Pengantar
Pembahasan mengenai otonomi daerah selalu menjadi ‘nyawa’ bagi perjalanan hidup birokrasi di Indonesia. Betapa tidak, otonomi daerah telah jauh-jauh hari diamanatkan dalam konstitusi tertinggi negara kita (UUD 1945), terutama lebih lengkap setelah amandemen kedua tahun 2000. Materi khusus yang menyebut tentang amanat itu diletakkan pada Pasal 18, 18A, dan 18B. Materi dalam konstitusi tertinggi itulah yang kemudian diturunkan dalam bentuk UU, Perpu, Perpres, Perda, dan peraturan yang ada di bawahnya. Usaha untuk menerapkan otonomi daerah sudah coba diinisiasi sejak pemerintahan Orde Baru berkuasa, yaitu melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Namun alih-alih menyalurkan amanat UUD 1945, pemerintah yang saat itu berkuasa masih tetap menonjolkan sistem sentralisasi, segala sesuatu terpusat ke ibukota negara. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 kemudian dianggap sebagai konstitusi yang gagal diterapkan oleh sebab sistem terpusat yang masih kuat mencengkeram. Pergantian era kepemimpinan dari pemerintah otokrasi ke sistem yang lebih demokrasi di tahun 1998 menjadi tonggak sejarah lahirnya peraturan baru terkait otonomi daerah. Tepat di saat Presiden Habibie memegang estafet kepemimpinan dari Pak Harto, dibentuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah. Peraturan ini yang kemudian dinilai berhasil untuk pertama kalinya meletakkan dasar bagi penyelenggaraan otonomi daerah yang lebih terarah. Salah satu bukti bahwa peraturan ini lebih terarah adalah karena pembentukannya diikuti pula dengan Undang-Undang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU No. 25 Tahun 1999).
Pada Undang-Undang Nomor 22 tersebut, terowongan otonomi daerah sudah bisa mengarahkan gerbong kereta pemerintahan untuk berjalan sesuai dengan rel-nya. Otonomi daerah kemudian lebih dilihat sebagai hak setiap daerah otonom, bukan lagi sebuah kewajiban yang memberatkan. Daerah otonom dilimpahkan hak yang lebih nyata dan bertanggung jawab secara moral dan konstitusional di bawah payung negara kesatuan. Semua kebijakan selain politik luar negeri, keagamaan, fiskal, peradilan, ketahanan & keamanan, diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah masing-masing. Peraturan itu kemudian lebih memberikan kesadaran akan pentingnya upaya pemberdayaan masyarakat dalam ranah potensi dan kearifan lokal daerah. Pada era kepemimpinan Ibu Megawati, peraturan mengenai otonomi daerah kemudian mengalami perubahan lagi dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 untuk menggantikan peraturan sebelumnya. Hal yang sama juga dilakukan terhadap Undang-Undang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (diganti dengan UU Nomor 33 Tahun 2004). Peraturan otonomi daerah menjadi (bisa jadi) makin sempurna ketika setelah itu berubah lagi dengan