Selasa, 04 Februari 2014

[Pendidikan & Pembudayaan] Saya Senada dengan BJ Habibie




Pada sore hari ini para pilar pergerakan organisasi Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) bersilaturahim ke kediaman BJ Habibie di kawasan Kuningan. Kegiatan sowan ini yang wajar dilakukan oleh anggota organisasi kepada salah satu Dewan Kehormatannya. Silaturahim membicarakan seputar komitmen ICMI untuk tetap menjadi motor terdepan dalam menghadirkan manusia-manusia unggul demi masa depan Indonesia, dengan berada pada satu wadah organisasi, mereka kudu melepas atribut partai masing-masing jika berada pada pesta demokrasi 2014.

Jenius yang Terasing

BJ Habibie menurut saya pribadi adalah sosok jenius yang, entah kenapa, diasingkan oleh bangsanya sendiri. Seorang yang memiliki revolusi berpikir tingkat tinggi, namun tidak mendapat penghargaan yang semestinya disini. Kenapa lantas negara sekelas Jerman bisa menggunakan kemampuan dan jasa BJ Habibie jika memang kemampuan beliau remeh? Saya sangat berharap beliau bisa memimpin negara ini sekali lagi. Beliau sungguh salah satu idola dari sudut pandang seorang negarawan.

Sinergi Dua Strategi

Rakyat Indonesia punya modal dasar yang cukup untuk menjadi basis pengorbitan bibit-bibit Sumber Daya Manusia unggul. Tinggal bagaiman proses yang dilalui untuk menciptakan nilai tambah dalam kehidupannya. Jika merunut strategi yang selalu digaungkan oleh BJ Habibie, maka ada 2 alur yang kemudian harus dilalui oleh rakyat kita untuk meningkatkan kualitasnya; yaitu Pembudayaan dan Pendidikan. Jika budaya ada namun tanpa pendidikan, hanya akan menciptakan manusia yang buta arah. Sebaliknya jika hanya pendidikan yang dikedepankan tanpa ada pembudayaan, maka manusia-manusia yang tercipta adalah manusia garang tanpa estetika dan moral yang baik.

Kondisi yang Berlaku

Negara kita seakan masih terlihat sebagai negeri antah-berantah walaupun di mata rakyat sendiri. Pendidikan yang mahal atas dasar dana pendidikan tiap yang katanya sudah cukup besar, namun belum tepat mengenai sasaran. Pembudayaan hanya upaya nihil berdasarkan fakta bahwa kecintaan terhadap segala sesuatu yang berbau lokal dan dalam negeri kian surut. Sebagian besar pakar ilmu sosial dan juga negarawan kondang telah bersepakat bahwa pendidikan menjadi ujung tombak dalam menciptakan peradaban istimewa dalam sebuah tatanan masyarakat. Dana pendidikan seharusnya dialirkan sesuai dengan peruntukkannya, sehingga jika hal itu diiringi dengan peningkatan kualitas keterampilan pengajar, maka sungguh akan bermunculan Habibie baru dalam bidangnya masing-masing. Jika saat ini jumlah gaji anggota DPR yang notabene adalah wakil rakyat (Wakil Rakyat!) lebih memakmurkan dari pada apa yang diterima oleh setiap kepala di masyarakat, maka apakah ini adil? Adilkah ‘wakil’ rakyat mendapat kenikmatan diatas ‘ketuanya’ (rakyat)? Kembali ke topik pendidikan tadi. Jika wakil rakyat mengklaim diri sebagai orang-orang terpilih yang cerdas, sudahkah mereka mengusahakan kecerdasan bagi rakyat juga?

Upaya pembudayaan pun berlaku demikian, tidak berbeda jauh. Kebijakan negara masih kalah dan terpaut jauh dengan propaganda pihak luar (asing). Para rakyat dari berbagai kalangan, tidak bisa dikatakan yang muda saja, kian menggandrungi segala macam budaya luar. Produk, fashion, pergaulan, dan mode, semua dijiplak habis-habisan oleh kaum pribumi kita. Segala hal yang berbau lokal dan dalam negeri, baik itu pakaian, gaya bergaul sehari-hari, gaya rambut, selera terhadap konflik, semua dianggap hal yang norak dan sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Permainan tempo dulu, baju adat, cerita rakyat, semua dikesampingkan jika sudah mengaku ‘gaul’. Adakah saat ini para pemimpin bisa mengalihkan, pemuda khususnya, dari minat mereka yang sudah begitu hedon untuk kembali pada kearifan budaya lokal? Mampukah?

Kongklusi

Perlu upaya nyata dari kita semua, tidak hanya pemerintah, untuk berkomitmen kuat terhadap pencapaian kualitas pendidikan dan juga mekanisme pembudayaan.

Pendidikan awal setiap insan terletak pada keluarganya. Jika di awal hidupnya, seseorang telah diberikan bekal yang baik dalam hal pendidikan, maka ketika di luar kemungkinan besar seseorang akan mampu menyerap pendidikan dalam hal yang berbeda.

Perlu kiranya pemerintah memperhatikan kuota dana pendidikan, baik dana abadi maupun alokasi per tahunnya, agar dalam penyaluran bisa semaksimal mungkin menganai sasaran, tidak ada yang nyangkut atau nyasar di kantong oknum lain.

Perlu sebuah blue-print yang memiliki ranah jangka panjang dalam mencangkan kegiatan pembudayaan. Kalau menurut saya sih istilahnya kini menjadi Re-budaya, agar kita semua sadar bahwa telah banyak yang hilang dari budaya kita dalam hati setiap insan di Indonesia. Sehingga sangat mudah sekali budaya lain datang mengintimidasi, seakan-akan kita telah menerima dan tidak mengenali lagi yang mana budaya sendiri dan mana budaya dari luar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan meninggalkan komentar anda..
Pasti sangat membangun untuk perbaikan blog ini..

Pemuda, Pembangunan, dan Kemerdekaan

Potensi Pemuda Sang Proklamator, Soekarno, begitu menekankan pentingnya peran pemuda. Ungkapannya yang biasa diulang oleh kita sekarang “ ...