Jumat, 11 Januari 2013

TIGA SERANGKUL



Nampaknya apa yang dikatakan oleh sebagian orang memang benar adanya, bahwa hidup ini dinilai berdasarkan apa yang pernah kita lihat. Pada tahun 2003, saat aku masih duduk di Madrasah Tsanawiyah, pelajaran agama kurasa amat menarik sampai termanifestasikan ke dalam perilaku sehari-hari. Contoh kecilnya saja, saking seringnya memakai kopiah aku sampai lupa tidak memakai helm di saat ada razia lalu lintas. Selain itu, bulu kaki ini panjang melambai karena sering menggunakan celana panjang. Suasana berubah ketika aku akan masuk SLTA. Ayah begitu ‘ngebet’ memasukkan aku ke sekolah agama (lagi), tetapi aku berhasil meyakinkan beliau bahwa atmosfer persaingan di sekolah umum akan lebih terasa. Hatiku juga menambahkan : “yang pasti cewek-ceweknya juga lebih terasa”. Nah, jadilah nilai-nilai keagamaan yang telah dipupuk akhirnya kering kerontang akibat tidak disirami. Dunia baru itu justru sangat menarik, ada sebuah dinamika. Banyak kontroversi, obsesi, manipulasi, sampai harus pake dasi. Tidak ada rasa kaku seperti biasanya, membuat hatiku merasa inilah duniaku. Disini aku “belajar” bolos melewati tembok setinggi 2 meter, aku belajar trik mengambil rokok di kantong satpam yang sedang tertidur di tempat duduknya, tak lupa juga aku pahami metode korupsi uang OSIS untuk kegiatan-kegiatan yang saat ini baru kusadari sebagai hedonisme anak-anak alay.

Ketika usiaku merangkak naik menjadi 19 tahun (sebenarnya sih merangkak turun, karena kan berakhir di liang kubur), aku berhasil lolos seleksi regular universitas terkemuka di Jawa Timur. Orang tuaku begitu senang dan bangga. Walaupun tergolong tipe pembangkang, aku termasuk anak yang cerdas dan mudah bergaul. Lho, kenapa aku tahu? Karena memang ada yang pernah bilang seperti itu. Salah satunya adalah seorang cewek cantik, sebut saja namanya Bunga. Tenang saja, si Bunga ini tidak ada hubungannya dengan cerita, namanya hanya muncul sampai disini. Kembali pada kisah kelulusanku pada universitas negeri tadi. Setelah sekitar 1 bulan proses belajar-mengajar, aku tahu betapa beragamnya daerah asal teman-teman sekelasku. Tak lama berselang aku telah mendapatkan 2 cowok sebagai teman dekat. Ini bukan berarti aku homo, bukan juga karena  temanku itu yang punya disorientasi seksual. Aku dekat dengan mereka karena kami punya visi yang sama. Kami sama-sama punya impian membangun daerah masing-masing usai kuliah. Dalam hal sifat dan perangai, kami berbeda karena notabene berasal dari daerah yang berbeda. Costa berasal dari daerah bagian timur Indonesia, Jono berasal dari daerah bagian barat, sedangkan aku sendiri datang dari daerah bagian tengah. Jadi nama kami sering tergantikan dengan Wita, Wib, dan Witeng. Orang melihat kami bertiga sebagai sebuah genk karena hampir tak terpisahkan, saling melengkapi, dan saling support.

Pernah suatu ketika, saat malam minggu di hari libur tengah semester ketiga. Costa berangkat ke rumah cewek yang baru 2 minggu dikenalnya lewat Facebook. Mereka belum jadian, baru tahap pedekate. Setelah sekitar 30 menit duduk bersama cewek itu di teras, tiba-tiba terdengar suara gemuruh puluhan motor besar Harley Davidson mendekat ke arah mereka. Lelaki kekar paling depan memarkir motornya, dia memanggil Costa dengan isyarat tangan.
“Orang itu siapa? Dia manggil saya kah?” tanya Costa setengah berbisik.
“Jangan dengerin dia. Itu mantan pacarku” kata cewek itu.
“Trus saya harus bilang WOW sambil masuk rumahmu gitu?”
Costa berusaha percaya diri. Dia melangkah ke arah kelompok yang sedari tadi mem-plototinya. Seraya melangkah, dia sempat mengirim SMS pada 2 nomor berbeda dalam kontak handphone lawasnya.
“Ngapain kamu datang ke rumah ini? Kamu siapa?” Tanya ketua genk yang kepalanya dibalut slayer merah.
“Saya hanya mengunjungi cewek yang saya suka. Tidak ada hak Anda melarang saya” suara Costa bergetar.
Tak butuh waktu lama bagi para anggota genk untuk mencerna kata-kata Costa. Dalam 5 menit leher Costa sudah dicekik dan bersiap menerima hantaman rantai yang dililitkan di telapan tangan. Tapi… Sejurus kemudian giliran para anggota genk motor yang dikagetkan oleh suara gemuruh yang menuju ke arah mereka, bahkan 2 kali lebih berisik dari suara motor mereka. Suara itu berasal dari puluhan mobil yang terdiri dari berbagai jenis dan merk. Nampak oleh Costa 2 wajah yang tak asing olehnya di dalam mobil paling depan. Senyum sumringah menghiasi wajah Costa, sebaliknya seringai kecut yang muncul dari mimik para anggota genk motor. Siapa pun pasti takut dengan rombongan mobil itu, tak terkecuali genk motor. Mereka adalah anggota GENK MOBIL! Adalah Jono yang punya networking yang luas, jadi bukan masalah besar baginya untuk mendatangkan preman dari aliran apa pun, apalagi demi sahabat dekatnya. Pada akhirnya, para anggota genk motor harus merelakan tubuhnya untuk menjadi bulan-bulanan. Malam itu perkelahian sama sekali berjalan tak seimbang.
“Lain kali kalau nyari cewek ya dilihat dulu background-nya dong Cos” aku coba menasehati.
“Apa masalahnya sih? Cinta itu tidak bisa direncanakan. Dan yang paling penting, saya tak takut apa pun selama kalian berdua ada” kami bertiga akhirnya berpelukan.
“Apa pun yang terjadi, kita tetap akan bersama” Jono menambahkan.           
Begitulah.. Waktu terus bergulir tanpa bisa dihentikan (kecuali jam dinding kampus lagi kehabisan baterai). Tak terasa kami sudah semester 5. Persahabatan kami makin erat. Semua jurusan sudah tahu tentang kami, Genk Tiga Serangkul. Tiga mahasiswa yang disegani namun punya solidaritas tinggi serta kepedulian kelas dewa. Costa sudah mantap dengan cewek mantan kekasih ketua genk motor, Jono dijodohkan orang tuanya dengan santri solehah, sementara aku… asyik bercumbu dengan bayangan yang tak tampak jasadnya. Bosan juga dengan kesendirian. Terus digojloki sebagai seorang homo, sampai pernah dibilang impoten. Costa dan Jono berusaha agar aku bisa segera punya pacar, termasuk dengan menggojloki aku dengan anggota genk cewek di kelas. Awalnya kudekati yang namanya Tiwi, tetapi dia beralasan bahwa aku orangnya sok ngatur, belum juga jadian. Setelah itu, masih di genk yang sama, aku beralih pada Mona. Aku cukup lama pedekate dengannya, tetapi setelah saldo ATM-ku habis baru terungkap bahwa dia tidak mau pacaran dengan orang luar jawa. Miris sekali dengar isu SARA semacam itu di tengah perasaan cinta. Terakhir aku mencoba banting setir mendekati si ketua genk, namanya Santi. Dia begitu molek, tak berbulu (di bagian tertentu), tinggi, dan humoris. Aku lebih serius lagi dengan dia. Aku sampai dikenalkan pada ibunya. Masalahnya adalah ayahnya yang (tak) terhormat malah diam-diam menjodohkannya dengan pria lain. Jadilah aku cenderung pendiam, garuk-garuk tembok kamar kost, intensitas buang air kecil dengan sabun khusus meningkat secara drastis.
“Sudahlah sobat.. Hati memang tak bisa dipaksakan” Jono coba menenangkan.
“Kita ini genk berpengaruh, tidak boleh patah hati. Cewek itu oasti butuh cowok, tapi untuk saat ini mereka belum butuh kamu sobat. Positif Thinking lah sedikit” Costa tiba-tiba muncul dari dalam botol. Ups, salah. Maksudnya dari balik pintu kamar.

Begitulah kedua sahabatku, selalu ada saat aku punya masalah, seringkali tahu akan kebutuhan hati ini. Tak ingin aku terus larut dalam kegalauan, Costa dan Jono merencanakan adventure besar-besaran. Aku diajak mendaki Gunung Bromo, agar ketika sampai dipuncaknya aku dapat berteriak sepuasnya tentang gendutnya bokong Si Tiwi, baunya kaos kaki Si Mona, panjangnya bulu ketek Si Santi, dan masih banyak lagi aib lainnya. Biar gunung, awan, dan sunset yang jadi saksinya. Tiga hari setelah dari puncak Bromo, aku dipaksa ikut dalam wisata biologis, tepatnya di panti pijat plus-plus paling terkenal di Jawa Timur. Mereka beralasan agar aku dapat membuktikan bahwa aku memang pria sejati dan tidak impoten. Paling menggelikan melihat Costa lupa memakai kembali celana dalamnya saat keluar dari TKP. Seakan ingin melengkapi perjalanan itu, aku juga diajak berendam di pemandian air hangat. Kali ini mereka berdalih agar aku bisa lebih dewasa melihat dunia melalui “celah gunung”.
“Gimana pemandangannya sobat?” Tanya Costa saat kami asyik berendam.
“Dunianya sih bagus, tapi gunungnya sudah pada berusia lanjut bro. Sepertinya pernah meletus beberapa kali dan sudah nggak aktif lagi” celetukku sekenanya yang diiringi gelak tawa mereka.

Kita tidak tahu apa yang terjadi besok, yang pasti nilai hidupku ditentukan oleh apa yang dilakoni saat ini. Tidak perlu mengharapkan kebahagiaan semu dari seorang pacar jika ternyata dengan persahabatan hidup bisa lebih ceria. Bukan masalah homo atau pun impoten, tetapi ini soal kebutuhan hati akan ketulusan. Spirit of Togetherness from Tiga Serangkul Gank.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan meninggalkan komentar anda..
Pasti sangat membangun untuk perbaikan blog ini..

Pemuda, Pembangunan, dan Kemerdekaan

Potensi Pemuda Sang Proklamator, Soekarno, begitu menekankan pentingnya peran pemuda. Ungkapannya yang biasa diulang oleh kita sekarang “ ...