Kamis, 08 Mei 2014

Sang Zombigaret Pengkhianat Kepercayaan Istri

Sore ini langit berhiaskan awan kelabu, mendung merajai suasana duka. Wajah-wajah suram sedang berdiri menatap sepasang nisan dan tanah gembur yang baru saja ditimbun di pemakaman umum kampung kami. Aku mengenali dua wanita yang masih tetap bergeming, tidak beranjak dari sini, sementara orang-orang sudah pulang satu persatu dengan teratur. Mereka berdua istri dan ibuku, dua wanita yang paling kusayang di dunia. Siapa yang mereka tangisi? Aku coba memanggil mereka, kusentuh pundak istriku, namun tidak ada respon sama sekali. Aku ganti meraih tangan ibuku, beliau juga tidak menoleh sedikit pun. Aku ingin mengajak mereka pulang. Melihat mereka seperti itu, aku pun ikut memperhatikan kuburan itu. Aku terkejut bukan kepalang, namaku tertulis jelas di permukaan batu nisan, tanggalnya pun menunjukkan waktu hari ini! Ternyata aku telah meninggal. Kuburanku yang kini mereka tangisi. Gerimis mulai menitik menghajar debu-debu tanah pemakaman. Aku tidak merasakan dinginnya air hujan. Jadi benarlah bahwa aku sudah tidak di dunia lagi. Aku mulai merasakan takut yang luar biasa. Satu sisi aku mulai meraba apa gerangan yang telah terjadi sebelumnya.

*****

Nisrina Ayu Dewi, wanita anggun yang kunikahi tiga tahun yang lalu. Dia seorang perawat di sebuah rumah sakit swasta di kota kami. Perkenalanku dengannya berawal sejak aku memeriksakan diri ke rumah sakit. Saat itu aku mengeluh sering sesak napas. Nisrina-lah yang dengan sabar merawatku, sangat tenang menasehati agar aku mengurangi kebiasaan merokok. Aku sangat nyaman berada dekatnya, membagi cerita tentang kebiasaan merokok-ku. Aku merokok sejak SMA hingga kini usiaku beranjak kepala tiga. Nisrina pun setuju kunikahi dengan syarat aku harus berhenti merokok. Sebagai orang kesehatan, dia paham betul ancaman dari benda yang bernama rokok. Dia tidak ingin rumah tangga kami nanti harus
menanggung dampak yang mematikan. Aku menyetujui syarat darinya. Dia sangat senang mendengarnya. Setelah menikah dia benar-benar menerapkan pola hidup sehat untukku; menyediakan buah-buahan, susu, dan makanan bergizi lainnya. Harus kuakui aku jadi jarang merokok, walaupun ketika stres di tempat kerja sesekali aku masih diam-diam menghisapnya.

Tahun ketiga pernikahan kami, saat Nisrina mengandung putera kedua, aku mendapat tugas belajar ke Kota Malang. Begitu berat meninggalkan dia yang sedang hamil, tapi dia merestui aku pergi demi karir yang lebih baik di kantor nantinya. Dia kutitipkan pada ibuku yang tinggal tidak jauh dari rumah kami. Sesampai di Malang, aku sering diajak teman-teman kuliah magister untuk adventure tiap akhir pekan. Kebiasaan merokokku tiba-tiba kambuh saat kami mendaki Gunung Semeru. Udara yang dingin di sekitar Ranu Kumbolo, semua teman membawa rokok, aku pun tidak bisa menghindar dari tawaran mereka. Benar ternyata, rokok bisa sedikit menghangatkan suasana disana.

Sehari setelah turun dari puncak Mahameru, aku langsung jatuh sakit. Demam menyerang disertai suara yang parau dan sesak napas yang menjadi-jadi. Aku tidak masuk kampus dua hari, terus berselimut di dalam kamar kos. Makan tak enak, tidur tak nyenyak, berbicara pun tidak nyaman. Aku tidak ingin melaporkan ini pada istriku, takut dia khawatir. Malam harinya aku menyadari ada benjolan di area leher bagian dalam, sudah dua kali aku keluar-masuk toilet untuk memuntahkan cairan yang mengandung darah! Pagi harinya aku diantar oleh teman kos ke rumah sakit. Dokter melakukan foto rontgen. Diagnosanya sungguh membuat bulu kudukku berdiri. Ada benjolan kanker di leher dan sudah menyebar hingga ke paru-paru. Sepulang dari dokter, hal terakhir yang kuingat adalah aku menulis surat sebagai pesan terakhir untuk sang istri. Kertas surat itu yang kini sedang dipegang oleh istriku sambil menangis di atas pusaraku.

“Andai aku kelak dilahirkan kembali, tidak ingin rasanya mengenal rokok. Rokok membuatku hidup sebagai Zombigaret, yang selalu hidup segan mati pun tak mau. Aku ingin menyayangimu sebagai lelaki sehat. Aku ingin membesarkan anak-anak kita jauh dari bahaya asap rokok. Maafkan aku tidak bisa menjadi suami yang baik.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan meninggalkan komentar anda..
Pasti sangat membangun untuk perbaikan blog ini..

Pemuda, Pembangunan, dan Kemerdekaan

Potensi Pemuda Sang Proklamator, Soekarno, begitu menekankan pentingnya peran pemuda. Ungkapannya yang biasa diulang oleh kita sekarang “ ...