Tampilkan postingan dengan label Demokrasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Demokrasi. Tampilkan semua postingan

Minggu, 20 April 2014

Semakin Indonesia Baru, Semakin Rindu Masa Lalu




Sepak terjang subjek politik di tahun yang penuh dengan atmosfer politik ini memang sangat menarik diamati. Tidak usah jauh-jauh, kanal politik dalam media kompasiana ini saja telah menjadi ‘gudang gula bagi semut-semut’ yang secara langsung merasakan tingginya euforia dari publik dalam menyongsong pesta demokrasi yang berlangsung dalam periode lima tahunan itu. Kita merayakan itu dengan tulisan-tulisan kita disni. Pada awal bulan April mendatang, pesta itu akan disuguhkan terlebih dahulu dengan ‘makanan pembuka’ untuk menyiapkan diri menyongsong ‘makanan utama’ lepas tengah tahun nanti. Walaupun masih terbilang memiliki waktu jeda cukup lama, tapi para calon maupun bakal calon yang mengincar kursi RI-1 telah melakukan ancang-ancang, baik dengan tindakan nyata maupun yang bersifat siluman. Pergerakan yang tak kasat mata (underground) memang harus diakui lebih favorit untuk diterapkan, mengingat saat ini belum waktunya pelaksanaan kampanye untuk para calon. Selain itu, kampanye terselubung memungkinkan salah satu pihak untuk melakukan penetrasi strategi tanpa bisa dibaca oleh pihak yang dianggap saingan.

Jual-beli politik seakan berlangsung dengan jumlah yang tak terhitung dalam medan frekuensi transaksi yang tidak nampak nyata. Lobi-lobi politik pun semakin gencar dilakukan antar komponen yang memang mengincar kedudukan setelah pesta demokrasi nanti berakhir. Para calon yang dipublikasikan oleh media sebagai orang yang baik, belum tentu dia memang baik. Sebaliknya calon yang selalu dicitrakan negatif oleh awak media, belum

Sabtu, 22 Maret 2014

Peneliti Kita & Ahli Luar Negeri Keluhkan Demokrasi di Indonesia



Sistem demokrasi di Indonesia yang masih seumur jagung, tentu masih sangat rentan terhadap berbagai perubahan. Demokrasi di satu sisi menjadi sistem yang sangat mahal dan menguras keuangan negara jauh berlipat ganda, namun di sisi lain sudah banyak perkembangan negara akibat realisasi demokrasi. Tren yang terbentuk dalam sistem demokrasi kita membentuk sebuah mekanisme politik yang lebih liberal. Setiap jiwa yang ada selalu memimpikan adanya kesejahteraan lahir dan batin sesuai amanat konstitusi tertinggi negara ini. Namun, harapan rakyat itu nampak semakin jauh panggang dari api, sebab pemerintah selalu menyerahkan berbagai pemenuhan kebutuhan mereka pada mekanisme pasar. Jadi, semakin bebas dan liberalnya siklus pasar kita, maka semakin jauh pula harapan akan kesejahteraan bagi rakyat kita yang memang masih kesulitan untuk hidup. Kemudian apa yang salah dengan demokrasi kita? Demokrasinya atau kitanya?

Menurut rektor UGM sekaligus peneliti demokrasi, Pratikno, rakyat Indonesia saat ini berada dalam suatu kondisi yang sudah tidak percaya lagi terhadap kelembagaan politik. Hal ini

Senin, 24 Februari 2014

Politik yang Ramah


Politik saat ini bisa jadi telah menjelma menjadi salah satu kata yang paling populer di samping cinta dan budaya. Politik sering dipikirkan, sering dilakukan, namun sangat jarang dirasakan. Hal ini sangat berbeda jauh dengan cinta dan budaya; dua hal ini terlebih dahulu perlu dirasakan untuk kemudian dilaksanakan. Politik semakin jarang melihat estetika, politik bermain dengan logika. Ah, apa itu politik? Persetan dengan semua hal yang berbau politik, selama politik tetap sama seperti apa yang aku pikirkan saat ini. Politik oleh para ahli diartikan dengan menjiplak pemikiran-pemikiran Yunani, padahal ada India dan Persia (sekarang Iran) yang menjadi sumber sejarah. Istilah politik yang digembar-gemborkan selalu seputar istilah Yunani : polis, politeia, politika, politikos. Kenapa tidak dipopulerkan dengan bahasa Arab yang berasal dari kata siyasah, yang sekarang disarikan sebagai kata siasat? Pengertian-pengertian dari akar Yunani itu pun menjadi bahan (yang harus) dihafalkan secara tekstual di pelajaran sekolahan atau pun kampus. Biasanya dalam menghafal harus benar menyebutkan titik-koma sekali pun. Jadi tidak heran jika berbagai ahli politik selalu tergila-gila dengan pengertian yang teksbook, mendewakan buku-buku politik tulisan pakar barat, mendoktrin muridnya dengan segala tetek bengek pikiran para filusuf (ahli filsafat) yang notabene tidak pernah mereka lihat langsung. Murid dan mahasiswa pun ikut-ikutan ingin terlihat mentereng dengan menenteng buku-buku filsafat politik yang tebalnya melebihi ketebalan kitab suci agama. Jika diminta untuk berpendapat, maka mereka yang berasal dari latar belakang politik biasanya memberikan jawaban yang berputar-putar, njelimet, panjang, tidak simpel, penuh dengan istilah yang sulit dimengerti orang awam. Mereka seakan bangga dengan itu, dan kadang merasa paling pintar jika berhasil membuat orang di depannya melongo (bukan karena kagum, tapi bingung). Biasanya yang menjelaskan tersenyum puas, yang mendengarkan tersenyum gemas.

Ini mungkin yang membuat makin banyak orang-orang yang anti jika berbicara masalah politik, setidaknya bagi mereka yang tidak mau mikir berat. Jika disuguhkan acara debat politik dan

Jumat, 31 Januari 2014

Sahabatku Jadi Budak Politik yang Fanatik




Dunia politik memang kejam. Begitu kalimat yang sering dilontarkan oleh sebagian kalangan. Namun tidak sedikit orang yang mengambil keuntungan melalui proses politik. Tahun 2014 adalah tahun politik yang menarik, pasalnya presiden yang kemarin tidak akan punya kesempatan untuk mencalonkan diri lagi. Persaingan tampak semakin gencar, dan pemenang makin sulit ditebak.

Tulisan ini tidak menyorot proses politik dan kampanye terselubung para calon presiden, tapi ada sebuah cerita menarik yang ingin aku bagi. Seorang temanku yang dahulunya seorang yang ilmu agamanya cukup luas, dia lulusan pesantren terkenal di Kota Malang, seketika sikapnya berubah di depanku. Dahulu dia jarang berbicara politik, apalagi sampai fanatik terhadap sesuatu. Kini dia seratus delapan puluh derajat berubah dari sikap awalnya. Dia mulai memposting segala sesuatu terkait pemilihan presiden di akun Facebook, dan dia punya ‘jagoan’ sendiri di pemilu nanti.

Pemuda, Pembangunan, dan Kemerdekaan

Potensi Pemuda Sang Proklamator, Soekarno, begitu menekankan pentingnya peran pemuda. Ungkapannya yang biasa diulang oleh kita sekarang “ ...