
Tiga kata yang menarik untuk dicermati saat ini : Cinta, Pemuda, dan Malam Minggu-nya. Layaknya trisula maut dalam klub sepakbola dunia yang terus saling menguatkan sektor penyerangan. Bagai ular berkepala tiga yang akan menjemput ajalnya jika salah satu kepala dibegal. Seperti tiga mata rantai yang berhamburan tak menentu jika salah satu dari tiga pengaitnya dilepaskan. Seumpama trio warkop DKI yang tidak asyik lagi jika salah satu personilnya telah tiada. Semisal Soekarno-Hatta-Syahrir yang begitu kompak jika bersatu. Begitulah, sekedar gambaran betapa ketiga istilah itu kaitannya sungguh erat.
Cinta. Tidak ada yang salah dengan cinta. Cinta hanya kata paling sering dicari dalam kamus para pujangga. Pemuda pun demikian, tidak ada yang aneh dengan kata itu. Malam minggu juga hanya sebuah frase yang terbentuk sebagai istilah lain dari hari sabtu malam. Menariknya adalah saat ketiganya dijejerkan dalam sebuah fenomena kekinian, dalam renungan dalam tentang pergaulan; ketiganya menjadi asyik untuk dijadikan bahan pembelajaran. “Cinta” selalu terkait dengan kejiwaan (psikologi), “Pemuda” akan dinilai dari fisik, sedangkan “Malam Minggu” (entah kenapa saya rasakan) erat kaitannya dengan spiritualitas.
Kenapa frase Malam Minggu, yang bagi sebagian besar pemuda bermakna spesial, namun bisa bermakna spiritual? Pertanyaan itulah yang menjadi titik tumpu (alasan) adanya tulisan ini. Saya tergerak untuk menulis tentang topik ini, bukan berarti saya haters dari hari sabtu malam tersebut, bukan pula berarti saya tidak pernah ‘nongkrong’ menikmati desiran pantai serta menikmati bagaimana gegap gempitanya dunia di malam minggu. Justru karena pernah merasakan sehingga saya tahu, sehingga memberi waktu bagi nurani untuk merenung. Perlahan bergelayut rasa bosan dari lubuk hati yang biasa terjadi pada manusia dalam menghadapi suatu kesenangan semu.