Senin, 24 Februari 2014

Politik yang Ramah


Politik saat ini bisa jadi telah menjelma menjadi salah satu kata yang paling populer di samping cinta dan budaya. Politik sering dipikirkan, sering dilakukan, namun sangat jarang dirasakan. Hal ini sangat berbeda jauh dengan cinta dan budaya; dua hal ini terlebih dahulu perlu dirasakan untuk kemudian dilaksanakan. Politik semakin jarang melihat estetika, politik bermain dengan logika. Ah, apa itu politik? Persetan dengan semua hal yang berbau politik, selama politik tetap sama seperti apa yang aku pikirkan saat ini. Politik oleh para ahli diartikan dengan menjiplak pemikiran-pemikiran Yunani, padahal ada India dan Persia (sekarang Iran) yang menjadi sumber sejarah. Istilah politik yang digembar-gemborkan selalu seputar istilah Yunani : polis, politeia, politika, politikos. Kenapa tidak dipopulerkan dengan bahasa Arab yang berasal dari kata siyasah, yang sekarang disarikan sebagai kata siasat? Pengertian-pengertian dari akar Yunani itu pun menjadi bahan (yang harus) dihafalkan secara tekstual di pelajaran sekolahan atau pun kampus. Biasanya dalam menghafal harus benar menyebutkan titik-koma sekali pun. Jadi tidak heran jika berbagai ahli politik selalu tergila-gila dengan pengertian yang teksbook, mendewakan buku-buku politik tulisan pakar barat, mendoktrin muridnya dengan segala tetek bengek pikiran para filusuf (ahli filsafat) yang notabene tidak pernah mereka lihat langsung. Murid dan mahasiswa pun ikut-ikutan ingin terlihat mentereng dengan menenteng buku-buku filsafat politik yang tebalnya melebihi ketebalan kitab suci agama. Jika diminta untuk berpendapat, maka mereka yang berasal dari latar belakang politik biasanya memberikan jawaban yang berputar-putar, njelimet, panjang, tidak simpel, penuh dengan istilah yang sulit dimengerti orang awam. Mereka seakan bangga dengan itu, dan kadang merasa paling pintar jika berhasil membuat orang di depannya melongo (bukan karena kagum, tapi bingung). Biasanya yang menjelaskan tersenyum puas, yang mendengarkan tersenyum gemas.

Ini mungkin yang membuat makin banyak orang-orang yang anti jika berbicara masalah politik, setidaknya bagi mereka yang tidak mau mikir berat. Jika disuguhkan acara debat politik dan sinetron cinta secara bersamaan di dalam stasiun televisi yang berbeda, maka bisa ditebak dimana arah perhatian para remaja dan ibu-ibu akan tertuju. Politik itu telah terbentuk menjadi sebuah momok yang berat dan memberatkan hidup. Tidak bisakah kita menanamkan dalam pikiran bahwa politik itu merupakan sebuah hal yang sangat simpel? Politik hanya berupa kemampuan untuk mempengaruhi orang lain untuk mencapai sebuah tujuan. Tidak bisakah seperti itu? Tanpa harus ada pikiran untuk pencitraan, konspirasi, kudeta, dan lain-lain? Sejak bayi kita sudah berpolitik. Bayi menangis untuk ‘memaksa’ orang tua memberikan air susu penghilang rasa dahaganya. Bayi menangis untuk mengarahkan orang tuanya mengganti popoknya yang basah. Jika bayi pun sudah mengenal politik sebagai sifat bawaan sejak lahir, lalu kenapa para politisi (yang katanya) sudah pakar masih membanggakan diri dengan bahasanya yang tingkat tinggi? Jikalau para individu yang konsen terhadap politik menuliskan opini (pendapat), ada baiknya menulis dengan kesadaran penuh bahwa setiap orang bisa membaca tulisan itu. Dengan kata lain, tulisan yang baik mestinya bisa sangat ‘ramah’ untuk dibaca oleh setiap kalangan, baik remaja, pemuda, maupun kalangan tua. Hal ini sangat penting, agar politik tidak terkesan menjadi barang istimewa, yang hanya dimengerti oleh satu kalangan yang punya intelektual tinggi saja. Betapa indahnya jika bisa mengatakan dan merasakan bahwa politik adalah milik semua.

Seorang sahabat mengatakan bahwa rumus baku berpolitik adalah curang. Syarat terjun ke politik setidak-tidaknya harus egois dan berani tidak jujur. Sistem demokrasi sudah terlanjur menjadi bubur. Semua yang terjadi dalam politik tidak lepas dari ketidakpuasan. Jika pejabat publik paham konstitusi dan historis bangsa, tentu tidak akan jadi seperti ini. Pancasila tak lagi sakti. Semua itu dikatakannya dalam balutan bahasanya sendiri. Menurutku, pendapat itu memang tidak bisa dikatakan salah dalam kondisi bangsa yang seperti ini. Namun aku hanya ingin berkata bahwa kita saat ini bukan generasi pesimistik yang selalu meratapi keburukan yang terjadi. Kita bukan generasi patah hati yang menangisi demokrasi. Kalau nasi sudah menjadi bubur basi, apa kita harus tetap memakannya lagi? Kenapa tidak coba memasak nasi yang baru? Aku heran dengan orang-orang yang melihat dengan sudut pandang yang luas; pancasila lah, ibu pertiwi lah, tanah tumpah darah lah, tapi tidak mau menyadari bahwa pancasila-ibu pertiwi-tanah tumpah darah semua rusak karena pribadi-pribadi. Kalau pribadi yang ada mulai berhenti menangisi dan perbaiki diri sendiri, maka sistem yang terkecil akan menjadi lebih baik terlebih dahulu. Bukannya semua lebih baik jika mulai dari diri sendiri, mulai dari sekarang, dan mulai dari hal yang terkecil, seperti yang biasa dikatakan Ustadz Aa Gym? Jika sudah seperti itu, maka betapa indahnya politik yang mudah, murah, dan ramah.. tanpa harus ada rasa gerah, amarah, dan darah.

Beginilah omongan orang yang awam tentang politik.. :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan meninggalkan komentar anda..
Pasti sangat membangun untuk perbaikan blog ini..

Pemuda, Pembangunan, dan Kemerdekaan

Potensi Pemuda Sang Proklamator, Soekarno, begitu menekankan pentingnya peran pemuda. Ungkapannya yang biasa diulang oleh kita sekarang “ ...