Jumat, 11 Januari 2013

GELORA CINTA ANAK DESA


Filosofi yang seringkali terdengar menyapa telingaku sejak dahulu adalah bahwa setiap manusia diciptakan memiliki hati agar dapat mencintai. Hal itu yang kemudian membawa lamunanku pada potongan kisah hidup yang telah terangkai 13 tahun yang lalu. Aku adalah Faqih, anak sulung dari tiga bersaudara. Kami hidup sebagai keluarga bahagia di sebuah kota kecil di ujung timur Pulau Sumbawa, Kota Bima namanya. Ayahku seorang PNS yang telah bergolongan 4A, sedangkan ibu hanya bekerja di rumah, padahal beliau bergelar sarjana. Setelah dewasa baru aku tahu kisahnya. Beliau sebenarnya dulu nyaris bekerja sebagai pegawai bank. Ayahku melarangnya untuk bekerja, dengan berbagai pertimbangan tentunya.

     Aku lulus dari Taman Kanak-Kanak (TK) di tahun 1999. Ibuku begitu antusias menerima ijazah kelulusanku. Ibu bertambah sumringah saat para guru tak henti-hentinya memujiku sebagai murid yang patut diteladani. Beberapa hari setelah kelulusan, aku didaftarkan ibu di SD yang cukup sederhana, sekolah itu berada dalam perkampungan. Selama dua tahun aku merasa tidak berkembang, mungkin karena guru-guru belum melihat potensiku, hanya saja teman-teman sekelas sangat mengasyikkan. Setiap ada perlombaan antar sekolah, aku selalu tidak diikutkan. Kadang kala aku merasa para guru di TK dahulu hanya membual tentang kecerdasanku.
Entah apa yang sedang direncanakan oleh takdir, pada saat akan menginjak kelas III, ayah mendapat kepercayaan untuk menjadi kepala sekolah di sebuah Madrasah Aliyah di desa. Desa tersebut berjarak 2 jam perjalanan dari kota. Jadilah kami sekeluarga ikut pindah ke desa, termasuk tempat sekolahku dan adik-adik. Kami diberikan sebuah rumah dinas yang berdekatan dengan sekolahku yang baru. Aku cukup cepat beradaptasi dengan lingkungan yang baru, walaupun awalnya memang terasa aneh. Misalnya saja saat perkenalan pertamaku di kelas, teman-teman menyambut dengan penuh antusias serta menghujani dengan berbagai pertanyaan. Lebih aneh lagi suasana di rumah, kami merasa diperlakukan istimewa oleh para tetangga. Pernah suatu ketika ayah pulang membawa video game (Nintendo) untuk kami. Ketika aku memainkannya, tiba-tiba semua anak-anak tetangga berdatangan untuk menonton. Suasananya persis seperti orang-orang yang antri sembako. Ternyata pada waktu itu Nintendo termasuk barang mewah disana.
            Suasana persaingan di kelasku sekarang harus kuakui tidak seketat seperti di kota. Prestasi kelas didominasi hanya oleh beberapa orang siswa laki-laki. Aku segera mengenali mereka, ada 3 orang teman yang sangat berpengaruh di kelas, Aziz, Fahri, dan Hafidz. Aziz adalah anak ulama besar yang sangat disegani di kampung, Fahri anak dari saudagar kaya raya, sedangkan orang tua Hafidz dua-duanya adalah guru di sekolah kami. Komposisi mereka bertiga ini selalu meraih tiga besar dalam juara kelas, selalu diikutkan dalam berbagai lomba, dan juga mendapat beasiswa prestasi. Belum genap setahun, aku sudah bisa bersaing dengan Aziz dalam memperebutkan juara utama di kelas. Selain itu, aku menyisihkan Hafidz dalam kelompok lomba antar sekolah, karena hanya tiga orang yang berhak ikut.  Kini aku, Aziz, dan Fahri yang merajai lomba antar sekolah. Beasiswa prestasi pun aku kantongi.
            Kisah asmaraku dimulai saat duduk di kelas IV. Kepala sekolah membuat kebijakan yang mengharuskan siswa laki-laki duduk berpasangan dengan siswa perempuan, agar tidak ada lagi kegaduhan dalam kelas yang biasanya disebabkan oleh interaksi siswa laki-laki. Sepertinya Pak Kepala Sekolah tidak menyadari bahwa akan ada banyak cinta-cinta monyet yang bermunculan akibat kebijakan itu. Aku dipasangkan dengan Diana. Hatiku tiba-tiba berdesir tidak karuan. Gadis ini yang matanya selalu bertemu-pandang denganku, hanya selalu melontar senyum tak pernah berkata. Dan hari ini aku harus duduk bersebelahan dengannya. Mungkin jika gadis ini penampilannya biasa saja aku tidak akan salah tingkah seperti ini. Diana tak lain adalah primadona sekolah, kecantikannya selalu jadi buah bibir lelaki. Rambutnya hitam panjang terurai, kulitnya cokelat sawo matang, bibirnya merah merekah bagai delima siap dipetik, pakaiannya selalu modis walaupun sederhana, cocok dengan posturnya yang berisi.
“Hai Diana, senang bisa duduk bareng kamu..” sapaku dengan gugup.
“Hmm.. Kamu tuh lucu..” Jawabnya dengan senyum menawan.
            Bagi Diana mungkin jawabannya biasa saja, tetapi secara sadar otakku sibuk berputar ratusan kali berusaha menerjemahkan makna di balik singkatnya jawaban itu. Apa pun yang dirasakannya, yang jelas aku sekarang berubah lebih ceria, lebih semangat untuk datang lebih pagi, menyiapkan diri agar tidak gugup lagi seraya membersihkan debu yang mungkin menempel pada kursinya. Sungguh tepat sekali kebijakan kepala sekolah, bisa menekan tingkat kegaduhan kelas. Tapi bagiku sama saja, kini aku lebih fokus menatap senyuman Diana dari pada melirik papan tulis.
            Selama beberapa waktu lamanya, aku merasa tidak yakin jika Diana merasakan hal yang sama denganku, dia tidak pernah banyak bicara, hanya tersenyum dan lebih banyak mengangguk serta menggeleng. Sampai suatu saat, hari jum’at menjelang ujian semester, untuk pertama kalinya aku bergidik dan sangat ketakutan menatap Diana. Wajahnya pucat pasi, kantong matanya terlihat sangat hitam lebam.
“Diana, kamu kenapa?” kupelankan nada suara agar tidak terdengar oleh guru.
“Ada apa Diana? Apa kamu sakit?” suaraku tertahan melihat lelehan air matanya.
Mulut Diana bisa terbuka, tapi tidak ada suara sama sekali yang keluar. Bulu romaku berdiri. Aku akhirnya melaporkan pada guru di depan. Sesaat setelah itu, orang tua Diana datang dan membawanya pulang.
            Aku tidak bisa menjelaskan perasaanku, ketika beberapa jam kemudian nama Diana disebut dalam pengumuman kematian di masjid. Dia telah tiada sebelum aku tahu bagaimana perasaannya, sebelum dia tahu betapa aku mengaguminya. Satu kampung serasa berduka. Kami mengantarnya hingga ke liang kubur. Aku tak kuasa melihat guyuran tanah menutupi jasadnya. Aku duduk termenung dan menangis di pojok kompleks pemakaman, jauh dari keramaian. Setelah semua pelayat meninggalkan pemakaman, Fahri muncul di depanku.
“Qih, kamu lagi ngapain disini?” Tanya Fahri dengan terburu-buru.
“Aku nggak sanggup aja liat Diana dikubur..” jawabku.
“Oh iya, kamu dicariin sama ibunya Diana. Beliau menunggu di depan nisannya Diana..”
“Lho, ada apa ya, kok aku dipanggil?” aku bingung bercampur khawatir.
“Sudahlah.. Kamu temui aja dulu beliau. Ntar juga kamu tahu..”
            Aku berjalan menuju kuburannya Diana, dari kejauhan aku melihat keluarga Diana masih ada disana. Langkahku makin berat, ada semacam kekhawatiran mengisi relung hati. Apa aku pernah berbuat salah pada Diana? Apa ada sesuatu yang kurang berkenan?
“Maaf Bu, apa ibu mencari saya?”
“Kamu yang namanya Faqih ya? Anak baru yang datang dari kota itu?”
“Benar Bu. Apa saya melakukan kesalahan?”
“Sama sekali tidak Nak. Sini duduklah di samping ibu. Ada yang ingin ibu ceritakan padamu..” wajah beliau penuh dengan air mata.
“Diana sangat mengagumimu Qih. Dia selalu cerita tentangmu pada ibu setiap malam menjelang tidur. Dia cerita semua tentang kegugupanmu saat berhadapan dengan seorang gadis, tentang kecerdasanmu, dan juga bagaiamana ramainya kelas sejak kehadiranmu. Diana memang orangnya pendiam, dia cenderung memendam apa yang dirasakannya. Jika kamu tahu dia selama ini mengidap penyakit jantung yang sudah sangat parah, maka kamu akan segera memahami arti penderitaan dalam kediamannya. Diana tidak pernah se-antusias ini saat menceritakan tentang temannya. Dia selalu tersenyum malu apabila minta izin pada ibu untuk menonton lomba cerdas cermat sekolah kalian, karena ibu tahu dia ingin pergi mendukungmu. Dan suatu waktu, ibu lihat Diana menangis sesenggukan di kamar. Ibu yang heran masuk menghampirinya. Dia tiba-tiba memeluk ibu, kemudian bercerita bahwa dia baru saja menyaksikan pertandingan sepakbola antar sekolah dan melihat Nak Faqih kesakitan dilanggar lawan. Dia sangat mengkhawatirkan cederamu saat itu Qih”.
            Akhirnya terungkap semua apa yang selama ini menjadi pertanyaan sekaligus harapan hatiku tentang Diana. Kudengarkan cerita ibunya dengan khusuk, tetapi mataku tak kuasa menahan terjangan air mata, membuat nama DIANA FIRDAUSIYAH di atas batu nisan yang kutatap sedari tadi menjadi kabur. Ada penyesalan yang amat dalam membanjiri hatiku. Kenapa semua baru terang sekarang? Kenapa Diana menyembunyikan semuanya? Kenapa aku dulu tidak cukup peka untuk menyadari perasaannya? Entahlah, semua pertanyaan berkecamuk dalam batin, sangat menyiksa. Setelah selesai bercerita, ibunya Diana memeluk erat tubuhku. Kami berjalan pulang bersama.
            Hari-hari yang berlalu setelah kepergian Diana adalah ruang hampa penuh kegalauan bagiku. Aku lebih suka berdiam diri di rumah. Kadang kegalauan makin menusuk ketika pandangan kosongku dibuyarkan oleh becak bertuliskan Kutunggu Jandamu Diana. Selain itu, ada lagi nama toko DIANA. Jujur aku belum bisa melupakan nama itu. Senyumnya masih terus bertengger di sanubari. Aku kemudian baru bisa melupakannya sedikit demi sedikit berkat kesibukanku dan teman-teman berlatih untuk mengikuti lomba yang cukup bergengsi, Lomba Cerdas Cermat antar kecamatan Kota dan Kabupaten. Sekolahku menjadi wakil tunggal kecamatan kami. Begitu bangganya aku ketika di final kami bertemu dengan bekas sekolahku di kota dulu beserta rombongan guru-gurunya. Setelah melalui pertarungan sengit, kami berhasil memenangkan pialanya. Bekas guru-guruku dari kota tak lupa memberi selamat dan memuji kekompakan tim sekolah kami. Ada kepuasan tersendiri yang tertiup dari dalam hatiku. Setelah itu aku makin dipercaya oleh sekolah untuk mengikuti lomba-lomba lain secara individu, seperti lomba mengarang, lomba shalat, dan lomba adzan. Aku selalu pulang dengan membawa piala.
            Oh iya, pasangan dudukku di kelas sekarang digantikan oleh Rini. Dia anak kepala sekolah kami, dari penampilannya bisa langsung dipastikan dia adalah anak yang begitu dimanja, angkuh, dan tebang pilih dalam persahabatan. Dia selalu bergaul sesama anak orang kaya di kelas. Jadilah dia menjadi buah bibir karena kekurangan-kekurangan itu, bukan karena kebaikannya. Apa pun yang dikatakannya padaku selalu bernada sinis dan merendahkan. Satu hal yang membuat aku tak membencinya bahkan ingin mengenalnya lebih jauh adalah karena kebaikan kepala sekolah padaku. Beliau sudah menganggap aku sebagai anaknya sendiri. Setelah beberapa bulan kami duduk bersama, aku coba melemparkan umpan padanya melalui seorang teman, aku menyuruh teman itu (sebut saja Rijal) untuk menyampaikan salam pada Rini. Hatiku berkata tidak ingin mengulang kesalahan yang sama ketika dulu aku terlalu lamban dalam mengungkapkan perasaan pada seorang gadis. Hal yang kadang terasa menggelikan memang, aku menyampaikan salam ke gadis di sebelahku tetapi lewat teman lain yang duduk jauh dari kami. Sehari kemudian Rijal datang membawa jawaban dari Rini.
“Gimana Jal, titipan pesanku kemarin? Apa balasannya?” tanyaku tak sabar.
“Nihil Qih. Rini itu sama sekali nggak ada rasa ke kamu. Dia malah bilang nggak sudi kalau pacaran sama kamu, lihat mukamu aja mual katanya” Rijal lengkap menjelaskan.
“Ooo.. Gitu ya Jal.. Makasih ya..” ada nada kecewa dalam suaraku. Salah sasaran!!
            Hal terbaik yang ingin aku lakukan saat itu adalah melupakan obsesi semu untuk mendekati Rini, percuma rasanya. Belum sempat hatiku melangkah menjauh dari Rini, aku didekati oleh Hafidz suatu sore sepulang sekolah. Ukuran badan temanku yang satu ini memang diatas rata-rata anak di kelas, jadi dia disegani dalam urusan adu otot.
“Heh, anak kota. Jangan belagu kamu! Pake acara dekatin Rini lagi. Rini itu bagianku. Nggak usah dekatin dia kalau kamu masih mau sekolah dengan tenang. Ingat, kamu cuma anak pendatang di kampung ini” suaranya lantang menantang.
“Aku memang pendatang, nggak usah bawa-bawa perbedaan desa dan kota. Ambil saja Rini-mu. Dia memang tidak ada hubungannya denganku” balasku dengan dingin.
Sebenarnya selama kejadian itu hatiku tersenyum geli. Gertakan Hafidz membuatku semakin lega untuk menjauhi Rini yang memang tidak menaruh rasa padaku. Selain itu, aku juga menyadari bahwa Hafidz hanya mencari pelampiasan atas tersingkirnya dia dalam persaingan di kelas. That’s point!
            Tepat di saat aku akan naik kelas VI, ayahku dipindahtugaskan lagi ke kota. Keluarga kami akhirnya pindah kembali ke rumah yang dulu, aku pun melanjutkan sekolah di SD sederhana yang dulu. Kondisinya telah berubah, guru-guru sudah mengenal aku sebagai siswa yang sangat berprestasi. Aku kini dipercaya mewakili sekolah dalam berbagai ajang lomba.
            Singkat cerita, ketika aku telah menginjak kelas XII, teman-teman alumni SD di desa menghubungi nomor  telepon rumahku. Mereka berencana mengadakan reuni akbar, dan menunjukku sebagai ketua panitia. Aku langsung saja menyetujuinya, sudah amat rindu aku pada desa itu sejak kutinggalkan selama 6 tahun. Acara reuni itu berlangsung meriah. Setelah dilaksanakan di sekolah, kemudian dilanjutkan dengan tamasya ke pantai terdekat. Satu jam sudah acara di pantai berlangsung, aku sedang duduk bernostalgia dengan Aziz dan Fahri. Sejurus kemudian ada Dinda yang datang menarik tanganku menjauh dari keramaian.
“Qih, aku pengen cerita tentang Rini..” kata Dinda.
“Emank ada apa sama dia Din?” tanyaku setengah heran.
“Rini sebenarnya sejak dulu sudah punya perasaan sama kamu Qih. Tapi hanya ego-nya saja yang buat dia nggak mengakuinya. Setelah kepindahanmu kembali ke kota dia bingung mencari tahu kenapa kamu pindah. Dia meminta nomor telepon rumahmu, tetapi selalu takut untuk menghubungi. Dia sudah terlanjur malu karena pernah nolak kamu dengan kasar. Setelah semuanya itu, Rini sering gonta-ganti pacar, dia tak jarang pacaran sama orang yang sudah punya istri. Rini sering dibawa entah kemana sama pacar-pacarnya itu. Dia sering nggak pulang beberapa hari.” Dinda detail menjelaskan.
“Astagfirullah.. Kok Rini bisa menyimpang sejauh itu?” aku mengelus dada.
“Ehm.. ada yang lagi berduaan nih..” tiba-tiba Rini muncul di depan kami.
“Nah, ini dia Rini. Kalau begitu aku tinggal kalian berdua ya..” Dinda pun pergi.
“Dinda ngomong apa aja ke kamu?” selidik Rini.
“Ngomongin perubahan kamu, yang makin gila dalam pacaran” jawabku sekenannya.
“Aku seperti itu karena memang aku gila ditinggal sama kamu Qih. Aku benar-benar sayang sama kamu. Ayo Qih kita pacaran. Peluk aku sekarang kalau kamu setuju” Rini langsung buas menyambar tubuhku, berusaha memelukku.
Secara refleksku tampar pipinya hingga dia terduduk di tanah, air matanya menetes.
“Perbaiki dulu dirimu Rin, kelak akan datang pria yang lebih baik dariku untuk melamarmu. Jika kamu masih terus seperti ini maka jangan berharap ada pria baik yang menghampirimu” saranku penuh simpati.
“Apa yang salah denganku? Aku begitu mencintaimu, dan ingin kita berdua menyatukan cinta sekarang. Apa aku kotor buatmu? Apa yang kau lihat dariku?” tanya Rini tegas.
“Aku pernah merasakan hal yang sama Rin, saat aku menginginkanmu dahulu, aku ingin lebih dekat denganmu agar bisa memperbaiki sifatmu, sebab teman-teman selalu melihatmu sebagai pribadi yang manja dan angkuh. Tapi apa jawabanmu ketika itu? Keangkuhan lebih menguasaimu, hingga kamu nggak rela jujur dengan perasaanmu sendiri. Sekarang aku telah mendengar semua kisah tentangmu, kamu semakin berubah ke arah yang negatif. Aku hanya merasa makin tidak layak untuk dekat denganmu, sebab aku tidak mampu memperbaiki orang yang sudah sangat rusak akhlaknya.”
“Siapa yang menceritakan fitnah itu? Kenapa kamu percaya begitu saja dengan mereka? Apa kamu tidak mau menanyakan langsung padaku?” Rini coba membela diri.
“Sudahlah Rin.. aku sudah punya banyak bukti, bukan hanya satu orang yang mengatakan semua itu. Aku selalu menanyai kabarmu lewat telepon pada teman-teman disini. Salah satu mantan pacarmu juga orang tuanya tinggal di kota, jadi aku kenal baik dengannya. Dia bercerita banyak tentangmu” aku ternsenyum sinis padanya.
            Aku berlari kencang menuju sepeda motor, meninggalkan Rini yang masih sedu sedan. Kupacu dengan kencang motor menuju kampung. Aku ingin berziarah ke makam yang sudah lama terlupakan, mengunjungi Diana-ku. Kumenangis di samping batu nisan-nya. Hatiku berkata lembut, ternyata belum bisa ketemui cinta sejati yang tulus mencintai seperti dirimu untukku, Diana. Semoga kau tenang disana. Kalau kau rela tunggulah aku di pintu surga.
Hingga detik ini aku lulus dari perguruan tinggi, 4 tahun sejak kudaratkan tamparan ke pipinya Rini, aku belum pernah mengunjungi desa itu lagi. Aku hanya mendengar kabar gembira itu dari teman-teman via Handphone, bahwa Rini saat ini sudah jauh berubah. Dia sudah memakai jilbab panjang, pandai berorganisasi, hingga ada seorang ustadz asal Pulau Lombok yang ingin melamarnya. Aku begitu riang mendengar kabar itu. Tak lupa pula teman-teman menyampaikan salam dari ibunya Diana untukku. Ah, beliau ternyata selalu mengingatku walaupun anaknya kini telah tiada dan aku telah pindah kembali ke kota. Semoga saja Diana di alam sana juga selalu melihat dan mengingatku seperti ibunya yang tak pernah lupa padaku. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan meninggalkan komentar anda..
Pasti sangat membangun untuk perbaikan blog ini..

Pemuda, Pembangunan, dan Kemerdekaan

Potensi Pemuda Sang Proklamator, Soekarno, begitu menekankan pentingnya peran pemuda. Ungkapannya yang biasa diulang oleh kita sekarang “ ...