Rabu, 26 Februari 2014

[Siaga] Tahun 2017, Daerah Otonom Bisa Dihapus


Pengantar

Pembahasan mengenai otonomi daerah selalu menjadi ‘nyawa’ bagi perjalanan hidup birokrasi di Indonesia. Betapa tidak, otonomi daerah telah jauh-jauh hari diamanatkan dalam konstitusi tertinggi negara kita (UUD 1945), terutama lebih lengkap setelah amandemen kedua tahun 2000. Materi khusus yang menyebut tentang amanat itu diletakkan pada Pasal 18, 18A, dan 18B. Materi dalam konstitusi tertinggi itulah yang kemudian diturunkan dalam bentuk UU, Perpu, Perpres, Perda, dan peraturan yang ada di bawahnya. Usaha untuk menerapkan otonomi daerah sudah coba diinisiasi sejak pemerintahan Orde Baru berkuasa, yaitu melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Namun alih-alih menyalurkan amanat UUD 1945, pemerintah yang saat itu berkuasa masih tetap menonjolkan sistem sentralisasi, segala sesuatu terpusat ke ibukota negara. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 kemudian dianggap sebagai konstitusi yang gagal diterapkan oleh sebab sistem terpusat yang masih kuat mencengkeram. Pergantian era kepemimpinan dari pemerintah otokrasi ke sistem yang lebih demokrasi di tahun 1998 menjadi tonggak sejarah lahirnya peraturan baru terkait otonomi daerah. Tepat di saat Presiden Habibie memegang estafet kepemimpinan dari Pak Harto, dibentuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah. Peraturan ini yang kemudian dinilai berhasil untuk pertama kalinya meletakkan dasar bagi penyelenggaraan otonomi daerah yang lebih terarah. Salah satu bukti bahwa peraturan ini lebih terarah adalah karena pembentukannya diikuti pula dengan Undang-Undang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU No. 25 Tahun 1999).

Pada Undang-Undang Nomor 22 tersebut, terowongan otonomi daerah sudah bisa mengarahkan gerbong kereta pemerintahan untuk berjalan sesuai dengan rel-nya. Otonomi daerah kemudian lebih dilihat sebagai hak setiap daerah otonom, bukan lagi sebuah kewajiban yang memberatkan. Daerah otonom dilimpahkan hak yang lebih nyata dan bertanggung jawab secara moral dan konstitusional di bawah payung negara kesatuan. Semua kebijakan selain politik luar negeri, keagamaan, fiskal, peradilan, ketahanan & keamanan, diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah masing-masing. Peraturan itu kemudian lebih memberikan kesadaran akan pentingnya upaya pemberdayaan masyarakat dalam ranah potensi dan kearifan lokal daerah. Pada era kepemimpinan Ibu Megawati, peraturan mengenai otonomi daerah kemudian mengalami perubahan lagi dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 untuk menggantikan peraturan sebelumnya. Hal yang sama juga dilakukan terhadap Undang-Undang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (diganti dengan UU Nomor 33 Tahun 2004). Peraturan otonomi daerah menjadi (bisa jadi) makin sempurna ketika setelah itu berubah lagi dengan
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah. Kini bangsa Indonesia sedang menikmati atmosfer otonomi daerah yang telah digaungkan selama ini. Timbul pertanyaan besar kini, apakah setelah sekian lama konsep otonomi daerah diterapkan telah membawa kemajuan yang lebih dari era sentralisasi otokrasi dahulu? Apakah desentralisasi hanya kebijakan yang menguntungkan pihak pencari untung? Apakah masyarakat secara nyata sudah merasakan dampak langsung dari otonomi daerah? Apakah semua daerah otonomi sudah berhasil membangun daerahnya sendiri?

Daerah Otonom Bisa Dihapus

Menilik pada evaluasi dari Kementerian Dalam Negeri Tahun 2011 terkait tingkat efektivitas berbagai daerah otonom di Indonesia, masih sangat banyak daerah yang tidak bisa berkembang dan tumbuh dengan cepat setelah memekarkan diri. Hal ini kemudian memunculkan keresahan dalam tubuh pemerintah pusat, ditakutkan bahwa kebijakan otonomi daerah hanya dilakukan secara formalitas untuk memunculkan ‘raja-raja kecil’ yang lebih rakus. Pemekaran wilayah bisa jadi hanya kedok untuk melindungi aset berharga milik daerah untuk kemudian digunakan untuk melanggengkan tahta, harta, dan wanita oleh para pemimpin hedon. Hal ini bukan hanya isu belaka, setelah secara beruntun pejabat-pejabat di daerah mulai diendus oleh KPK tentang kebejatan moral mereka terhadap gelimang kenikmatan dunia. Bagi saya pribadi, kini rasa-rasanya sudah tidak ada lagi pejabat yang bersih, sudah tidak ada lagi pejabat yang tidak korupsi; hanya saja belum terbukti. Daftar lengkap para pejabat haus akan kenikmatan dunia, dan melakukan tindak pidana korupsi dapat dilihat disini.


Berkaca dari uraian tersebut, menurut saya sudah tepatlah kiranya keputusan pemerintah (dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri) untuk merencanakan penghapusan daerah-daerah otonom yang dinilai tidak berkembang sejak waktu berdirinya. Rencana ini akan mulai dijalankan pada tahun 2014 ini, dengan mekanisme yang sudah ditentukan. Kementerian Dalam Negeri bertugas untuk mendampingi daerah-daerah baru yang dinilai belum berkembang untuk membantu dan melakukan evaluasi. Tempo waktu pendampingan ini dilakukan dalam waktu 3 tahun. Jika tidak terjadi perkembangan yang berarti, maka Kementerian Dalam Negeri bisa mengajukan rekomendasi untuk penghapusan daerah-daerah otonom itu. Jika memang kebijakan tersebut akan segera diterapkan tahun ini, maka penghapusan daerah otonom bisa terjadi di tahun 2017. Selain upaya penghapusan, dalam Perpres Nomor 59 Tahun 2012 Tentang Kerangka Nasional Pengembangan Kapasitas Pemerintah Daerah juga mengadung materi tentang penggabungan dan penyesuaian. Jika suatu daerah tidak berkembang secara signifikan, maka pemerintah dapat memberikan 3 opsi tersebut. Penghapusan adalah upaya yang dilakukan untuk benar-benar meniadakan suatu daerah otonom, dengan meleburkan kembali menjadi bagian daerah tingkat diatasnya. Penggabungan adalah langkah menyatukan dua atau lebih daerah yang dinilai bisa bersama-sama mengejar ketertinggalan daerahnya. Penyesuaian adalah pemindahan sebuah daerah ke daerah lingkup diatasnya yang administrasinya lebih berdekatan.

Langkah itu akan memuat dua kebijakan sekaligus, selain sebagai ajang asistensi dan evaluasi, juga bisa sebagai upaya punishment bagi daerah-daerah otonom yang tidak kunjung mandiri. Fenomena ini bisa saya ibaratkan sebagai orang tua yang melepas anaknya dengan modal uang tertentu agar anaknya bisa mandiri, punya pekerjaan, tempat tinggal, dan rumah tangga sendiri. Namun dalam perjalanan waktu, anak itu tidak bisa menjalankan amanah dari orang tuanya secara bijak. Dia malah membelanjakan uangnya untuk berfoya-foya dan kesenangan sesaat. Ketika uangnya sudah habis, dia baru sadar bahwa tidak ada yang telah dia lakukan demi masa depannya. Begitu pula dengan yang terjadi di daerah-daerah saat ini, setiap insan sudah berlomba untuk mendapatkan jabatan strategis di daerah. Semua merasa bahwa kekangan peraturan pemerintah pusat di daerah makin lemah, monitoringoperasional pemerintahan makin tidak tegas (loyo & impoten), hukuman yang diberikan bagi para pelaku kejahatan sungguh ringan (seperti gigitan semut di kaki gajah).

Semoga dengan rencana kebijakan baru dari Kementerian Dalam Negeri ini bisa membawa perubahan yang berarti terhadap pola pelaksanaan otonomi daerah yang semakin brutal. Ibu kandung harus tetap mengayomi anaknya, tanpa harus dilepas dengan bebas. Hingga kini menurut Kementerian Dalam Negeri daerah otonom di Indonesia sudah berjumlah 538 (4 provinsi, 411 kabupaten, dan 93 kota). Jumlah ini ke depannya bisa bertambah dengan cukup pesat. Kita nantikan peran pemerintah dalam menjadi pihak fasilitator yang bijak dalam menentukan arah perubahan dengan langkah positif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan meninggalkan komentar anda..
Pasti sangat membangun untuk perbaikan blog ini..

Pemuda, Pembangunan, dan Kemerdekaan

Potensi Pemuda Sang Proklamator, Soekarno, begitu menekankan pentingnya peran pemuda. Ungkapannya yang biasa diulang oleh kita sekarang “ ...