Kamis, 13 Februari 2014

Masa Transisi dari Kuliah menuju Kerja, antara Rezeki dan Kegalauan


Posisi sulit dalam hidup ini selalu ada. Pada saat kita masih sekolah, masuk kuliah merupakan sebuah proses yang dianggap sulit. Pada saat kita sudah kuliah, maka menyusun tugas akhir adalah masa sulit seorang mahasiswa. Kemudian ketika masa-masa itu telah terlewati, masuklah kita pada babak baru sebelum mendapat pekerjaan, itu masa sulit sebagai seorang alumni perguruan tinggi. Nampaknya masa sulit selalu berganti wajah di setiap perbedaan peran yang dilakukan oleh manusia. Nampaknya hal ini juga yang diistilahkan oleh Einstein sebagai relativitas. Benar kan?

Kondisi yang Terjadi..

Masa penantian untuk mendapatkan pekerjaan relatif beragam; ada yang baru satu bulan menunggu sudah mendapatkan pekerjaan sesuai dengan keinginannya, ada yang telah menunggu satu tahun akhirnya diterima di suatu instansi, ada pula yang bertahun-tahun ikut seleksi masuk perusahaan namun tak kunjung menuai rezeki yang diharapkan. Ironisnya, kini semakin nyata bahwa perusahaan dan instansi yang membutuhkan pegawai membuat sebuah mekanisme penerimaan yang mulai terkesan aneh. Kenapa aneh? Dahulu kala,
mungkin instansi atau perusahaan hanya terlihat mempertimbangkan prestasi berupa IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) sebagai indikator utama penerimaan pegawai. Seiring dengan perjalanan waktu, maka muncullah berbagai keanehan itu. Masih bersyukur jika mereka menarik pegawai berdasarkan keaktifan di organisasi saat perkuliahan. Namun, yang aneh adalah ketika perusahaan dan instansi pemerintahan kerapkali merekrut berdasarkan indikator lain seperti : kedekatan ikatan keluarga, banyaknya uang yang bisa dibayarkan. Ada pula perusahaan yang melihat paras dan ketampanan sebagai pertimbangan utama. Ada lagi instansi pemerintah yang kantornya di dominasi oleh lulusan dari suatu universitas tertentu, sehingga bisa ditebak bahwa, mereka akan menerima calon pegawai yang merupakan alumni dari universitas mereka juga. Siaal!

Sadar Posisi..

Kegamangan yang dirasakan oleh setiap mereka yang berada pada masa transisi antara kuliah dan kerja ini (aku tak ingin menyebut pengangguran), bisa kutebak, berkutat pada kesadaran akan posisi mereka di dalam berbagai ikatan. Hal ini berlaku hanya bagi mereka yang memiliki kepekaan dalam hatinya. Maksudnya gimana? Seseorang yang sadar posisi akan berpikir bahwa :

Saat ini, misalnya, dia adalah anak sulung dari adik-adiknya yang banyak. Sebelumnya dia berkomitmen kuat pada diri sendiri untuk segera lulus agar menjadi contoh dan teladan yang baik bagi adik-adiknya, agar ketika mereka juga kuliah akan merasa bersungguh-sungguh untuk menyelesaikan studi. Namun apa yang akan dipikirkan oleh adik-adiknya ketika dia telah lama lulus kuliah tetapi belum kunjung diterima kerja? Apakah adik-adiknya tidak malah berpikir lebih baik kuliah lama-lama saja, biar tidak jadi Pengacara (Pengangguran Banyak Acara) seperti dia??

Ketika dia anak sulung dari saudaranya yang banyak, maka dia berkomitmen untuk segera menyelesaikan kuliah agar bisa meringankan beban keuangan orang tua dalam membiayai pendidikan anak-anaknya. Namun apa yang dipikirkan orang tua ketika setelah lulus dia tidak kunjung mendapat pekerjaan, dan setiap bulan orang tua masih mengeluarkan uang untuk keperluan dia? Apa lantas orang tua tidak kecewa dengan ini semua?

Ketika orang tuanya selama ini selalu memuji dia di depan para tetangga karena waktu kuliahnya yang lumayan cepat dan diikuti dengan IPK tinggi, maka para tetangga begitu kagum dan menginginkan anak-anak mereka seperti dia juga. Namun apa yang ada dalam pikiran para tetangga saat melihat sang putra sulung itu dalam kesehariannya hanya duduk di rumah dan keluar bermain dengan teman-teman sesama ‘profesinya’? Bukankah hanya aka nada cibiran disana?

Dahulu saat camer (calon mertua) setuju anak wanitanya dipacari oleh dia, itu karena camer paham bahwa dia punya masa depan yang cerah, passion yang bijak, tanggung jawabnya pun besar. Betapa bangga sang camer ketika mendengar camen (Calon Menantu) lulus dengan predikat cumlaude. Saking bangganya, camer selalu memuji dia di depan para tetangga, bahwa dia adalah pilihan tepat bagi anak wanitanya. Namun apa yang akan terlintas di pikiran camer ketika ternyata dia tak kunjung mendapat pekerjaan, dimana pekerjaan adalah salah satu syarat darinya untuk menikah? Apa camer akan bertahan pada pilihannya ketika sadar usia anak wanitanya sudah tidak muda lagi? Bukankah sang camer akan mencarikan lelaki terbaik untuk anak wanitanya? Dengan kata lain sang camen akan mulai dijauhi.. Ironis!

Benang Merah..

Masa transisi dari kuliah menuju sebuah pekerjaan memang bukan hal mudah. Jika dulu peluang bagi seorang yang berprestasi sangat besar untuk diterima bekerja, kini system yang berlaku telah banyak berubah. Banyak faktor yang menentukan. Namun satu hal yang tidak pernah berubah, rezeki tetap ada yang memegang dan mengaturnya. Semakin banyak ikhtiar dan doa, maka semakin terbuka peluang itu. Belum diterima kerja tidak selalu berarti ikhtiar dan doa kita tertolak, tapi tetap ada sebuah skenario indah yang sedang direncanakanNya untuk insan yang tidak hanya diam dalam putaran roda zaman yang semakin tidak karuan. Orang tua, saudara, camer, tetangga, atau siapa pun itu, jika mengerti hal ini maka mereka tidak akan banyak menuntut dan menghujat para pelaku transisi antara kuliah dan kerja..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan meninggalkan komentar anda..
Pasti sangat membangun untuk perbaikan blog ini..

Pemuda, Pembangunan, dan Kemerdekaan

Potensi Pemuda Sang Proklamator, Soekarno, begitu menekankan pentingnya peran pemuda. Ungkapannya yang biasa diulang oleh kita sekarang “ ...