Jumat, 14 Februari 2014

Menengok Potensi Pantai Kolo - Kota Bima


Objek wisata yang beragam di daerah Bima memendam sejuta potensi yang tidak terbayangkan, terutama wisata bahari. Bima termasuk dalam daerah yang seimbang, berdiri diantara pegunungan dan bukit, namun diselingi laut dan selat yang indah. Bima sudah memekarkan diri sekitar 12 tahun yang lalu, dimana wilayahnya terbagi menjadi kota dan kabupaten. Wilayah kota hanya memiliki luas 222,25 kilometer persegi, dengan jumlah penduduk 142.443 jiwa. Sedangkan luas wilayah kabupatennya dua puluh kali lebih besar! Betapa besarnya potensi lahan yang bisa dikembangkan ke depan di daerah ini.

Lokasi objek wisata memang lebih didominasi oleh wilayah kabupaten, namun kota pun tidak miskin dalam hal potensi wisata. Salah satu objek wisata dalam wilayah kota adalah Pantai Kolo. Kenapa dinamakan demikian? Karena memang letaknya berada di Kelurahan Kolo Kecamatan Asakota Kota Bima. Pantai ini dinilai memiliki nilai eksotisme yang tinggi, dan masih dalam kategori ‘baru ditemukan’. Hal ini memancing warga Bima Raya, baik yang ketagihan maupun yang penasaran dengan keindahannya, selalu memadati jalan menuju pantai di akhir pekan. Jarak yang cukup jauh dari pusat kota serta medan yang menanjak-berliku tidak menyurutkan minat para wisatawan domestik untuk berkunjung. Tidak heran jika di hari sabtu dan minggu jalan menuju ke Pantai Kolo padat merayap seperti layaknya konvoi kendaraan saat pendukung klub sepakbola Arema atau Persija menuju stadion, atau bisa sama dengan para buruh di ibukota negara yang berangkat untuk berdemo.

Perkampungan Pesisir (Dokumentasi Pribadi)
Kemarin saya menyempatkan diri untuk berkunjung ke Pantai Kolo, berdua dengan sahabat, berangkat dengan mengendarai sepeda motor. Waktu yang ditempuh untuk sampai ke pintu masuk Pantai Kolo sekitar 45 menit. Kami sengaja memilih waktu yang bukan di akhir pekan, agar bisa menikmati keindahan pantai tanpa harus berdesak-desakan terlebih dahulu. Kami pun berangkat siang hari. Setelah melewati pusat kota dan perkampungan tepi pantai, motor mulai berhadapan dengan medan jalan yang menanjak. Melihat tanjakan pertama itu, saya teringat ketika masih kecil dahulu. Ayah saya pernah membawa kami sekeluarga bertamasya ke sini, walaupun dulu Pantai Kolo belum ‘dipoles’. Dulu masih dalam wujud hutan yang sunyi dan akses jalan masih berupa jalan tanah dan aspal seadanya, lubang menganga dimana-mana. Ayah mengajak juga ibu dan kedua adik saya. Kami berangkat dengan Vespa butut milik ayah. Mungkin saking tingginya tanjakan pertama itu, atau mungkin juga tenaga Vespa yang sudah ‘impoten’ akhirnya waktu itu kami harus turun dari Vespa dan mendorongnya hingga ke puncak.

View di Perjalanan (Dokumentasi Pribadi)

Lanjut pada kisah perjalanan kami berdua tadi. Setelah mengarungi jalan yang berliku dan mendaki, di tengah perjalanan kami sempat memperhatikan bangunan paling megah yang ada di sana, yaitu PLTU Kolo. Saya sempat kagum dengan apa yang dicapai oleh pemerintah jika memang benar PLTU itu akan dioperasikan. Saya dengar PLTU itu bisa melayani pasokan listrik untuk seluruh Pulau Sumbawa dan Flores. Apakah saya lantas tidak boleh bangga dengan hal itu? Bima, daerah yang selalu dianggap remeh, kini mulai berbenah. Saya salah satu yang berada di garda terdepan dalam mendukung pemerintah daerah, jika memang kebijakan-kebijakan yang diambil se-masiv ini dan menyangkut hajat hidup orang banyak. Namun ada sedikit yang tidak berkenan di hati saat menatap PLTU tersebut. Saya melihat pemeliharaan lingkungan bangunan nampak sangat kurang sekali. Hal itu bisa dilihat dari tembok-tembok yang dibangun untuk memagari lokasi PLTU yang notabene baru berdiri, kini sudah nampak rubuh di berbagai sisinya. Entah ini ulah siapa? Saya hanya merasa membangun itu sangat mudah, namun mempertahankannya yang sungguh sulit. Secara umum saya menilai bahwa masyarakat di Bima sangat antusias dalam menyongsong pembangunan, namun masih sangat lemah untuk mengawal dan mempertahankannya ketika sudah terbangun.


PLTU Kolo (Dokumentasi Pribadi)


Memasuki gerbang utama Pantai Kolo (ditandai dengan dua pilar yang ditanam berkat kegiatan KKN STIH Muhammadiyah tahun 2013), saya sempat mengambil viewpantainya dari ketinggian. Hati saya bertanya-tanya, kenapa pengelolaan pantai seindah ini terkesan amat lamban? Bukankah pantai ini begitu strategis, karena merupakan jalur pelayaran yang dilewati kapal yang keluar-masuk Kota Bima menuju pulau-pulau di sebelah utara dan timur, seperti Sulawesi, Kalimantan, dan Flores? Ah, jika pemerintah terus memikirkan tentang dana anggaran daerah yang kurang, mungkin derita ini tiada akan pernah berakhir. Potensi yang ada hanya tinggal cerita. Pemerintah tidak bergerak sendiri, banyak stakeholders yang perlu dilibatkan, ada pemerintah pusat, ada pemerintah propinsi, ada pemerintah kabupaten, dan yang paling dekat adalah para pengusaha yang berinvestasi di dalam kota. Jika ‘permata’ ini sudah tersibak, maka para ‘pendulangnya’ pun akan berdatangan sendiri. Hanya perlu starting point yang ciamik di awal untuk memancing ‘semut-semut’ mengerubungi manisnya ‘gula’ kita.


Gerbang Masuk (Dokumentasi Pribadi)


Sesampai kami di salah satu spot pantai yang biasanya ramai ditempati, kami berhenti untuk mandi dan melepas penat. Deru ombak besar dari kedalaman sangat amplitudif, merayu para pecinta selancar air untuk menyicipinya, menantang para perenang untuk menaklukkannya, dan mencibir para pemuda galau yang sedang menuliskan puisi cinta di bawah pohon asem. Saya hanya bisa mengelus dada ketika melihat tumpukan sampah yang berserakan, kamar mandi dan toilet non-permanen yang dibiarkan terbengkalai, kios-kios kumuh yang dibangun seadanya, beberapa property yang dibangun nampak hidup segan mati tak mau. Begitu lemah pengelolaan yang telah dan mungkin sedang berlangsung. Apa tidak ada rasa memiliki sama sekali terhadap objek yang indah ini? Bagaimana bisa tetap indah jika masih sembarangan buang sampah? Jika semua keindahan dinikmati kemudian dengan serta merta dikotori dan pergi, apa ini tidak sama dengan seorang lelaki yang me-macari seorang wanita kemudian disetubuhi lalu pergi? Apa ini bukan seperti ungkapan habis manis sepah dibuang? Pemerintah pun tidak boleh membangun setengah-setengah, sebuah potensi memang tidak akan menghasilkan keuntungan dalam waktu singkat, namun jaminan masa depan akan lebih cerah hampir pasti.


Penampakan di Salah Satu Spot (Dokumentasi Pribadi)


Setelah membersihkan badan di kamar mandi terdekat (harus bayar biaya Rp 2000 untuk jasa itu), kami memutuskan untuk segera pulang. Pada perjalanan pulang, sahabat saya melihat jajaran tiang lampu jalan yang diatasnya dipasangi panel surya. Tak terasa mulut saya menyungging senyum kecil, merasa cukup puas dengan apa yang saya saksikan. Sahabat saya sepertinya mengerti dengan apa yang sedang saya rasakan, dan akhirnya dia bertanya :

Sahabat : “Apa yang kamu pikirkan setelah melihat semua ini?

Saya : “Luar biasa! Potensi yang ada tidak ternilai harganya. Hanya butuh pemimpin yang militan, yang berani melangkah menggarap potensi, bukan untuk keuntungan semata, tapi agar Bima lebih berdaya. Kamu kalau mau jadi pengusaha sukses di masa depan, belikan aja uangmu dengan lahan di sekitar sini. Jika tebakanku benar, 5 tahun ke depan daerah ini bisa jadi lokasi bisnis menggiurkan.”

Sahabat : “Jika kamu diserahkan tanggung jawab untuk mengelolanya, apa yang akan kamu lakukan?

Saya : “Arah yang dituju oleh pemerintah sudah cukup baik, namun terkesan lamban. Perlu melibatkan seluruh unsur yang ada, baik di pemerintah, swasta, maupun masyarakat. Jika saya yang diserahkan tanggung jawab, maka langkah kongkrit saya berupa ‘Konsep Kampung Mandiri’. Mandiri energi sudah dicetuskan, yaitu dengan adanya PLTU. Jadi setiap rumah tidak ada lagi yang menggunakan listrik dari bahan bakar BBM, tetapi listrik dipasok dari hasil panas matahari. Mandiri Pangan dilakukan dengan pemberian insentif tinggi bagi setiap petani yang bisa mengolah lahan yang ada di pegunungan untuk menghasilkan bahan makanan. Selain itu mandiri pangan juga diusahakan dengan peternakan ikan, sapi, dan kambing. Mandiri pangan dikelola oleh koperasi kampong yang menyerap semua hasil tani dan ternak masyarakat untuk dijual disitu, dengan harga yang bersaing dengan harga pasar. Mandiri Usaha dilakukan dengan memberikan pelatihan keterampilan yang merupakan keahlian khusus, misalnya menenun kain atau membuat barang kerajinan lain. Langkah ini akan menekan jumlah masyarakat yang hanya duduk menganggur di rumah tanpa kerja nyata, selain itu hasilnya bisa langsung dijual di depan rumah masing-masing. Jalan raya ini harusnya di aspal hotmix, kemudian kebersihan selalu diwadahi agar terjadi pembiasaan dalam diri masyarakat untuk hidup bersih.”

Begitulah daerah Bima yang memndam jutaan potensi. Pantai Kolo adalah salah satu dari itu semua. Harapan saya pemerintah tidak pernah merasa rugi jika mengembangkan objek wisata di masa sekarang, karena investasi tidak harus nampak hasilnya saat itu juga. Bayangkan ketika investasi yang dilakukan bisa membawa kemajuan di masa yang akan datang, bisa menimbulkan kenyamanan di hati mayarakat yang melihat, hati para pejabat pemerintah (yang baik) pun akan terasa aman, sebab kota yang ramah salah satunya adalah yang bisa mewadahi kebutuhan rekratif bagi masyarakatnya, kota yang ramah selalu punya cara untuk mewadahi para pemudanya agar tidak tawuran melulu, kota yang ramah selalu tahu kebutuhan para jompo tentang rasa nyaman dan damai d hari tuanya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan meninggalkan komentar anda..
Pasti sangat membangun untuk perbaikan blog ini..

Pemuda, Pembangunan, dan Kemerdekaan

Potensi Pemuda Sang Proklamator, Soekarno, begitu menekankan pentingnya peran pemuda. Ungkapannya yang biasa diulang oleh kita sekarang “ ...