedikit berbenah. Mayoritas penduduk di Bima beragama Islam, kok kita menjadikan sejarah dan hari suci agama lain untuk ikut mencari kesenangan? Di dalam pedoman agama Islam, hanya ada satu hari yang mulia dalam satu pekan, yaitu Hari Jumat.

Saya tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa kita tidak boleh keluar di malam minggu. Tapi bagaimana jika di malam itu kita manfaatkan dengan kegiatan yang lebih berguna bagi kemajuan daerah Bima. Kegiatan yang menunjukkan bahwa pemuda kita bukan sekedar pemuda pengikut aliran mainstream di malam minggu, bukan sekedar duduk menghirup rokok, menenggak minuman keras, bercumbu dengan pasangan di tempat remang-remang, bermain kartu hingga larut malam.

Inilah impian besar saya. Impian yang begitu berat karena melibatkan unsur kesadaran personal. Impian yang memerlukan solidaritas menyeluruh. Betapa bahagianya saat saya melihat kondisi kota yang berbeda saat malam minggu. Kita para pemuda semua terlibat dalam kegiatan akbar yang menghilangkan “candu” malam minggu yang selama ini tertanam dalam otak bawah sadar masing-masing. Kegiatan ini sekaligus memperlihatkan bahwa pemuda umumnya, dan pemuda Muslim khususnya, memiliki cara tersendiri menghabiskan malam minggu, tanpa mengekor pada kebiasaan pemuda dari umat yang lain. Saya yakin atmosfer Bima akan menjadi lebih positif, sebab saya percaya bahwa ujung tombak penentu kemana arah daerah ini ada di tangan PEMUDA. Kebetulan sebentar lagi kita akan bertemu kembali dengan momen peringatan Hari Sumpah Pemuda, semakin “pas” rasanya kesadaran akan malam minggu ini kemudian disuarakan lebih lantang! Bagi yang memiliki rasa “klik” yang sama ketika membaca tulisan ini, maka pada Anda saya bertanya, kapan kita bertemu untuk merumuskan kegiatan ini? :) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan meninggalkan komentar anda..
Pasti sangat membangun untuk perbaikan blog ini..

Pemuda, Pembangunan, dan Kemerdekaan

Potensi Pemuda Sang Proklamator, Soekarno, begitu menekankan pentingnya peran pemuda. Ungkapannya yang biasa diulang oleh kita sekarang “ ...