Jumat, 14 Februari 2014

‘Perang’ Facebook SBY vs PM Singapura


Selayang Pandang

Sosial media Facebook tidak bisa dipungkiri sudah menjadi tren kehidupan masa kini. Pengguna aktif yang terdata pada hingga medio oktober 2013 telah menembus angka 1,19 miliar. Kalau dalam istilah dagang, itu baru berat bersihnya (Netto), belum lagi jika dihitung kotornya (Bruto) yang terkait dengan pengguna akun musiman, hacker, ataupun pengguna yang mendaftar untuk sekedar iseng saja. Facebook terkenal berkat fitur-fiturnya yang mudah diingat atau terkesan friendly, publikasinya pun gencar, sehingga memancing setiap pengguna untuk login, login, dan login lagi.

Pengguna Facebook datang dari berbagai kalangan, mulai dari anak remaja alay yang sedang sibuk dengan kisah cinta monyetnya, anak muda yang sedang sibuk dengan titel barunya sebagai pengangguran selepas kuliah, ibu-ibu rumah tangga yang sedang memasak di dapur sambil memegang gadget, para pria paruh baya yang sedang mencalonkan diri jadi pejabat dengan wadah partai, sampai tokoh politik yang sedang ingin melakukan pencitraan demi menggalang suara di pemilu. Sekarang, para pejabat pemerintahan tidak mau kalah narsis, tidak rela kalah eksis.

Terlalu Melankolis

Berita terhangat yang sedang dibahas di berbagai media saat ini adalah mengenai pro-kontra penamaan KRI (Kapal Republik Indonesia), yang umumnya digunakan sebagai armada perang. Pro-kontra yang terjadi antara kedua negara, Indonesia dan Singapura, berkutat seputar tidak setujunya negara Singapura dengan nama KRI yang diberikan oleh Indonesia (Usman Harun). Menurut pemerintah Singapura, kapal yang diambil dari nama kedua mantan Korps Komando Operasi TNI AL (Usman Haji Muhamed Ali & Harun Said) yang tewas dihukum mati oleh Pemerintah Singapura pada tahun 1968 itu, hanya akan membuka kembali luka lama. Sementara pihak Indonesia menganggap pemberian nama itu sebagai hal yang biasa, sebab Indonesia telah menganggap mereka berdua merupakan pahlawan, walaupun bagi Singapura mereka berdua adalah teroris. Dampak dari ketegangan ini, kedua negara sedang mengalami perang urat syaraf. Salah satu dampak tersebut adalah Panglima TNI Jenderal Moeldoko membatalkan diri berangkat pada acara Singapore Airshow.

Menurut saya pribadi, Singapura terlalu terbawa oleh melankolisme masa lalu sehingga terkesan berlebihan. Mengapa demikian? Kita contohkan saja dengan hubungan diplomatik masa kini antara Indonesia dengan Jepang serta Belanda. Apakah dengan melaratnya Indonesia tempo dulu di bawah jajahan kedua negara tersebut lantas harus memupuk kebencian kita demi solidaritas terhadap pahlawan masa silam? Apakah lantas jika pemerintah Belanda menamakan kapal perangnya dengan nama ‘Soekarno’ akan kita anggap sebagai membuka luka lama? Atau misalnya ketika Pemerintah Jepang datang menanamkan investasinya di Indonesia dengan membangun perusahaan lantas disebut sebagai upaya menjajah kembali? Tentu tidak seperti itu bukan? Sementara ini, Pemerintah Indonesia dan Singapura meributkan hal yang hanya seputar penamaan sebuah kapal. Apakah memang sesensitif itu?

Facebook Jadi Saksi Bisu

Masih terkait konflik tersebut, ada hal menarik yang perlu disorot terkait dengan hubungan diplomatik kedua negara. Kini perkembangannya tidak hanya terjadi di dunia nyata, namun ketegangan telah merasuki dunia maya pula. Facebook yang pada pembahasan awal tadi dikatakan sebagai media sosial yang telah menjadi tren, kini dipanaskan dengan berita tentang Perdana Menteri Singapura yang mem-blockpertemanannya dengan Presiden Indonesia. Hal ini sungguh membuat saya terpingkal jika harus membayangkannya. Tingkah polah para petinggi masing-masing negara sudah seperti dua remaja alay yang sedang kasmaran di Facebook. Pada awal pertemanan, terasa manis dengan hiasan kata-kata cinta di ‘dinding’ pasangannya. Seiring berjalannya waktu, ketika si cowok ketahuan selingkuh, maka yang cewek akan mengirimkan pesan perpisahan lewat inbox, kemudian memblokir pertemanan mereka. Sehingga mereka tidak dapat saling melihat aktivitas apa saja yang dilakukan oleh sang mantan. Bagi si cewek, langkah itu untuk menghindari rasa sakit hati yang lebih mendalam jika melihat keromantisan yang ditebar oleh sang cowok dengan kekasih barunya. Bagi si cowok, kencan rahasianya yang ketahuan membuat dirinya bisa lebih berhati-hati lagi dalam strategi mendulang pacar. Jika membayangkan ilustrasi itu, saya tidak bisa menahan ketawa, membayangkan hubungan istimewa Presiden kita dengan Perdana Menteri Singapura.

Kongklusi

Kadang saya merasa, begitu mudahnya Indonesia terombang-ambing oleh berbagai isu dan pemberitaan yang negatif. Hal ini menunjukkan betapa lemahnya bargaining position negara kita di kancah Internasional. Jika saja pemerintah kita bisa lebih tegas, bisa jadi pemerintah negara lain akan gentar. Mereka akan berpikir seratus kali terlebih dahulu jika ingin membuka mulut untuk membicarakan tentang Indonesia. Tidak seharusnya negara lain bebas berkoar dengan melibatkan nama Indonesia. Sumpal mulut mereka dengan ketegasan yang kharismatik, jangan hanya bisa diam tak berkutik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan meninggalkan komentar anda..
Pasti sangat membangun untuk perbaikan blog ini..

Pemuda, Pembangunan, dan Kemerdekaan

Potensi Pemuda Sang Proklamator, Soekarno, begitu menekankan pentingnya peran pemuda. Ungkapannya yang biasa diulang oleh kita sekarang “ ...