Minggu, 20 April 2014

Semakin Indonesia Baru, Semakin Rindu Masa Lalu




Sepak terjang subjek politik di tahun yang penuh dengan atmosfer politik ini memang sangat menarik diamati. Tidak usah jauh-jauh, kanal politik dalam media kompasiana ini saja telah menjadi ‘gudang gula bagi semut-semut’ yang secara langsung merasakan tingginya euforia dari publik dalam menyongsong pesta demokrasi yang berlangsung dalam periode lima tahunan itu. Kita merayakan itu dengan tulisan-tulisan kita disni. Pada awal bulan April mendatang, pesta itu akan disuguhkan terlebih dahulu dengan ‘makanan pembuka’ untuk menyiapkan diri menyongsong ‘makanan utama’ lepas tengah tahun nanti. Walaupun masih terbilang memiliki waktu jeda cukup lama, tapi para calon maupun bakal calon yang mengincar kursi RI-1 telah melakukan ancang-ancang, baik dengan tindakan nyata maupun yang bersifat siluman. Pergerakan yang tak kasat mata (underground) memang harus diakui lebih favorit untuk diterapkan, mengingat saat ini belum waktunya pelaksanaan kampanye untuk para calon. Selain itu, kampanye terselubung memungkinkan salah satu pihak untuk melakukan penetrasi strategi tanpa bisa dibaca oleh pihak yang dianggap saingan.

Jual-beli politik seakan berlangsung dengan jumlah yang tak terhitung dalam medan frekuensi transaksi yang tidak nampak nyata. Lobi-lobi politik pun semakin gencar dilakukan antar komponen yang memang mengincar kedudukan setelah pesta demokrasi nanti berakhir. Para calon yang dipublikasikan oleh media sebagai orang yang baik, belum tentu dia memang baik. Sebaliknya calon yang selalu dicitrakan negatif oleh awak media, belum
tentu setelah dia menjabat akan buruk pula. Sebab transaksi dan lobi politik tadi telah dengan mudah membalikkan semua fakta yang harusnya benar menjadi salah, dan begitu pula sebaliknya. Hingga ada ucapan sinisme yang bertutur bahwa sesuatu apa pun di dunia ini tidak ada yang tak mungkin jika memiliki uang. Selain itu, ada pula yang mengatakan dengan keyakinan penuh bahwa jika ingin terjun ke dunia politik setidak-tidaknya harus memiliki sifat dasar, yaitu sifat untuk berani curang dan sikap untuk tidak percaya kepada orang lain! Jika sudah seperti itu, apa yang hendak dikata? Pesimisme sudah merajai anak negeri.

Berbicara masalah pesimisme anak negeri, kita tentu pernah mendengar berbagai nada keluhan dari orang tua kita. Mereka sering berujar bahwa seenak-enaknya hidup zaman sekarang, lebih enak lagi hidup di zaman dulu, era Soekarno dan Soeharto. Sampai-sampai anak muda galau masa kini sering menjadikan display picture Blackberry Mesangger (BBM) foto Pak Harto yang sedang berujar ”Piye? Luwih enak zamanku toh? Zamanku bensin Rp 750, saiki piro le?”. Jika kita bertanya pada setiap keluarga kita, tentunya yang sudah lebih dari usia paruh baya, maka mereka akan melontarkan jawaban yang memihak pemerintah dua orde awal kita. Ini artinya apa? Kita dapat mengerti bahwa semakin lama zaman semakin berkembang, teknologi semakin modern, tingkah polah menjadi semakin mewah. Namun dengan fenomena yang terjadi saat ini menimbulkan kebosanan dan kejenuhan dalam pikiran masyarakat. Keadaan yang terang benderang pun kini sudah dianggap sebagai mendung. Hal yang harus dihadapi dengan optimis, kini sudah ditutupi oleh virus pesimisme yang merajalela. Berbagai calon presiden yang telah, sedang, maupun belum (masih malu-malu) diajukan oleh partainya berlomba-lomba mencitrakan kebaikan dirinya, dengan cara-cara yang beragam. Namun inti dari pencitraan mereka adalah satu, mereka semua menjanjikan perubahan menuju Indonesia baru, Indonesia yang lebih baik. Apakah itu sudah tepat? Jika menilik kembali kenyataan bahwa masyarakat masih berharap kembali pada pemerintahan zaman dahulu, maka satu hal yang dapat disimpulkan (mohon maaf bila saya kurang tepat); bahwa semakin ‘baru’ wajah Indonesia, maka semakin rindu masyarakat akan kehadiran sosok masa lalu yang telah menggoreskan tinta emas dalam buku sejarah negeri ini, tentunya dengan caranya masing-masing, terlepas dari kekurangan-kekurangannya. Toh terbukti bahwa walaupun mereka punya kekurangan, namun mereka tetap dirindukan hingga masa kini.

Uraian singkat di atas mungkin hanya bentuk racauan saya yang baru sadar dari tidur pagi tadi. Namun semoga bisa menjadi bumbu penyedap kompasiana di tengah kesibukan kita masing-masing. Tidak lupa pula terselip doa untuk kebaikan usia demokrasi negeri ini, doa untuk mengantar terlahirnya sosok baru dengan adopsi beberapa jiwa pemimpin lama, sehingga Indonesia baru yang disuarakan memang menjadi awal mimpi indah kita bersama.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan meninggalkan komentar anda..
Pasti sangat membangun untuk perbaikan blog ini..

Pemuda, Pembangunan, dan Kemerdekaan

Potensi Pemuda Sang Proklamator, Soekarno, begitu menekankan pentingnya peran pemuda. Ungkapannya yang biasa diulang oleh kita sekarang “ ...