Jumat, 31 Januari 2014

Sahabatku Jadi Budak Politik yang Fanatik




Dunia politik memang kejam. Begitu kalimat yang sering dilontarkan oleh sebagian kalangan. Namun tidak sedikit orang yang mengambil keuntungan melalui proses politik. Tahun 2014 adalah tahun politik yang menarik, pasalnya presiden yang kemarin tidak akan punya kesempatan untuk mencalonkan diri lagi. Persaingan tampak semakin gencar, dan pemenang makin sulit ditebak.

Tulisan ini tidak menyorot proses politik dan kampanye terselubung para calon presiden, tapi ada sebuah cerita menarik yang ingin aku bagi. Seorang temanku yang dahulunya seorang yang ilmu agamanya cukup luas, dia lulusan pesantren terkenal di Kota Malang, seketika sikapnya berubah di depanku. Dahulu dia jarang berbicara politik, apalagi sampai fanatik terhadap sesuatu. Kini dia seratus delapan puluh derajat berubah dari sikap awalnya. Dia mulai memposting segala sesuatu terkait pemilihan presiden di akun Facebook, dan dia punya ‘jagoan’ sendiri di pemilu nanti.

DI, itu nama yang selalu dia sebut-sebut. Setelah aku selidiki secara halus, akhirnya aku tahu bahwa dia telah bergabung dengan kelompok pendukung DI untuk lingkup Jawa Timur. Aku tahu Jawa Timur merupakan basis terbesar pendukung DI. Tak mengherankan karena dia dulu pernah jadi petinggi Jawa Pos. Dan dari semua peserta konvensi Partai Demokrat, DI mungkin yang popularitasnya paling tinggi. Aku termenung sejenak, membayangkan teman baikku yang sudah tak asyik lagi.

Semua orang di Indonesia memang berhak punya ‘jagoan’ untuk pemilu nanti. Namun, tidak etis rasanya jika harus memaksakan kehendak orang lain untuk memilih calon yang tidak disukai. Itu yang dilakukan temanku tadi. Lucunya aku pernah memposting tulisan tentang kemacetan Jakarta di Facebook, tiba-tiba dia mengomentari postingan itu dengan “makanya, solusi untuk kemacetan di ibukota Jakarta, mari kita sama-sama memilih DI untuk Indonesia lebih baik”. WTF? Apa hubungannya? Toh Jokowi-Ahok yang popularitasnya diatas DI belum mampu atasi macet? Kemacetan tidak berbanding lurus dengan ketenaran..

Bukan sekali-dua kali saja dia mengomentari postinganku (yang jelas tidak berbau politik) dengan ‘kampanye’ mengajak untuk mendukung jagoannya, dan aku pun bukan satu-satunya orang yang dia coba pengaruhi. Paling parah ketika dia membandingkan Sayyidina Umar Bin Khattab dengan DI. Emosiku tiba-tiba melonjak waktu itu. Bisa-bisanya dia membandingkan salah satu sosok yang paling aku kagumi dalam hidup, dengan manusia awam yang lahir di zaman penuh kebobrokan.. Pernah suatu ketika, kami duduk bersama di acara alumni kampus, temanku pendukung DI ini pun datang juga. Dia menceritakan padaku pekerjaannya ‘di belakang layar’. Sejurus kemudian dia berbisik di telingaku, mengajak aku bergabung.

“Bro, ada lowongan jadi tim sukses DI untuk daerah NTB dan NTT, mau nggak?”

“Nggak mau.. Aku kecewa sama kamu bung. Tidak pernah sikapmu seperti ini sebelumnya. Pilihan itu bukan untuk dipaksakan, jika memang orang tidak suka. Calon jagoanmu sedang diaudit tuh sama BPK, terkait kerjaannya waktu di PLN. Kita lebih baik untuk tidak fanatik buta dengan pilihan kita” aku menjawab dengan nada datar.

Setelah kejadian itu, dia bukannya menyerah, malah terus mempengaruhi setiap orang di dunia maya. Entah dia dibayar atau tidak, itu bukan urusanku untuk pusing memikirkannya. Dia sempat berkata, berani bertaruh ‘Pajero Sport’ miliknya, bahwa DI akan menang dan jadi presiden. Weleh-weleh. Aku sih tidak bisa meladeni taruhan itu, toh aku hanya orang sederhana yang belum punya kerjaan tetap. Punya apa aku untuk jadi bahan taruhan? Jika jagoannya kalah, hukuman moral akan lebih sakit baginya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan meninggalkan komentar anda..
Pasti sangat membangun untuk perbaikan blog ini..

Pemuda, Pembangunan, dan Kemerdekaan

Potensi Pemuda Sang Proklamator, Soekarno, begitu menekankan pentingnya peran pemuda. Ungkapannya yang biasa diulang oleh kita sekarang “ ...