Minggu, 20 April 2014

Makna ‘Specta’ Sebuah Tatap Muka

Manusia memang secara kodrati diciptakan sebagai makhluk sosial, Zoon Politicon (meminjam istilah filusuf Yunani, Aristoteles), mahluk mandiri (Muhammad Zuhri), makhluk berkelompok (Dr. Johannes G), makhluk yang saling berhubungan (Liturgis). Berdasarkan kenyataan tersebut, maka manusia selalu membutuhkan sebuah bantuan dari sesamanya untuk tetap bertahan hidup. Manusia boleh saja memiliki sifat egosentris yang tinggi, tapi tetap saja tidak bisa menepis fakta bahwa dia tetap bukan siapa-siapa tanpa manusia lain. Contoh kecilnya, seorang anak yang selalu membanggakan kekayaannya sebagai buah usahanya sendiri, padahal dia tidak bisa sesukses sekarang tanpa orang tua dan sanak famili. Manusia boleh saja merasa memliki derajat paling tinggi karena jabatannya, namun tetap tidak bisa menepis fakta bahwa dia dipilih dan makan dari hasil pajak rakyatnya. Masih banyak lagi fakta-fakta lain yang menguatkan kedudukan manusia sebagai makhuk sosial.
 
Pada ranah aplikasinya sehari-hari, akibat dari kebutuhan akan bantuan dari sesamanya, maka dari itu mereka perlu untuk bertemu dan bertatap muka. Banyak faktor yang mendukung terjadinya pertemuan sebagai awal dari proses tatap muka, antara lain kesamaan tujuan (rekreasi, relaksasi, edukasi, dll), kesamaan kondisi (stress, penat, marah, kecewa, sedih, dll), kesamaan waktu (luang, jeda, libur, hari raya, cuti, dll). Pada era yang saat ini telah berubah, teknologi komunikasi dan informasi yang berkembang pesat, lebih cepat dari laju panah yang ditembakkan dari busurnya, lebih lincah dari cheetah (hewan tercepat di dunia) yang mengejar mangsanya, maka interaksi manusia berupa tatap muka akhirnya tergantikan dengan hadirnya teknologi handphone, internet, televisi digital, dan lain sebagainya. Padahal dalam sebuah tatap muka mengandung makna spektakuler yang tidak
akan mungkin tersubtitusikan oleh teknologi apa pun. Makna mendalam tersebut dapat diperhatikan pada beberapa kasus sebagai berikut.
  • JUAL BELI
Nenek moyang kita dahulu terkenal dengan jual beli dengan sistem barter. Sistem ini memungkinkan interaksi jual-beli barang dengan cara menukar barang yang bernilai dalam kehidupan sehari-hari, misalnya beras ditukar dengan ikan, sayur ditukar dengan buah, rempah-rempah ditukar dengan pakaian, dan masih banyak lagi. Tapi lihatlah apa yang terjadi pada masa kini. Semua manusia yang mengaku dirinya sosialita berlomba-lomba membanggakan dan memburu barang-barang yang dijual secara online (Online Shop). Memang dari segi efisiensi waktu dan tenaga, sistem online bisa diandalkan. Namun secara tidak langsung, sistem jual beli secara konvensional akan mengalami kemunduran, yang berarti bahwa sudah tidak ada lagi ajang buat ibu-ibu silaturahmi sesamanya, berbagi tawa dan ceria seputar rumah tangganya. Selain itu lahan kerja para penjual konvensional yang notabene berusaha lebih keras, akan semakin termarginalkan.
13938068531824563482
  • HUBUNGAN ASMARA
Dahulu kita sering mendengar penuturan kisah cinta oleh orang tua kita, baik ibu maupun nenek, tentang betapa hubungan mereka sangat romantis, jauh dari keributan, jauh dari kegalauan, tidak pernah ada masalah seperti yang ditunjukkan oleh para pemuda zaman sekarang. Ini semua sebenarnya karena apa? Walaupun tidak bisa begitu saja saya generalisasikan, namun salah satu faktornya tentu intensitas tatap muka. Pada zaman dulu para tetua kita tidak pernah mengenal SMS atau pun handphone, apalagi yang namanya BBM, Whatapp, LINE, KakaoTalk, dan lain-lain. Mereka tinggal bertetangga, kalau pun lagi kangen, mereka tinggal keluar bertemu di depan pagar, atau sekedar saling menatap lewat jendela rumah masing-masing. Arti tatap muka disini adalah semua akan membawa ketenangan; ketika marah kita bisa lihat ekspresi pasangan kita, bisa diskusi dengan baik. Ketika senang kita bisa teduh menatap senyum pasangan kita. Adakah senyuman yang lebih indah dari senyum pacar sendiri? Bandingkan dengan hubungan remaja masa kini, walaupun tinggal satu kampung, tetap lebih memilih telponan berjam-jam, sampai kehabisan bahan, terus ribut. Setelah itu update status di Fb dan BBM. Tujuannya agar mendapat simpati dan sekedar ucapan “ternyata semua pria itu sama saja. Kalau nggak bajingan ya homo!”
13938070331467789043
  • INTERAKSI TETANGGA
Indonesia terkenal dengan semangat gotong royongnya. Itu sih dulu! Sekarang perlahan tapi pasti semangat itu mulai luntur. Siapa yang bisa menyanggah? Contoh kecilnya saja, jika dulu setiap hari minggu pagi, tanpa disuruh, setiap kepala keluarga di kampung-kampung akan keluar untuk bergotong royong membersihkan apa pun yang kotor di lingkungannya, membantu tetangga yang membangun rumah, dan lain-lain. Namun sekarang jika diumumkan lewat corong masjid tentang kegiatan gotong royong, maka dengan sekejap bapak-bapak zaman sekarang ada yang mendadak sakit, ada yang punya urusan keluarga di luar kota, ada yang begini, ada yang begitu, ingin ini-ingin itu-banyak sekali (doraemon kalee). Sudah tidak ada lagi interaksi antar tetangga, sudah tidak banyak yang saling kenal antar tetangga. Padahal ketika kita sakit keras atau pun mati, yang datang pertama kali untuk menjenguk bukan keluarga kita (yang jauh di luar kota), tapi tetanggalah yang akan datang, tetangga yang akan mendoakan kita, tetangga yang akan menguburkan kita!
1393807252501865647
  • KULIAH
Semakin elit tempat kita kuliah, maka semakin canggih pula teknologi yang diterapkan. Misalnya saja salah satu universitas bertaraf internasional yang memiliki link atau kerja sama dengan kampus luar negeri. Kadang dalam waktu yang rutin, setiap dua kali seminggu, melakukan teleconference dengan dosen luar kampus lewat media internet. Gambar dosen luar negeri itu nampak sesuai dengan kondisi aslinya, terpampang di papan slide ruang kuliah. Dia berbicara lancar dengan bahasa Inggris. Ini sungguh luar biasa. Namun satu hal yang saya ingin katakan. Kuliah tatap muka dengan dosen pribumi saja mahasiswa masih gaduh dan bertindak nakal, apalagi kuliah dengan dosen yang berada jauh di belahan benua yang berbeda. Sudah pasti tatap muka melalui dunia maya itu akan berbeda. Tidak ada nilai tata karma yang bisa diselipkan, tidak ada pandanga sinis kepada mahasiswa yang melakukan pelanggaran di kelas, tidak ada penghapus papan yang melayang jika ada mahasiswa yang bebal di kelas.
1393807616122063840
  • KAMPANYE
Nah, yang satu ini sedang hangat-hangatnya pada tahun politik 2014 sekarang. Para calon anggota legislative maupun calon presiden yang akan bertarung di pesta politik tahun ini berlomba untuk menggalang suara lewat berbagai akun yang mereka buat di jejaring sosial, seperti twitter dan Fb. Selain itu, untuk menambah popularitas, kabarnya mereka berani membayar berbaga media (Koran, majalah, bulletin, dll) demi kepentingan pribadi dan partainya. Menurut hemat saya, setiap tokoh politik yang ingin maju, jika sejak awal (sejak dia belum jadi apa-apa) memang sudah sering terjun ke masyarakat untuk berkontribusi memajukan daerah, bertatap muka langsung dengan entitas masyarakat yang notabene sangat beragam, maka tokoh itulah yang akan dipilih dengan suara yang tulus tanpa paksaan dan tanpa iming-iming duit. Masyarakat sekarang sudah pintar, hasil kerja nyata akan selalu menjadi sesuatu yang diingat dan berkesan ketimbang para calon pemimpin yang datang hanya pada saat musim politik seperti sekarang ini. “Dulu itu kalian kemana? Kok cuma pas ada maunya baru datangi kami? Tentu setelah kalian jadi pemimpin nanti, kami juga tetap diabaikan!”
1393807714181270365
Demikian uraian saya tentang pentingnya makna tatap muka bagi kita manusia. Teknologi mungkin saja semakin canggih, namun interaksi antar manusia merupakan sesuatu hal yang kodrati, tidak mungkin terganti, walau zaman tak terhenti.
 
Salam dari Orang Awam yang Peduli..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan meninggalkan komentar anda..
Pasti sangat membangun untuk perbaikan blog ini..

Pemuda, Pembangunan, dan Kemerdekaan

Potensi Pemuda Sang Proklamator, Soekarno, begitu menekankan pentingnya peran pemuda. Ungkapannya yang biasa diulang oleh kita sekarang “ ...