Jumat, 21 Februari 2014

Mengkritisi Program KB-nya Pemerintah



Sejenak saya termenung membaca berita yang bertema kependudukan di Indonesia. Berita pagi ini menyorot kependudukan dalam hal kuantitas. Berita tersebut menggambarkan betapa hebohnya Menkokesra (Agung Laksono) dalam menyampaikan prediksi jumlah penduduk Indonesia yang akan mencapai angka 300 juta jiwa di tahun 2035 dalam Rakernas BKKBN di Jakarta. Seberapa daruratkah kondisi laju pertumbuhan penduduk kita, sehingga kemudian menjadi salah satu titik fokus bagi pemerintah? Sudah tepatkah langkah pemerintah sejak tahun 1970 menerapkan program KB sebagai kegiatan berskala nasional? Tunggu dulu, saya ingin sedikit mengupas dari sisi yang berbeda. Saya ingin melihat dari sudut pandang agama yang saya anut. Jangan sampai ada yang sentimen. Indonesia memang bukan negara agama, tapi juga tidak sekuler. Jadi bagi yang sentimen dengan sudut pandang saya, bisa jadi dia beraliran sekuler, yang mau memisahkan agama dari negara. Hehe..

KB dalam Sejarah

Sebelum kita melangkah pada pembahasan yang lebih jauh, ada baiknya saya sedikit mengupas sejarah berdirinya BKKBN di Indonesia. Lembaga ini yang pada akhirnya menjadi
tulang punggung pemerintah pelaksanaan kesejahteraan berbasis keluarga atau rumah tangga. Segala tetek bengek terkait kelahiran (fertilitas), kematian (mortalitas), PMS (Penyakit Menular Seks), perilaku seksual, perilaku remaja, dan lain-lain, lembaga inilah yang diberikan mandat oleh pemerintah. Sejarah yang cukup lengkap saya sarikan dari blog ini, karena memang saya bukan pakar KB atau pun pegawai di kantor BKKBN, sehingga kurang paham betul sejarahnya.

  • Latar belakang lahirnya program KB antara lain : besarnya jumlah penduduk, cepatnya laju pertumbuhan penduduk, jumlah kelahiran, kematian, dan perpindahan penduduk.
  • Program KB secara informal sebenarnya telah mulai diperkenalkan oleh komunitas bernama Perkumpulan Keluarga Berencana (PKB) pada tahun 1957. Program KB saat itu masih termasuk dalam program kesehatan, bukan kependudukan. Pemerintah belum punya political will terhadap program tersebut.
  • Seiring berjalannya waktu, pemerintah mulai merasa bahwa KB sangat terkait dengan perkembangan ekonomi negara. Pada tahun 1970, program KB mulai diresmikan menjadi program skala nasional.
  • Selama kurun waktu 30 tahun (1970-2000), masyarakat Indonesia sudah bisa melek terhadap KB dan menerimanya sebagai sebuah lifestyle. Sudah terpupuk dalam pikiran masyarakat bahwa program KB bisa membuat keluarga menjadi berkualitas, program KB bukan membunuh calon anak, program KB hanya memberikan space kosong yang cukup diantara satu anak dan anak yang lain agar jaraknya tidak terlalu berdekatan.
  • Pada periode yang sama (1970-2000), angka kelahiran menjadi lebih menurun. Jika pada tahun 1970 rata-rata satu rahim bisa melahirkan bayi 5-6 jiwa dalam masa suburnya, maka pada tahun 2000 rahim wanita rata-rata hanya mampu meahirkan 2-3 bayi saja.
  • Pemerintah juga mengklaim bahwa pada tahun 1970 jumlah penduduk adalah 110 juta jiwa. Setelah adanya program KB, pada tahun 2000 jumlah penduduk hanya 203 juta jiwa. Menurut mereka, jika tidak ada program KB, maka di tahun 2000 harusnya penduduk telah berjumlah 282 juta jiwa. Wah-wah..

Sudut Pandang [Sedikit] Berbeda

Program KB bukan serta merta datang dan dicetuskan oleh orang Indonesia. Program ini masuk dalam salah satu rencana besar kaum rasialis dunia. Salah satu pesan kaum mereka yang tercantum dalam Georgia Guidestone adalah agar tetap memelihara ras dunia dibawah jumlah setengah milliar. Demi mencapai target tersebut, dibuatlah kebijakan internasional tentang KB, Imunisasi, Vaksinasi, dan Penyaluran makanan. Apa ini sesuatu yang kebetulan? Apa tidak aneh ketika pernyataan dari mantan Menlu Amerika (negara yang notabene pencetus KB), kemudian mengemuka? Saya mengutip ungkapan Mantan Menlu Amerika itu dari tulisan Bung Kusan disini :

“Pengurangan jumlah penduduk dunia harus menjadi prioritas utama politik luar negeri AS. Amerika Serikat akan memerlukan bahan-bahan sumber mineral dengan jumlah banyak dari luar negeri, terutama yang berasal dari negara-negara berkembang. Dengan mengurangi jumlah penduduknya, maka akan dapat meningkatkan prospek stabilitas, kebijakaan kependudukan menjadi relevan berkaitan dengan sumber-sumber daya alam, pasokannya, dan kepentingan perekonomian AS sendiri.” (Henry Kissinger)

Apa yang anda pikirkan jika membaca kutipan pernyataan diatas? Kemudian jika Anda kaitkan dengan pencetusan program KB, Imunisasi, dan Vaksinasi, akankah Anda menemukan korelasi? Percaya atau tidak, ketika program imunisasi dan vaksinasi diterapkan, justru jumlah balita yang meninggal karena penyakit polio, campak, dan penyakit lainnya malah semakin bertambah dengan pesat. Contohnya bisa dilihat di Afrika, tidak terkecuali di negara kita tercinta. Setidaknya untuk satu point ini saya sepakat dengan pandangan Bung Kusan.

Namun, ada satu pandangan lagi yang menarik untuk disimak tentang Program Keluarga Berencana ini, yaitu tulisan Mamang Haerudin disini. Beliau mengupas aspek keunggulan KB dari pandangan Islam untuk diterapkan di Indonesia. Disebutkan pula bahwa program KB bagus dilaksanakan karena dapat mendaulatkan wanita, agama Islam, dan Negara Indonesia. Bung Maman ini tidak setuju jika melibatkan unsur-unsur berupa konspirasi, semua itu dianggap bualan. Saya akan lebih membahas pendapat yang kedua ini, karena saya rasa agak berbeda ketimbang pandangan saya dan Bung Kusan tadi.

Ada Unsur Daruroh dalam Islam

Mengawali pembahasan di sub bagian ini, saya ingin mengutip salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa’i (yang dimuat di dalam buku Shahih al-Jami’ as-Shaghir) yang memiliki arti berikut :

“Menikahlah kamu, kemudian berketurunanlah, agar jumlah kamu menjadi banyak, karena sesungguhnya aku bangga dengan jumlahmu yang banyak atas umat-umat yang lain”

Program Keluarga Berencana (KB) memang harus diakui sebagai kegiatan yang mampu mengurangi beban ekonomi pemerintah berdasarkan pembatasan jumlah penduduk, dan penekanan laju pertumbuhannya. Agama Islam memperkenankan dilakukannya hal-hal yang tidak tercantum dalam Al-Qur’an yang bersifat membawa kemaslahatan (kebaikan) bagi seluruh umat manusia. Namun, ada dua faktor yang perlu diingat, antara lain : Faktor Daruroh dan Faktor Cara / Metode.
Faktor Daruroh. Apakah sebelum memutuskan untuk menerapkan program KB, pemerintah sudah memaksimalkan pengelolaan seluruh potensi sumber daya alam yang ada di Indonesia? Apakah pulau-pulau yang jumlahnya mencapai angka 18.000 telah diolah dan digunakan semua? Setahu saya baru 6000 pulau saja yang telah digunakan dan dikelola. Hanya sepertiga dari jumlah pulau di seluruh Nusantara! Di samping itu, apakah pemerintah telah maksimal dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat dengan adil dan merata? Nah, ketika semua itu telah dilakukan, namun tetap tidak bisa mewadahi masyarakat yang lahir alami tanpa KB, barulah pemerintah bisa punya alasan yang kuat (yang bersifat daruroh itu) sebagai landasan program. Nyata-nya, saat ini pemerintah belum megeksplorasi semua pulau, belum menggali semua potensi bumi, belum memberikan pelayanan yang maksimal terhadap masyarakat, namun sekonyong-konyong sudah berkoar dan heboh takut Indonesia sudah tidak punya lahan lagi menampung manusia, sudah berkoar bahwa dana pemerintah tidak cukup membiayai kehidupan masyarakat, sudah paranoid dengan bayi yang lahir akan menjadi beban bagi negara. Semua hanya alasan tak logis, Klise!

Faktor Cara. Jikalau pun ada kegiatan pembatasan keturunan, maka program itu harus berbasis pada konsep negara kita sendiri, dengan memikirkan tingkat mudharotnya (bahayanya). Bukan konsep yang berasal dan dikiblati dari barat sana, yang notabene sangat amat punya kepentingan terhadap negara berkembang macam Indonesia tercinta ini. Konsep yang ditawarkan harus benar-benar tidak membahayakan, misalnya dengan ramuan alami, tidak mengandung bahan kimia dengan efek samping berbahaya. Bukan malah seperti cara kaum barat yang sampai memotong saluran sperma, memasang alat di bibir rahim, dan lain sebagainya.

Kongklusi

KB memang membawa beberapa kebaikan bagi negara yang notabene belum cukup dana untuk memajukan perekonomian seperti Indonesia. Namun yang perlu diketahui adalah pemerintah perlu terlebih dahulu mengelola semua kekayaan alam (seperti pulau), sebelum ‘menyerah kalah’ dengan kondisi kependudukan yang kian rumit. Faktor daruroh perlu ditemukan dahulu, sebelum mengatakan tak sanggup. Apakah pemerintah harus terus menyerah sebelum berperang? Walaupun dengan begitu pemerintah mengorbankan pemahaman masyarakat awam? Belum lagi dampak dari Vaksinasi dan Imunisasi yang disuntikkan setiap hari kepada bayi-bayi di Indonesia. Kini jika ada pertanyaan, “Apakah Program KB itu memang murni inisiatif lembaga Indonesia atau pesanan dari Barat?” pemerintah jangan ragu untuk menjawab. Hehe..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan meninggalkan komentar anda..
Pasti sangat membangun untuk perbaikan blog ini..

Pemuda, Pembangunan, dan Kemerdekaan

Potensi Pemuda Sang Proklamator, Soekarno, begitu menekankan pentingnya peran pemuda. Ungkapannya yang biasa diulang oleh kita sekarang “ ...