Selasa, 10 Februari 2015

Why Always BANK?



Wuih, judulnya keren ya! Jangan underestimate dulu, baca sampai akhir baru disimpulkan. Judul itu terinspirasi dari why always me-nya Mario Ballotelli, ketika dia merumput bersama klub Manchester City dulu. Jika saya perhatikan di Bima, bukan saya saja sih, Anda juga bisa melihatnya sendiri, bahwa makin banyak kantor bank yang dibangun. Bank apa yang belum ada di daerah kita tercinta? BNI 46 sebagai bank tertua di Indonesia ada di sini, BRI sebagai bank daerah yang dikenal merakyat ada juga, Mandiri sebagai bank dengan aset paling besar di Indonesia juga ada. Itu baru seberapa. Belum lagi ditambah Bank Danamon, Sinarmas, BNI Syariah, Mandiri Syariah, BRI Syariah, Bank Pundi, Bank Perikanan, Bankrut #upss (kalau ada yang lain mohon ditambahkan, hehe).

Baguskah jika ada fenomena menjamurnya bank seperti ini di daerah? Saya juga tidak tahu, toh saya bukan ahli ekonomi kok! Yang jelas kondisi itu menandakan bahwa aliran uang sekaligus arus hutang orang Bima Raya ini cukup menjanjikan bagi pihak bank. Kenapa? Orang disini terkenal ‘berani’ minjam uang bank. Belum genap satu tahun jadi PNS saja sudah langsung ajukan pinjaman. Kalau bisa pas pengumuman lulus PNS itu kita langsung ke bank saking sudah mindset kita dengan dunia perbankan sudah tidak bisa terhindarkan. Heuheu.. Bank itu ada yang dikategorikan bank kecil dan bank besar tergantung dari total asetnya masing-masing. Nah, faktanya di Bima Raya ini bank dengan nilai aset yang kecil saja berani masuk dan bersaing, apalagi bank besar. Logikanya, bank kecil tetap mendapat klien yang cukup memadai dari jumlah penduduk Bima Raya yang mencapai sekitar 430 ribu jiwa.

Minggu, 16 November 2014

MASA TRANSISI ITU TETAP ADA



Sudah banyak kata-kata mutiara yang terungkap oleh para kalangan bijak untuk mengungkapkan filosofi dari proses perubahan. Ya, dunia ini berubah! Gaya hidup, ukuran tubuh, keuangan negara, teknologi, penguasa kerajaan, dan lain-lain; semua berubah. Ungkapan paling keren tentang perubahan itu adalah “tidak ada yang tidak berubah di dunia ini, kecuali perubahan itu sendiri”. Semua karena Tuhan menjamin bahwa salah satu ciri makhluk hidup adalah dia bergerak, tumbuh, dan berkembang biak. Hanya dengan berubah kita bisa mengimbangi perubahan, hanya dengan berubah kita bisa mensejajarkan diri dengan keinginan alam dan juga amanat Tuhan. 

Tentu saja, kita semua punya impian dan harapan. Hidup bukan hanya untuk numpang makan, minum, dan buang air, sambil menunggu datangnya panggilan untuk kembali kepada Pencipta kita. Orang tua kita keras mendidik mulai dari rumah, kemudian menyekolahkan di institusi pendidikan terbaik, lalu dengan berderai air mata mereka melepas kita untuk melanjutkan studi ke luar daerah. Itu semua karena apa? Karena mereka juga punya naluri untuk merubah anaknya. Ketika anaknya berubah, mereka tahu bahwa nasib mereka juga akan berubah. 

Selasa, 07 Oktober 2014

KOTA BIMA; MILIK YANG TUA, TANGGUNG JAWAB YANG MUDA

Jangan mengkritik orang bodoh, karena dia akan membencimu. Tapi kritiklah orang berakal, karena dia akan mencintaimu.. (Sayyidina Ali)
 Setiap hari saya berpikir keras bagaimana caranya agar Kota Bima bisa cukup ramah bagi generasi yang akan datang. Biarkan kita yang menanggung panasnya terik matahari yang selalu menyengat lebih dari 35 derajat celcius setiap hari di musim panas. Biarkan kita yang menanggung perguliran musim kemarau dan hujan yang semakin tak menentu. Biarkan kita yang mengecap air bah (banjir) yang sudah tidak malu-malu lagi merembes ke jalan raya, banjir yang sudah tidak segan memnghanyutkan rumah-rumah kayu non-permanen milik penduduk.

Sesungguhnya tiada sesuatu yang terjadi tanpa sebuah alasan, tiada aksi tanpa reaksi, pun tiada yang kita tanam melainkan kita akan memetik hasilnya. Dan hingga detik ini pun kita belum tersadar akan semua itu; apa dampak dari deretan pohon rindang di pinggir jalan yang dibabat habis? Apa dampak dari pegunungan hijau yang dibakar dengan ribuan alasan klise? Apa dampak dari pembangunan komersial yang mengesampingkan daerah resapan air? Apa dampak dari sampah rumah tangga yang dibuang dengan egois di sepanjang daerah aliran sungai? Generasi kita perlu bertanggung jawab atas apa yang disebut sebagai “nasi hampir menjadi bubur” tersebut.

Jumat, 11 Juli 2014

Anda Lebih Suka Meng-kritik ATAU Di-kritik? Renungkan Tulisan Ini!

Kehausan kita akan persetujuan, sama besarnya dengan ketakutan kita terhadap kritik.
 (Hans Selye)

Selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua.. Salam lima jari! Heuheu..

Apa topik yang sedang menjadi tren di Indonesia? Ya, sembilan puluh sembilan dari seratus orang akan menjawab : Pemilu Presiden-Wakil Presiden. Saya pribadi sudah punya pilihan, tapi tetap tidak mau terpancing untuk masuk dalam kisruh fanatisme yang berlebihan.

Sebenarnya tulisan ini tidak memfokuskan pada kegiatan pemilu, namun lebih umum lagi terkait dampak dari sebuah kritikan terhadap kejiwaan seseorang. Tema menarik ini terilhami dari buku How to Win friends and Influence People, karangan Dale Carnegie, yang kalau diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia judulnya jadi : bagaimana mencari kawan dan mempengaruhi orang lain. Apa pesan inti dari buku itu? Baru membaca bab pertama saya sudah tercerahkan dibuatnya. Jadi yang saya tulis ini hanya kandungan ilmu di bab pertama! Bagi yang sudah pernah membaca dan memahami isi bukunya, silahkan di skip saja tulisan ini. Heuheu..

Ada 3 prinsip yang harus diperhatikan dalam teknik mendasar untuk menangani manusia. Ketiganya bisa jadi sangat efektif sebagai cermin untuk kita berkaca kembali dan menata ulang sikap yang terlanjur membuat hubungan kita dengan keluarga, teman, sahabat, kerabat, pacar, atau selingkuhan (#upss) hancur berantakan.


Prinsip I : jangan mengkritik, mencerca, dan mengeluh


Percaya atau tidak, seorang penjahat pun tidak akan suka kalau dikritik. Mau bukti? Tiga orang pembunuh paling kejam yang pernah ada di Amerika (Crowley, Al Capone, dan Dutch Schultz), ketika mereka berhasil ditangkap oleh polisi, sama sekali tidak pernah menyalahkan diri sendiri atas kejahatan keji yang pernah mereka perbuat. Crowley sesaat sebelum dihukum mati mengatakan bahwa di balik bajunya yang gelap ada hati yang tidak tega menyakiti orang lain. Al Capone mengatakan dia berbuat jahat untuk membantu masyarakat miskin mendapat keadilan. Sedangkan Schultz memberikan julukan untuk dirinya sendiri sebagai dermawan publik.

Kamis, 08 Mei 2014

Sang Zombigaret Pengkhianat Kepercayaan Istri

Sore ini langit berhiaskan awan kelabu, mendung merajai suasana duka. Wajah-wajah suram sedang berdiri menatap sepasang nisan dan tanah gembur yang baru saja ditimbun di pemakaman umum kampung kami. Aku mengenali dua wanita yang masih tetap bergeming, tidak beranjak dari sini, sementara orang-orang sudah pulang satu persatu dengan teratur. Mereka berdua istri dan ibuku, dua wanita yang paling kusayang di dunia. Siapa yang mereka tangisi? Aku coba memanggil mereka, kusentuh pundak istriku, namun tidak ada respon sama sekali. Aku ganti meraih tangan ibuku, beliau juga tidak menoleh sedikit pun. Aku ingin mengajak mereka pulang. Melihat mereka seperti itu, aku pun ikut memperhatikan kuburan itu. Aku terkejut bukan kepalang, namaku tertulis jelas di permukaan batu nisan, tanggalnya pun menunjukkan waktu hari ini! Ternyata aku telah meninggal. Kuburanku yang kini mereka tangisi. Gerimis mulai menitik menghajar debu-debu tanah pemakaman. Aku tidak merasakan dinginnya air hujan. Jadi benarlah bahwa aku sudah tidak di dunia lagi. Aku mulai merasakan takut yang luar biasa. Satu sisi aku mulai meraba apa gerangan yang telah terjadi sebelumnya.

*****

Nisrina Ayu Dewi, wanita anggun yang kunikahi tiga tahun yang lalu. Dia seorang perawat di sebuah rumah sakit swasta di kota kami. Perkenalanku dengannya berawal sejak aku memeriksakan diri ke rumah sakit. Saat itu aku mengeluh sering sesak napas. Nisrina-lah yang dengan sabar merawatku, sangat tenang menasehati agar aku mengurangi kebiasaan merokok. Aku sangat nyaman berada dekatnya, membagi cerita tentang kebiasaan merokok-ku. Aku merokok sejak SMA hingga kini usiaku beranjak kepala tiga. Nisrina pun setuju kunikahi dengan syarat aku harus berhenti merokok. Sebagai orang kesehatan, dia paham betul ancaman dari benda yang bernama rokok. Dia tidak ingin rumah tangga kami nanti harus

Minggu, 20 April 2014

Kebijakan Strategis Hutan, Akankah Berbuah Manis Kesejahteraan?


Pendahuluan

Kehidupan manusia telah diciptakan secara seimbang dalam tatanan ekosistem alam yang indah. Alam menyajikan perputaran siang dan malam, meregenerasi air dan panas bumi, membedakan lahan potensial dengan yang berbahaya untuk dikelola, bahkan menyeleksi perilaku baik dan buruk dari manusia. Keseimbangan itu akan tetap terjaga hingga manusia sendiri sebagai ‘makhluk utama’ di muka bumi ini merusaknya. Salah satu pondasi kelestarian alam hayati adalah tersedianya tumbuhan hijau secara memadai. Hal ini kemudian sangat erat kaitannya dengan eksistensi ekosistem hutan di ranah negeri kita tercinta. Hutan menjadi sebuah entitas penting dalam mendukung peri-kehidupan manusia berperadaban. Perlu terlebih dahulu kita sepakati bersama, bahwa pengertian hutan menurut konstitusi negara adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan (pengertian menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, kemudian digantikan dengan UU Nomor 19 tahun 2004). Lantas apa sebenarnya fungsi penting dari sebuah ekosistem hutan? Kumpulan pepohonan hijau dianugerahi fungsi untuk menjadi paru-paru bagi dunia, sumber penghasil oksigen yang melimpah. Hutan juga mampu menetralkan kondisi habitat hidup kita para manusia yang semakin tidak ramah lingkungan. Hutan mengurangi dampak asap kendaraan bermotor, pabrik, rokok, dan masih banyak lagi. Ketakutan manusia makin menjadi saat para pakar ilmu alam mengkampanyekan peningkatan Efek Rumah Kaca. Permasalahan berangsur mulai meluas, hingga membentuk sebuah kesadaran umum bahwa dampak dari keterlantaran hutan akan membawa ancaman serius bagi umat manusia.

Permasalahan yang terjadi tidak hanya sebatas pada bidang sains dan teknologi, namun secara simultan telah menyentuh ranah yang multi-bidang; ekonomi, sosial, budaya, hankam, hingga sisi geopolitis. Hutan Indonesia, dalam data yang dipaparkan oleh FWI (Forest Watch Indonesia), merupakan pemegang peringkat ketiga dunia sebagai wilayah yang terluas. Kekayaan alam yang bersumber dari hutan alam negeri ini sungguh sangat melimpah. Tidak mengherankan jika kemudian banyak pihak yang merasa berkepentingan terhadap wilayah hutan Indonesia. Sisi ekonomi menyangkut transaksi ekspor-impor maupun izin pengelolaan perusahaan domestik. Sisi sosial selalu terkait dengan tantangan mewujudkan hutan yang pengelolaannya berbasis masyarakat. Sisi budaya berkaitan dengan kehidupan dan bargaining position para etnis adat yang beragam dalam wilayah hutan. Sisi hankam (Ketahanan dan Keamanan) berbicara masalah resistensi negara dalam hal mencegah dan menanggulangi kejahatan oleh oknum dalam negeri maupun asing yang siap menggerogoti negara melalui eksploitasi hutan secara ilegal. Sedangkan sisi geopolitis menyangkut sebaran hutan di seluruh wilayah kita yang belum dimaksimalkan karena berbagai kepentingan dalam internal pemerintah yang belum saling mendukung.

Mengidentifikasi potensi serta permasalahan hutan sangat besar manfaatnya demi merumuskan langkah selanjutnya. Potensi membuat kita bisa mengagumi, sedangkan masalah dapat membuat kita waspada agar tidak berdampak buruk pada apa yang telah dikagumi. Berdasarkan paparan Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam Depatemen Kehutanan, beberapa potensi keanekaragaman hayati yang terkandung dalam tanah ibu pertiwi sangat membanggakan, seakan melengkapi kekayaan dari bidang-bidang yang lain; biodiversitas alam kita terdiri dari 515 spesies mamalia (urutan pertama dunia, 36% diantaranya bersifat endemik), 122 spesies kupu-kupu sayap burung (urutan pertama dunia, 44% diantaranya bersifat endemik), lebih dari 600 spesies reptil (urutan ketiga dunia), 1531 spesies burung (urutan keempat dunia, 28% diantaranya endemik), 270 spesies amfibi (urutan kelima dunia), 28000 tumbuhan berbunga (urutan ketujuh dunia). Betapa luar biasanya potensi-potensi itu jika kita ingin membayangkannya. Sebagian dari potensi itu terkandung di dalam setiap rimbunnya hutan kita. Ketika ekosistem hutan di negeri ini mengalami kerusakan, maka komponen yang ada di dalamnya pun akan bermasalah. Permasalahan yang sudah semakin biasa terjadi serta mengancam ekosistem hutan antara lain, penebangan liar, pembakaran, pembangunan kavling, hingga pencurian kayu dan spesies langka. Oleh karena itu, perlu kiranya dirumuskan berbagai kebijakan pro-lingkungan, pendukung kelestarian, serta tidak mengabaikan peningkatan kesejahteraan.

Ekonomi Versus Ekologi

Tantangan terberat dalam penyelenggaraan kebijakan terkait hutan di era modern saat ini adalah perbenturan kepentingan antara pelestarian lingkungan dengan peningkatan kesejahteraan di bidang ekonomi. Kenyataan itu kemudian mengerucutkan sebuah pertanyaan tentang mampukah pemerintah menyelaraskan kedua sisi mata uang tersebut dalam pengelolaan hutan? Para pemegang aliran konservatoris selalu mendengungkan langkah konservasi alam sebagai upaya utama yang harus dilakukan dalam menjaga keseimbangan alam, sedangkan para ekonom dan berbagai kalangan dunia usaha mengutamakan ukuran kuantitas hasil sebagai patokan keberhasilan pengelolaan. Padahal jika menilik paradigma baru yang semakin gencar disuarakan bahwa kedua lini tersebut bisa saja dilakukan seiring dan sejalan tanpa mengorbankan salah satunya. Menurut World Resource Institute, bahwa konservasi mengandung tiga unsur pokok; menyelamatkan keanekaragaman hayati, mempelajari keanekaragaman hayati, dan menggunakan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan dan seimbang. Jelas dari uraian tersebut dapat disepakati tentang penyatuan tiga kegiatan yang saling mendukung tercapainya hutan yang lestari sekaligus ekonomi yang mandiri.

Sudut Pandang Seorang Presiden

Memang tidak selamanya kita harus duduk di kursi jabatan tertinggi negeri ini untuk bisa membawa perubahan bagi hutan. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa kita hidup di bawah sebuah sistem yang mulai nampak keburukan-keburukannya, baik itu tentang sistem birokrasinya yang berbelit-belit, sumber daya manusia yang kurang mumpuni, hingga pada fenomena KKN yang seakan telah mendarah daging. Oleh karena itu, tentu akan lebih mudah jika saya mengandaikan diri sedang duduk dalam kursi kepemimpinan seorang presiden, dimana pucuk tertinggi kekuasaan pengelolaan sumber daya alam, termasuk hutan, ada di tangan saya. Saya membawahi menteri-menteri di kabinet, saya sejajar dengan dewan legislatif dalam hal bargaining power di ranah pembuatan peraturan, saya juga punya hak prerogatif dalam mendukung kebijakan yang saya cetuskan sendiri. Betapa menyenangkan jika kesempatan sebagai presiden itu saya gunakan untuk menelurkan ide pengembangan hutan.

Frame awal yang harus disatukan terlebih dahulu sebelum bersama-sama mengelola hutan adalah penyetaraan paradigma tadi. Pertama, kita harus menganggap (menganalogikan) hutan sebagai seorang kekasih. Ketika kita jatuh cinta pada seseorang, tentu kita akan sangat menyayanginya. Kita tidak ingin terjadi sesuatu padanya, baik itu lecet, luka bakar, tertusuk, atau mungkin dinodai kehormatannya oleh orang lain. Kedua, kesamaan tentang keselarasan pembangunan hutan demi ekologi dan ekonomi, sehingga tidak ada saling sikut dalam pergolakan kepentingan. Ketiga, pergantian presiden dan kabinet tidak harus mengganti pula segala peraturan dan strategi yang telah dijalankan oleh pemerintahan sebelumnya. Ada baiknya untuk terus beregenerasi tanpa harus bersegmentasi, melepas semua egosentrisme dan stigma negatif yang sering memandang rendah orang lain. Setelah ketiga hal itu terpenuhi, kita tinggal memperkuat aspek supremasi hukum dan penambahan beberapa gebrakan di ranah aplikasi nyata.

Kenapa saya mengatakan bahwa kita hanya tinggal memperkuat hukum dan juga langkah kongkrit? Bagaimana tidak, konstitusi negara ini sudah sangat banyak, sudah mengakomodasi semua lini pengelolaan kehutanan. Negara ini dapat dikatakan sudah terlalu banyak memendam peraturan, tanpa penerapan yang tepat di lapangan. Payung tertinggi konstitusi tentang sumber daya alam sudah jelas berasal dari pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi : “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat”. Konstitusi induk tersebut kemudian diturunkan pada Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, yang kemudian diperbarui beberapa poin hingga disahkan kembali melalui Undang-Undang Nomor 19 tahun 2004. Peraturan tersebut telah mengakomodasi segala aspek kehutanan, seperti perencanaan, pengelolaan, penelitian, pengembangan, pendidikan, penyuluhan, serta pengawasan. Ketika saatnya menjadi presiden, maka saya tinggal merumuskan langkah aplikatif turunan dari beberapa aspek tersebut.
  1. Kegiatan perencanaan bisa dilakukan dengan basis payung yang kuat. Disinilah fungsi RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) berperan besar. Jika RTRW telah diramu dalam sebuah dokumen inti yang baik, maka pedoman perencanaan wilayah, termasuk di dalamnya tercakup hutan sebagai zona kawasan lindung dan budidaya, akan berfungsi maksimal. Selama ini pembuatan RTRW masih jauh dari kesan ilmiah, masih banyak plagiatisme dengan menjiplak peraturan yang telah berlalu (RTRW ditinjau kembali setiap 5 tahun sekali). Pada RTRW itulah dasar penetapan luas ruang terbuka hijau (RTH) harus tidak kurang dari 30 persen dari luas satu satuan wilayah. Luas wilayah hutan tidak boleh kurang 30 persen dari luas daerah aliran sungai atau pulau dengan sebaran yang proporsional.
  2. Kegiatan pengelolaan bisa dilakukan dengan pemberian izin bagi setiap perseorangan atau pun lembaga swadaya masyarakat, lembaga milik pemerintah maupun swasta. Setiap para pengelola itu diberikan rambu-rambu yang ketat terkait insentif dan disinsentif dalam mengekplorasi hasil hutan. Ambang batas pengerukan hasil hutan harus jelas dan tegas. Selain itu perseorangan atau badan usaha tersebut wajib memberikan dana pengganti kerusakan alam atau pun dalam bentuk Coorporate Social Resposibility (CSR). Pengelolaan bisa dilakukan hanya pada hutan yang bukan cagar alam atau zona inti, itu pun dengan prosedur yang jelas.
  3. Kegiatan penelitian dan pengembangan bisa dilakukan dengan mengirimkan setiap ilmuwan yang konsen di bidang keanekaragaman hayati untuk lebih banyak hidup di hutan. Para ilmuwan tersebut disediakan laboratorium sekaligus rumah di dalam hutan, biaya hidup mereka ditanggung oleh pemerintah dan donasi dari swasta. Selama ini para pihak akademisi seakan hanya meneliti hutan dari jauh, hanya sesekali meninjau lokasi, sehingga chemistry serta kecintaan terhadap hutan sangat minim. Jika dalam kawasan sebuah hutan terdapat masyarakat adat yang menetap, maka para ilmuwan bisa bekerja sama dengan mereka. 
  4. Kegiatan pendidikan dan penyuluhan bisa dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari pemberian beasiswa bagi peminat studi di bidang kehutanan, pemberian penyuluhan kepada seluruh stakeholders tentang pentingnya sinergi pengelolaan bersama hutan, pemberian reward yang tinggi kepada para peneliti yang berdedikasi dalam memberikan pencerahan untuk kebaikan hutan Indonesia. Jadi, pemerintah tidak hanya beretorika semata, tapi memberikan bantuan nyata, agar setiap insan akademisi merasa dihargai adanya.
  5. Kegiatan pengawasan dapat diterapkan lebih intensif dari sebelumnya. Pengawasan ini menyangkut keselamatan segala biodiversitas dari ‘pencuri dan perampas harga diri hutan’ yang makin membabi buta. Pemantauan lewat satelit terhadap hutan harus lebih dilakukan secara terpadu dengan bekerjasama dengan Badan Inteligen Negara (BIN). Selain itu, pemerintah dapat menyebar CCTV di beberapa penjuru hutan, pemantauannya disinergikan dengan ilmuwan yang menginap di laboratorium hutan tadi. Jadi, selain para ilmuwan, di laboratorium hutan juga sudah siap siaga para tim Rescue Khusus Hutan (RKH) yang menangani langsung masalah keamanan, satu jenjang diatas polisi hutan.
 Demikian uraian saya tentang kebijakan strategis terkait hutan, yang akan dijalankan jika saya diangkat menjadi presiden. Kebijakan tidak harus muluk-muluk dan utopianis, karena sesuatu yang kecil namun berguna itu jauh lebih bermakna. Pelaksanaannya pun bisa terealisasi secara sustainable. Pemerintah yang baik harus menjalankan konsep ekonomi dan ekologi agar berjalan seimbang dalam rel yang sejajar, agar kereta api pembangunan Indonesia bisa melaju dengan potensi keuntungan hakiki; melestarikan alam sekaligus mensejahterakan rakyat. Semoga walaupun belum menjadi presiden, saya bisa menelurkan semangat keseimbangan ini kepada generasi-generasi saya. Presiden Indonesia berikutnya jangan dipercaya sebagai tokoh yang berjiwa nasionalis, sebelum dia mencintai hutan dan melindungi segala yang ada di dalamnya.

Semakin Indonesia Baru, Semakin Rindu Masa Lalu




Sepak terjang subjek politik di tahun yang penuh dengan atmosfer politik ini memang sangat menarik diamati. Tidak usah jauh-jauh, kanal politik dalam media kompasiana ini saja telah menjadi ‘gudang gula bagi semut-semut’ yang secara langsung merasakan tingginya euforia dari publik dalam menyongsong pesta demokrasi yang berlangsung dalam periode lima tahunan itu. Kita merayakan itu dengan tulisan-tulisan kita disni. Pada awal bulan April mendatang, pesta itu akan disuguhkan terlebih dahulu dengan ‘makanan pembuka’ untuk menyiapkan diri menyongsong ‘makanan utama’ lepas tengah tahun nanti. Walaupun masih terbilang memiliki waktu jeda cukup lama, tapi para calon maupun bakal calon yang mengincar kursi RI-1 telah melakukan ancang-ancang, baik dengan tindakan nyata maupun yang bersifat siluman. Pergerakan yang tak kasat mata (underground) memang harus diakui lebih favorit untuk diterapkan, mengingat saat ini belum waktunya pelaksanaan kampanye untuk para calon. Selain itu, kampanye terselubung memungkinkan salah satu pihak untuk melakukan penetrasi strategi tanpa bisa dibaca oleh pihak yang dianggap saingan.

Jual-beli politik seakan berlangsung dengan jumlah yang tak terhitung dalam medan frekuensi transaksi yang tidak nampak nyata. Lobi-lobi politik pun semakin gencar dilakukan antar komponen yang memang mengincar kedudukan setelah pesta demokrasi nanti berakhir. Para calon yang dipublikasikan oleh media sebagai orang yang baik, belum tentu dia memang baik. Sebaliknya calon yang selalu dicitrakan negatif oleh awak media, belum

Pemuda, Pembangunan, dan Kemerdekaan

Potensi Pemuda Sang Proklamator, Soekarno, begitu menekankan pentingnya peran pemuda. Ungkapannya yang biasa diulang oleh kita sekarang “ ...