Rabu, 26 Februari 2014

Wilayah Perbatasan, (Harusnya) Pintu Gerbang Negara


Pengantar

Data yang dipaparkan oleh Direktorat Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal Bappenas menyatakan bahwa luas total garis pantai di Indonesia berjumlah 81.900 kilometer. Dominasi wilayah laut dari salah satu negara kepulauan dan maritim terbesar di dunia ini menyebabkan adanya batas perairan dengan wilayah negara lain. Wilayah laut Indonesia berbatasan dengan 10 negara, yaitu India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Kepulauan Palau, Australia, Timur Leste, dan Papua Nugini. Perbatasan langsung dengan perairan negara lain tersebut sehingga ada istilah pulau-pulau terluar, jumlahnya mencapai 92 pulau. Selain batas laut, ada pula batas darat yang memisahkan daratan Indonesia dengan beberapa negara tetangga. Negara yang berbatasan darat langsung dengan negara kita adalah Malaysia, Timur Leste, dan Papua Nugini. Jika dirinci, batas-batas itu tersebar di 3 pulau, 4 provinsi, dan 15 kabupaten/kota. Masalah krusial yang masih menjadi pekerjaan rumah rumit bagi pemerintah adalah terkait paradigma berpikir. Bahkan kita semua, tidak hanya pemerintah, masih memandang wilayah perbatasan sebagai suatu entitas kumuh, jauh dari peradaban, kurang menarik bagi investor, sehingga jarang dilakukan pembangunan infrastruktur. Kita masih melihat dengan sudut pandang inward looking, belum serta merta menggunakan outward looking. Jadilah kemuadian wilayah perbatasan seakan menjadi ‘pelengkap’ eksistensi sebuah negara kepulauan terbesar di dunia.

Konstitusi Wilayah Pesisir & Pulau Kecil

Potensi kekayaan bahari yang terkandung di perairan Indonesia sungguh sangat istimewa. Seluruh dunia tidak ada yang pernah mengingkarinya, Indonesia kini adalah negara kaya yang (hanya) belum mampu memaksimalkan potensi alamnya. Rencana pengelolaan wilayah laut di Indonesia bisa dikatakan cukup lamban. Peraturan tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara masif baru saja disusun pada tahun 2007, itu pun hanya dalam bentuk Rancangan Undang-Undang. Pada akhir tahun 2013 yang lalu, Kementerian Kelautan

[Siaga] Tahun 2017, Daerah Otonom Bisa Dihapus


Pengantar

Pembahasan mengenai otonomi daerah selalu menjadi ‘nyawa’ bagi perjalanan hidup birokrasi di Indonesia. Betapa tidak, otonomi daerah telah jauh-jauh hari diamanatkan dalam konstitusi tertinggi negara kita (UUD 1945), terutama lebih lengkap setelah amandemen kedua tahun 2000. Materi khusus yang menyebut tentang amanat itu diletakkan pada Pasal 18, 18A, dan 18B. Materi dalam konstitusi tertinggi itulah yang kemudian diturunkan dalam bentuk UU, Perpu, Perpres, Perda, dan peraturan yang ada di bawahnya. Usaha untuk menerapkan otonomi daerah sudah coba diinisiasi sejak pemerintahan Orde Baru berkuasa, yaitu melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Namun alih-alih menyalurkan amanat UUD 1945, pemerintah yang saat itu berkuasa masih tetap menonjolkan sistem sentralisasi, segala sesuatu terpusat ke ibukota negara. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 kemudian dianggap sebagai konstitusi yang gagal diterapkan oleh sebab sistem terpusat yang masih kuat mencengkeram. Pergantian era kepemimpinan dari pemerintah otokrasi ke sistem yang lebih demokrasi di tahun 1998 menjadi tonggak sejarah lahirnya peraturan baru terkait otonomi daerah. Tepat di saat Presiden Habibie memegang estafet kepemimpinan dari Pak Harto, dibentuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah. Peraturan ini yang kemudian dinilai berhasil untuk pertama kalinya meletakkan dasar bagi penyelenggaraan otonomi daerah yang lebih terarah. Salah satu bukti bahwa peraturan ini lebih terarah adalah karena pembentukannya diikuti pula dengan Undang-Undang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU No. 25 Tahun 1999).

Pada Undang-Undang Nomor 22 tersebut, terowongan otonomi daerah sudah bisa mengarahkan gerbong kereta pemerintahan untuk berjalan sesuai dengan rel-nya. Otonomi daerah kemudian lebih dilihat sebagai hak setiap daerah otonom, bukan lagi sebuah kewajiban yang memberatkan. Daerah otonom dilimpahkan hak yang lebih nyata dan bertanggung jawab secara moral dan konstitusional di bawah payung negara kesatuan. Semua kebijakan selain politik luar negeri, keagamaan, fiskal, peradilan, ketahanan & keamanan, diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah masing-masing. Peraturan itu kemudian lebih memberikan kesadaran akan pentingnya upaya pemberdayaan masyarakat dalam ranah potensi dan kearifan lokal daerah. Pada era kepemimpinan Ibu Megawati, peraturan mengenai otonomi daerah kemudian mengalami perubahan lagi dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 untuk menggantikan peraturan sebelumnya. Hal yang sama juga dilakukan terhadap Undang-Undang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (diganti dengan UU Nomor 33 Tahun 2004). Peraturan otonomi daerah menjadi (bisa jadi) makin sempurna ketika setelah itu berubah lagi dengan

Senin, 24 Februari 2014

Jangan Tumpahkan Mani Terlalu Dini (Hamil Di Luar Nikah)


Pagi ini aku sedang duduk santai menikmati teguk demi teguk kopi hitam pahit yang rasanya menjalar nikmat hingga ke ubun-ubun. Aku masih membayangkan cerita tanteku yang tinggal di desa. Kemarin aku baru saja mengunjungi mereka untuk sejenak melepas penat di rumah. Beliau awalnya hanya menanyakan padaku tentang rencana kerja dan menikah, namun setelah itu dia yang malah banyak bercerita. Beliau menasehatiku tentang pergaulan anak muda di era modern ini. Di desa tempat tinggal mereka saja, yang bisa dikatakan masih terbelakang dalam hal teknologi informasi serta pendidikan, pergaulan para pemuda sudah sangat liar. Apalagi jika membayangkan pergaulan pemuda yang berada di kota besar.

Tanteku bercerita tentang maraknya fenomena pemudi desa yang ketahuan hamil di luar nikah. Dua bulan terakhir saja, sudah ada 5 orang gadis yang harus dinikahi secara ‘tidak hormat’ dengan pasangan mesumnya. Usia rata-rata mereka adalah usia sekolah dan kuliah,

Politik yang Ramah


Politik saat ini bisa jadi telah menjelma menjadi salah satu kata yang paling populer di samping cinta dan budaya. Politik sering dipikirkan, sering dilakukan, namun sangat jarang dirasakan. Hal ini sangat berbeda jauh dengan cinta dan budaya; dua hal ini terlebih dahulu perlu dirasakan untuk kemudian dilaksanakan. Politik semakin jarang melihat estetika, politik bermain dengan logika. Ah, apa itu politik? Persetan dengan semua hal yang berbau politik, selama politik tetap sama seperti apa yang aku pikirkan saat ini. Politik oleh para ahli diartikan dengan menjiplak pemikiran-pemikiran Yunani, padahal ada India dan Persia (sekarang Iran) yang menjadi sumber sejarah. Istilah politik yang digembar-gemborkan selalu seputar istilah Yunani : polis, politeia, politika, politikos. Kenapa tidak dipopulerkan dengan bahasa Arab yang berasal dari kata siyasah, yang sekarang disarikan sebagai kata siasat? Pengertian-pengertian dari akar Yunani itu pun menjadi bahan (yang harus) dihafalkan secara tekstual di pelajaran sekolahan atau pun kampus. Biasanya dalam menghafal harus benar menyebutkan titik-koma sekali pun. Jadi tidak heran jika berbagai ahli politik selalu tergila-gila dengan pengertian yang teksbook, mendewakan buku-buku politik tulisan pakar barat, mendoktrin muridnya dengan segala tetek bengek pikiran para filusuf (ahli filsafat) yang notabene tidak pernah mereka lihat langsung. Murid dan mahasiswa pun ikut-ikutan ingin terlihat mentereng dengan menenteng buku-buku filsafat politik yang tebalnya melebihi ketebalan kitab suci agama. Jika diminta untuk berpendapat, maka mereka yang berasal dari latar belakang politik biasanya memberikan jawaban yang berputar-putar, njelimet, panjang, tidak simpel, penuh dengan istilah yang sulit dimengerti orang awam. Mereka seakan bangga dengan itu, dan kadang merasa paling pintar jika berhasil membuat orang di depannya melongo (bukan karena kagum, tapi bingung). Biasanya yang menjelaskan tersenyum puas, yang mendengarkan tersenyum gemas.

Ini mungkin yang membuat makin banyak orang-orang yang anti jika berbicara masalah politik, setidaknya bagi mereka yang tidak mau mikir berat. Jika disuguhkan acara debat politik dan

Audi Shark, Mobil Anti-Macet


Perkembangan sarana transportasi dunia menjadi bahan pembelajaran menarik. Betapa kita sedang berada di dunia yang dinamis, terus berubah. Tidak ada yang tidak berubah, kecuali perubahan itu sendiri, begitu setidaknya para orang bijak pernah berkata. Bisa jadi revolusi industri di Inggris (1750-1850), yang merupakan tonggak sejarah terciptanya mesin uap, kemudian menjadi cikal bakal berbagai jenis transportasi modern yang ada hingga kini. Belajar dari perkembangannya sejak jaman batu, transportasi secara berturut-turut yang ditemukan dan ‘merakyat’ adalah transportasi darat, kemudian disusul oleh penemuan kendaraan laut dan udara. Perkembangan tersebut berawal dari kebutuhan manusia untuk berpindah tempat. Ketika berada pada jarak yang dekat, manusia menggunakan batang-batang kayu sebagai roda untuk memindahkan barang dari satu titik ke titik lain. Setelah manusia menyadari ada perairan dan banyak pulau yang berbeda, maka mereka mulai menaruh kayu-kayu di atas sungai untuk mengangkut mereka ke pulau seberang. Menyadari luasnya bumi dan jauhnya jarak yang masih ingin ditempuh, maka berkat jasa Wright bersaudara pada tahun 1903, model awal pesawat terbang ditemukan.

Perkembangan yang Terjadi

Perkembangan transportasi dunia di era modern saat ini, terutama transportasi darat, sudah memasuki kategori mengkhawatirkan. Setidaknya para pakar perencanaan kota, para pakar transportasi, para pakar perilaku sosial, makin sering menyorot permasalahan transportasi berupa kemacetan. Kritikan yang dilontarkan tidak pernah lepas dari lemahnya penerapan

Jumat, 21 Februari 2014

Kalian, Sejiwa yang Hilang

Ku berjalan dalam sebuah lingkaran..
Mengikat tangan untuk sebuah tujuan..
Menerobos malam dari ribuan jalan..
Begitu erat seakan tak tergoyahkan..
Langkah kaki kuayunkan hanya bersama kalian..

Piring lusuh sering menjadi alas makan bersama..
Tanah lapang kering menyisakan jejak sepatu kita..
Bibir lautan surut menunggu tawa ceria seperti biasa..
Pepadi pun layu mengantar hilangnya manusia sejiwa..
Banyak sudah yang tlah terjadi dari masa ke masa..

Kalian rela menjadi bara api, ketika aku kedinginan..
Kalian mampu menjadi lentera, saat aku di kegelapan..
Kalian sanggup menjadi angin, terbangkanku gapai angan..
Kalian bisa terus menjadi putih, hingga aku tau hitam kehidupan..
Kalian pahami aku, layaknya tanah yang menerima daun berguguran..

Mimpiku ternyata tak selamanya indah..
Angan tentang kalian perlahan musnah..
Ada cinta lain yang membuat berubah..
Menganga jurang dalam seakan harus berpisah..
Lepaskan genggaman ini, lalu bersama dia pergilah..

Ku paham atas segala perbedaan tak terhindari..
Pandangan berbeda membenamkan persamaan visi..
Biarlah lingkaran hidup kuarungi sendiri..
Bertahan dengan wadah cinta yang pernah kalian bagi..
Mungkin inilah hidup yang mesti dijalani, bukan disesali..

Mengkritisi Program KB-nya Pemerintah



Sejenak saya termenung membaca berita yang bertema kependudukan di Indonesia. Berita pagi ini menyorot kependudukan dalam hal kuantitas. Berita tersebut menggambarkan betapa hebohnya Menkokesra (Agung Laksono) dalam menyampaikan prediksi jumlah penduduk Indonesia yang akan mencapai angka 300 juta jiwa di tahun 2035 dalam Rakernas BKKBN di Jakarta. Seberapa daruratkah kondisi laju pertumbuhan penduduk kita, sehingga kemudian menjadi salah satu titik fokus bagi pemerintah? Sudah tepatkah langkah pemerintah sejak tahun 1970 menerapkan program KB sebagai kegiatan berskala nasional? Tunggu dulu, saya ingin sedikit mengupas dari sisi yang berbeda. Saya ingin melihat dari sudut pandang agama yang saya anut. Jangan sampai ada yang sentimen. Indonesia memang bukan negara agama, tapi juga tidak sekuler. Jadi bagi yang sentimen dengan sudut pandang saya, bisa jadi dia beraliran sekuler, yang mau memisahkan agama dari negara. Hehe..

KB dalam Sejarah

Sebelum kita melangkah pada pembahasan yang lebih jauh, ada baiknya saya sedikit mengupas sejarah berdirinya BKKBN di Indonesia. Lembaga ini yang pada akhirnya menjadi

Jumat, 14 Februari 2014

‘Perang’ Facebook SBY vs PM Singapura


Selayang Pandang

Sosial media Facebook tidak bisa dipungkiri sudah menjadi tren kehidupan masa kini. Pengguna aktif yang terdata pada hingga medio oktober 2013 telah menembus angka 1,19 miliar. Kalau dalam istilah dagang, itu baru berat bersihnya (Netto), belum lagi jika dihitung kotornya (Bruto) yang terkait dengan pengguna akun musiman, hacker, ataupun pengguna yang mendaftar untuk sekedar iseng saja. Facebook terkenal berkat fitur-fiturnya yang mudah diingat atau terkesan friendly, publikasinya pun gencar, sehingga memancing setiap pengguna untuk login, login, dan login lagi.

Pengguna Facebook datang dari berbagai kalangan, mulai dari anak remaja alay yang sedang sibuk dengan kisah cinta monyetnya, anak muda yang sedang sibuk dengan titel barunya sebagai pengangguran selepas kuliah, ibu-ibu rumah tangga yang sedang memasak di dapur sambil memegang gadget, para pria paruh baya yang sedang mencalonkan diri jadi pejabat dengan wadah partai, sampai tokoh politik yang sedang ingin melakukan pencitraan demi menggalang suara di pemilu. Sekarang, para pejabat pemerintahan tidak mau kalah narsis, tidak rela kalah eksis.

Terlalu Melankolis

Berita terhangat yang sedang dibahas di berbagai media saat ini adalah mengenai pro-kontra penamaan KRI (Kapal Republik Indonesia), yang umumnya digunakan sebagai armada

Menengok Potensi Pantai Kolo - Kota Bima


Objek wisata yang beragam di daerah Bima memendam sejuta potensi yang tidak terbayangkan, terutama wisata bahari. Bima termasuk dalam daerah yang seimbang, berdiri diantara pegunungan dan bukit, namun diselingi laut dan selat yang indah. Bima sudah memekarkan diri sekitar 12 tahun yang lalu, dimana wilayahnya terbagi menjadi kota dan kabupaten. Wilayah kota hanya memiliki luas 222,25 kilometer persegi, dengan jumlah penduduk 142.443 jiwa. Sedangkan luas wilayah kabupatennya dua puluh kali lebih besar! Betapa besarnya potensi lahan yang bisa dikembangkan ke depan di daerah ini.

Lokasi objek wisata memang lebih didominasi oleh wilayah kabupaten, namun kota pun tidak miskin dalam hal potensi wisata. Salah satu objek wisata dalam wilayah kota adalah Pantai Kolo. Kenapa dinamakan demikian? Karena memang letaknya berada di Kelurahan Kolo Kecamatan Asakota Kota Bima. Pantai ini dinilai memiliki nilai eksotisme yang tinggi, dan masih dalam kategori ‘baru ditemukan’. Hal ini memancing warga Bima Raya, baik yang ketagihan maupun yang penasaran dengan keindahannya, selalu memadati jalan menuju pantai di akhir pekan. Jarak yang cukup jauh dari pusat kota serta medan yang menanjak-berliku tidak menyurutkan minat para wisatawan domestik untuk berkunjung. Tidak heran jika di hari sabtu dan minggu jalan menuju ke Pantai Kolo padat merayap seperti layaknya konvoi kendaraan saat pendukung klub sepakbola Arema atau Persija menuju stadion, atau bisa sama dengan para buruh di ibukota negara yang berangkat untuk berdemo.

Perkampungan Pesisir (Dokumentasi Pribadi)

Kamis, 13 Februari 2014

[Humor] Politisi-politisi yang Pandai Bernyanyi



Pada suatu waktu yang telah berlalu, politisi kondang seperti Jusuf Kalla, Abu Rizal Bakrie, Surya Paloh, Prabowo, Wiranto, dan Akbar Tanjung, pernah merasakan persatuan dan visi yang sama dalam satu payung partai, yaitu Golkar. Apabila kitasearching di google seputar mereka, maka dapat kita temui foto-foto kebersamaan mereka dalam balutan jas safari yang sama, berwarna kuning bersimbol pohon beringin. Namun kini bisa dilihat bahwa mereka sudah tidak berada dalam satu partai, hampir semuanya telah bernaung pada partai yang berbeda. Surya Paloh menahkodai Partai Nasdem, Wiranto muncul dengan Partai Hanura, Prabowo kokoh di pucuk pimpinan Partai Gerindra, Jusuf Kalla malah dilamar untuk menjadi Wapres dari Partai Kebangkitan Bangsa, sedangkan walaupun Golkar sudah dipegang oleh Abu Rizal Bakrie, tetap tidak bisa dipungkiri masih saja ada sedikit dualisme kepentingan di dalam kaitannya dengan Akbar Tanjung.

Pada saat terjadi ‘pemekaran partai’ secara besar-besaran itu, sudah tentu banyak para awak media yang semangat untuk meliput. Mungkin satu hal yang tidak ditangkap oleh media tentang mereka adalah bahwa mereka sama-sama hobi dalam bernyanyi. Tidak percaya? Gini nih ceritanya. Pada saat sama-sama memutuskan untuk keluar dari Partai Golkar, mereka yang disebutkan diatas, menyanyikan sebuah syair ciptaan Peterpan [menghapus jejakmu] di depan rapat pimpinan partai :


Masa Transisi dari Kuliah menuju Kerja, antara Rezeki dan Kegalauan


Posisi sulit dalam hidup ini selalu ada. Pada saat kita masih sekolah, masuk kuliah merupakan sebuah proses yang dianggap sulit. Pada saat kita sudah kuliah, maka menyusun tugas akhir adalah masa sulit seorang mahasiswa. Kemudian ketika masa-masa itu telah terlewati, masuklah kita pada babak baru sebelum mendapat pekerjaan, itu masa sulit sebagai seorang alumni perguruan tinggi. Nampaknya masa sulit selalu berganti wajah di setiap perbedaan peran yang dilakukan oleh manusia. Nampaknya hal ini juga yang diistilahkan oleh Einstein sebagai relativitas. Benar kan?

Kondisi yang Terjadi..

Masa penantian untuk mendapatkan pekerjaan relatif beragam; ada yang baru satu bulan menunggu sudah mendapatkan pekerjaan sesuai dengan keinginannya, ada yang telah menunggu satu tahun akhirnya diterima di suatu instansi, ada pula yang bertahun-tahun ikut seleksi masuk perusahaan namun tak kunjung menuai rezeki yang diharapkan. Ironisnya, kini semakin nyata bahwa perusahaan dan instansi yang membutuhkan pegawai membuat sebuah mekanisme penerimaan yang mulai terkesan aneh. Kenapa aneh? Dahulu kala,

Hamba-Hamba Politik

Termenungku di pelupuk mentari pagi..
Teruap embun kembali berganti..
Setangkai ilalang berayun lemah gemulai..
Diliriknya sinis aku sedari tadi..
Seorang pemuda tengah memikirkan negeri..

Begitu heranku dengan hamba politik..
Memperbudak diri dengan pikiran pragmatik..
Polesan citra berbumbu menarik..
Tingkah polah bertumpu pada rasa fanatik..
Pikirannya sempit, hidup kian tak asyik..

Tak peduli siapa nama yang dibela..
Tak mengerti makna dibalik cara..
Hanya gila akan data dan angka..
Sengaja mengesampingkan fakta agama..
Nyata kini sekularis tengah merajalela..

Jagoan mereka tidak boleh dikritisi..
Darah juang penuh militansi..
Dikedepankan hingga berani mati..
Siapa menghujat seakan siap dikuliti..
Siapa menghina seakan siap dikebiri dan dibully..

Sampai kapan akan terus bertahan..
Jika calonmu kelak menjadi pemimpin rendahan..
Tidakkah dia akan kau tinggalkan..
Begitulah selalu hikayat kepemimpinan..
Sejak dulu, roda politik yang telah kita lewatkan..

Minggu, 09 Februari 2014

Lomba Lari Hanya Pakai Bra, Kedok Kesehatan!





Memikirkan segala hal yang bertema kesehatan di zaman sekarang selalu membuat saya termenung. Ada-ada saja pemberitaan yang memicu tanda tanya, kontroversial dan cenderung ke arah aneh. Kedok kesehatan selalu digunakan oleh pakar-pakar tertentu untuk mengaburkan sesuatu yang lebih bermakna di balik itu semua. Contohnya saja tentang bahaya merokok. Para pakar menyatakan bahwa merokok dapat membunuh manusia secara perlahan, sebab terdapat ribuan zat adiktif berbahaya di dalam setiap batang rokok. Perokok akan memiliki usia yang relative pendek dari pada yang tidak merokok? Benarkah? Berarti yang merokok lebih cepat mati? Pada seminar bertema kebangsaan di kampus Unpad Bandung, Bupati Purwakarta pernah berseloroh : “pernyataan ahli kesehatan luar negeri itu hanya bernada kecemburuan semata. Tidak benar itu kalau merokok berhubungan dengan usia, toh kakek saya perokok hingga usia lanjut tetap eksis tuh. Mereka hanya iri karena tembakau Indonesia kualitasnya nomor wahid!”. Selain itu, para ulama PBNU tidak akan mengharamkan rokok hingga hari kiamat. Terdapat 4 alasan yang beliau-beliau kedepankan. Kalau tidak percaya, silahkan cek di harian merdeka online tertanggal 17 Desember 2013.

Selasa, 04 Februari 2014

[Pendidikan & Pembudayaan] Saya Senada dengan BJ Habibie




Pada sore hari ini para pilar pergerakan organisasi Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) bersilaturahim ke kediaman BJ Habibie di kawasan Kuningan. Kegiatan sowan ini yang wajar dilakukan oleh anggota organisasi kepada salah satu Dewan Kehormatannya. Silaturahim membicarakan seputar komitmen ICMI untuk tetap menjadi motor terdepan dalam menghadirkan manusia-manusia unggul demi masa depan Indonesia, dengan berada pada satu wadah organisasi, mereka kudu melepas atribut partai masing-masing jika berada pada pesta demokrasi 2014.

Jenius yang Terasing

BJ Habibie menurut saya pribadi adalah sosok jenius yang, entah kenapa, diasingkan oleh bangsanya sendiri. Seorang yang memiliki revolusi berpikir tingkat tinggi, namun tidak mendapat penghargaan yang semestinya disini. Kenapa lantas negara sekelas Jerman bisa menggunakan kemampuan dan jasa BJ Habibie jika memang kemampuan beliau remeh? Saya sangat berharap beliau bisa memimpin negara ini sekali lagi. Beliau sungguh salah satu idola dari sudut pandang seorang negarawan.

SBY-Indah, Analogi Politik dari Sebuah Bus



Salam sejahtera buat anda para pembaca..


Ah, rasa-rasanya pembicaraan akhir-akhir ini dipenuhi dengan topik politik yang seakan tiada habisnya. Seakan hidup rakyat kita tidak bisa lepas dari politik, sangat mainstreamsekali. Mungkin jargon ‘hidup tanpa politik, bagai sayur tanpa kuah’ cocok buat menggambarkan kondisi ini. Kita kadang tahu bahwa ikon perpolitikan sudah banyak yang menjadi pion dari kepentingan barat. Nah, ketika setiap hari-setiap jam-setiap menit kita membahas ikon itu, maka secara tidak sadar kita sedang mengikuti alur kepentingan tadi. Maka, dengan kata lain, ketika kita cuek dengan isu politik barang satu hari saja maka mereka akan bingung.. Hehe.. Salah satu upaya agar pembahasan tidak mengarah pada suatu yang mainstream, maka ada baiknya aku membahas sebuah topik yang lain. Topik yang menyegarkan tentunya..

SBY-indah merupakan bus AKDP (Antar Kota Dalam Propinsi) di NTB. Bus ini bukan milik presiden atau milik Kota Surabaya. Trayek yang dilayani sebatas Bima-Mataram. Bus ini sudah lama beroperasi, setia melayani penumpang, bahkan jauh sebelum masa presiden SBY menduduki jabatannya. Jika presiden SBY dalam naungan partai demokrat sering keluar trek dalam menyelenggarakan pemerintahan, maka bus ini dalam naungan PO. SBY-Indah tetap konsisten melayani dengan rute yang tetap, tidak pernah mencari jalur lain.




Senin, 03 Februari 2014

[Sosok] Gus Dur “Addakhil”, Sebuah Warna Pemerintahan Indonesia




Selayang Pandang

Menulis tentang sosok kyai selalu punya tantangan tersendiri jika dilakukan dalam negeri kita yang sangat agamis. Lebih dari itu, kita hidup di negara dengan penduduk Islam paling besar di dunia. Aku pun kini berada di Jawa Timur, yang notabene punya sejuta pesona berbagai pesantren, ‘rumah’ bagi ribuan ulama besar. Aku ingin lebih khusus membahas mengenai sosok ulama kharismatik kelahiran Jombang, sekaligus bapak presiden kita yang keempat setelah Soekarno, Soeharto, dan Habibie. Beliau lahir sebagai Abdurrahman Addakhil (“addakhil” = penakluk), tetapi karena tidak cukup dikenal maka diganti menjadi Abdurrahman Wahid. Beliau lahir dari keturunan ulama besar Jawa Timur sekaligus pemimpin Nahdatul Ulama (NU), ayahnya bernama Kyai Wahid Hasyim, kakeknya adalah Kyai Haji Hasyim Asy’ari; para ‘dedengkotnya’ NU. Lahir dari keluarga terpandang, membuat Wahid kecil tumbuh menjadi pribadi yang mandiri, penuh kekuatan spiritual, elegan, dan mengerti problema umat.

Abdurrahman Wahid ibarat keladi, makin tua makin jadi. Beliau setelah dewasa lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur (Gus panggilan elegan dan penghormatan bagi ulama di Jawa Timur). Alur karirnya dalam dunia politik dibangun dari basis agama, dimana saat itu kaum ulama dan pesantren memegang kendali yang besar dalam tatanan negara. Perlahan namun pasti, beliau meraih dukungan kalangan ulama seluruh Indonesia untuk maju menjadi RI-1. Arah yang jelas baginya, mengingat sebelum berhasil menjadi presiden, beliau aktif di berbagai forum dan perhimpunan pergerakan. Beliau juga tidak sulit mengambil-alih kursi kepemimpinan NU setelah periode sang ayah. Gus Dur menjadi ketua NU selama 3 periode berturut-turut sebelum akhirnya menduduki kursi presiden. Gus Dur diakui sebagai revolusionis dalam tubuh NU, dan selalu disegani oleh presiden Soeharto pada masa itu.

[Unik] St Thomas di Jepang, Mahasiswanya Hanya Satu Orang



Universitas St. Thomas adalah salah satu perguruan tinggi yang ada di Jepang. Civitas academika ini harus aku katakan sebagai salah satu yang punya kebijakan unik. Bagaimana tidak, konsistensinya disorot setelah berita tentang jumlah mahasiswa yang bersedia kuliah disana hanya terdiri dari satu orang. Hal ini terkait dengan kebijakan pihak kampus sendiri. Pada awal berdirinya mereka hanya membuka program studi Interpersonal dan Pemahaman Lintas Budaya. Prodi ini kurang diminati. Akhirnya pihak kampus menggantinya dengan prodi baru, yaitu Pendidikan dan Ilmu Kesehatan Internasional. Awalnya sih, banyak yang berminat. Namun, prodi yang tidak kunjung mendapatkan lisensi (kalau di Indonesia namanya akreditasi), akhirnya semua mahasiswa pindah dari St Thomas, hingga menyisakan satu orang mahasiswa saja.

Pemuda, Pembangunan, dan Kemerdekaan

Potensi Pemuda Sang Proklamator, Soekarno, begitu menekankan pentingnya peran pemuda. Ungkapannya yang biasa diulang oleh kita sekarang “ ...