Rabu, 19 Desember 2012

RINTIHAN MORAL


Menjadi kaya dan mapan mungkin sudah menjadi dambaan setiap orang di era kapiltalis dan liberal seperti saat ini, dimana harta, jabatan dan wanita menjadi 'dewa' penyelamat hidup. Keadaan seperti ini mau tidak mau membawa persepsi manusia ke arah yang lebih parah lagi. Segala sesuatu kemudian kadarnya diukur dengan uang, baik itu kesuksesan, keseriusan, dan lain-lain. Masyarakat Indonesia yang masih dalam proses berkembang harus dihadapi dengan kenyataan kerasnya hidup di zaman ekonomi global yang sangat berpengaruh. Bayangkan saja di dalam pasar bursa dunia, perkataan dari beberapa kepala di Eropa sana bisa menentukan kebijakan dan harga pasaran seluruh dunia. Wow!!

Hal yang membuat saya termenung adalah karena....
menyadari bahwa di Indonesia kita ini kembali berlaku hukum jahiliyah di zaman kerajaan (sistem monarkhi) dahulu kala. Kala itu para raja-raja selalu meminta upeti kepada rakyatnya dalam jumlah yang banyak, tanpa memikirkan bahwa apakah rakyat itu mampu atau tidak. Setelah mendapatkan upeti maka raja-raja tersebut menikmati sendiri hasilnya tanpa memikirkan nasib rakyatnya. Kondisi seperti itu tidak ada bedanya dengan saat ini. Pemerintah selalu mengutamakan pajak untuk ditarik dari setiap kepala yang ada di ranah Indonesia, sedangkan pembangunan fasilitas (sarana prasarana) sangat tidak mencerminkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Pajak yang diperoleh bukannya dipikirkan untuk bagaiamana prosedurnya untuk dikembalikan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, melainkan diselundupkan untuk kesejahteraan kalangan pemerintah sendiri. Ironis.

Setiap kepala yang ada di bawah pemerintahan pun mau tidak mau harus tunduk pada sistem yang berlaku. Jika tidak patuh, maka akan sangat banyak konsekuensi buruk yang akan diterima. Berdasarkan pengalaman saya masuk untuk bekerja sama dengan beberapa instansi pemerintah setingkat Kabupaten dan Kota, sangat ironis menyaksikan langsung kebobrokan moral para kepala dinas-kepala dinas terkait dengan kerja sama pengerjaan proyek. Para konsultan yang diserahi tanggung jawab untuk mengerjakan proyek, yang rela banting tulang untuk mendapatkan hasil yang maksimal, harus rela gigit jari ketika dana yang turun harus dipotong sana-sini oleh oknum pemerintah. Mereka selalu berdalih bahwa butuh dana sekian persen untuk walikota, sekian persen untuk staff-nya, sekian persen untuk perayaan hari besar daerah.. kayaknya tidak pernah kekurangan alasan mereka ini.

Kadangkala setiap keluar dari ruangan mereka saya selalu mendongak ke atas, ke arah papan kayu ukuran kecil bertuliskan "Kepala Dinas". Tidak terbayang oleh saya, jika saya kelak menjadi pejabat pemerintah, apakah saya juga harus seperti ini? Apakah walikota saya juga akan memeras seperti ini, karena ini berlaku seluruh Indonesia? Wah, sangat sulit merubah sistem bung! Begitu kata teman saya.. Di dunia pemerintah nampaknya akan sulit untuk menjadi 'orang putih', kita hanya bisa menjadi 'abu-abu' dan menyesuaikan dengan hitam-putih yang diinginkan oleh sistem yang universal. #sial.

Perlu adanya sebuah revolusi yang benar-benar kongkrit dalam hal perubahan pola pikir dan pola mental dari setiap masyarakat. Konstitusi yang telah dibuat tidak pernah salah, yang menyalahi dan membuatnya terkesan salah adalah ulah prilaku oknum masyarakat yang tidak tahu menerjemahkan peraturan. Kadang ada sentilan yang mengatakan, orang Indonesia ini sepertinya kebanyakan buta hukum. Kalau menurut saya bukan buta hukum, tetapi hanya pura-pura rabun akan hukum. Lihat saja beberapa oknum pejabat yang katanya berkualitas, saat ini satu per satu masuk sel tahanan. Kita tidak bisa memungkiri mereka punya kapabilitas dari segi intelektualitas, tetapi kembali lagi ke masalah moral dan pandangan pribadi. Menurut hemat saya, solusi yang bisa dilakukan dalam rangka revolusi pemikiran dan moral adalah kembali pada konstitusi dari segala konstitusi, yaitu Al-Quran dan Hadits. Jika masyarakat Indonesia berpegang teguh pada tali agama, maka secara moral dan sikap akan mengikuti keteraturan secara alamiah. Tetapi jika sebaliknya tali moral yang dipegang dahulu, maka belum tentu nilai-nilai agama yang pada umumnya mengajari kebaikan akan merasuk dalam dirinya. Semangatlah para jiwa muda! Tata kembali pola pikir dan pola sikap yang segalanya bersumber dari agama. Insya Allah kita yang beberapa tahun lagi akan maju meneriakkan dengan lantang persaingan global dengan dunia. Hidup tanpa korupsi, hidup tanpa amarah, hidup tanpa ketidak-adilan.. Save Indonesia!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan meninggalkan komentar anda..
Pasti sangat membangun untuk perbaikan blog ini..

Pemuda, Pembangunan, dan Kemerdekaan

Potensi Pemuda Sang Proklamator, Soekarno, begitu menekankan pentingnya peran pemuda. Ungkapannya yang biasa diulang oleh kita sekarang “ ...