Kamis, 08 Mei 2014

Sang Zombigaret Pengkhianat Kepercayaan Istri

Sore ini langit berhiaskan awan kelabu, mendung merajai suasana duka. Wajah-wajah suram sedang berdiri menatap sepasang nisan dan tanah gembur yang baru saja ditimbun di pemakaman umum kampung kami. Aku mengenali dua wanita yang masih tetap bergeming, tidak beranjak dari sini, sementara orang-orang sudah pulang satu persatu dengan teratur. Mereka berdua istri dan ibuku, dua wanita yang paling kusayang di dunia. Siapa yang mereka tangisi? Aku coba memanggil mereka, kusentuh pundak istriku, namun tidak ada respon sama sekali. Aku ganti meraih tangan ibuku, beliau juga tidak menoleh sedikit pun. Aku ingin mengajak mereka pulang. Melihat mereka seperti itu, aku pun ikut memperhatikan kuburan itu. Aku terkejut bukan kepalang, namaku tertulis jelas di permukaan batu nisan, tanggalnya pun menunjukkan waktu hari ini! Ternyata aku telah meninggal. Kuburanku yang kini mereka tangisi. Gerimis mulai menitik menghajar debu-debu tanah pemakaman. Aku tidak merasakan dinginnya air hujan. Jadi benarlah bahwa aku sudah tidak di dunia lagi. Aku mulai merasakan takut yang luar biasa. Satu sisi aku mulai meraba apa gerangan yang telah terjadi sebelumnya.

*****

Nisrina Ayu Dewi, wanita anggun yang kunikahi tiga tahun yang lalu. Dia seorang perawat di sebuah rumah sakit swasta di kota kami. Perkenalanku dengannya berawal sejak aku memeriksakan diri ke rumah sakit. Saat itu aku mengeluh sering sesak napas. Nisrina-lah yang dengan sabar merawatku, sangat tenang menasehati agar aku mengurangi kebiasaan merokok. Aku sangat nyaman berada dekatnya, membagi cerita tentang kebiasaan merokok-ku. Aku merokok sejak SMA hingga kini usiaku beranjak kepala tiga. Nisrina pun setuju kunikahi dengan syarat aku harus berhenti merokok. Sebagai orang kesehatan, dia paham betul ancaman dari benda yang bernama rokok. Dia tidak ingin rumah tangga kami nanti harus

Minggu, 20 April 2014

Kebijakan Strategis Hutan, Akankah Berbuah Manis Kesejahteraan?


Pendahuluan

Kehidupan manusia telah diciptakan secara seimbang dalam tatanan ekosistem alam yang indah. Alam menyajikan perputaran siang dan malam, meregenerasi air dan panas bumi, membedakan lahan potensial dengan yang berbahaya untuk dikelola, bahkan menyeleksi perilaku baik dan buruk dari manusia. Keseimbangan itu akan tetap terjaga hingga manusia sendiri sebagai ‘makhluk utama’ di muka bumi ini merusaknya. Salah satu pondasi kelestarian alam hayati adalah tersedianya tumbuhan hijau secara memadai. Hal ini kemudian sangat erat kaitannya dengan eksistensi ekosistem hutan di ranah negeri kita tercinta. Hutan menjadi sebuah entitas penting dalam mendukung peri-kehidupan manusia berperadaban. Perlu terlebih dahulu kita sepakati bersama, bahwa pengertian hutan menurut konstitusi negara adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan (pengertian menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, kemudian digantikan dengan UU Nomor 19 tahun 2004). Lantas apa sebenarnya fungsi penting dari sebuah ekosistem hutan? Kumpulan pepohonan hijau dianugerahi fungsi untuk menjadi paru-paru bagi dunia, sumber penghasil oksigen yang melimpah. Hutan juga mampu menetralkan kondisi habitat hidup kita para manusia yang semakin tidak ramah lingkungan. Hutan mengurangi dampak asap kendaraan bermotor, pabrik, rokok, dan masih banyak lagi. Ketakutan manusia makin menjadi saat para pakar ilmu alam mengkampanyekan peningkatan Efek Rumah Kaca. Permasalahan berangsur mulai meluas, hingga membentuk sebuah kesadaran umum bahwa dampak dari keterlantaran hutan akan membawa ancaman serius bagi umat manusia.

Permasalahan yang terjadi tidak hanya sebatas pada bidang sains dan teknologi, namun secara simultan telah menyentuh ranah yang multi-bidang; ekonomi, sosial, budaya, hankam, hingga sisi geopolitis. Hutan Indonesia, dalam data yang dipaparkan oleh FWI (Forest Watch Indonesia), merupakan pemegang peringkat ketiga dunia sebagai wilayah yang terluas. Kekayaan alam yang bersumber dari hutan alam negeri ini sungguh sangat melimpah. Tidak mengherankan jika kemudian banyak pihak yang merasa berkepentingan terhadap wilayah hutan Indonesia. Sisi ekonomi menyangkut transaksi ekspor-impor maupun izin pengelolaan perusahaan domestik. Sisi sosial selalu terkait dengan tantangan mewujudkan hutan yang pengelolaannya berbasis masyarakat. Sisi budaya berkaitan dengan kehidupan dan bargaining position para etnis adat yang beragam dalam wilayah hutan. Sisi hankam (Ketahanan dan Keamanan) berbicara masalah resistensi negara dalam hal mencegah dan menanggulangi kejahatan oleh oknum dalam negeri maupun asing yang siap menggerogoti negara melalui eksploitasi hutan secara ilegal. Sedangkan sisi geopolitis menyangkut sebaran hutan di seluruh wilayah kita yang belum dimaksimalkan karena berbagai kepentingan dalam internal pemerintah yang belum saling mendukung.

Mengidentifikasi potensi serta permasalahan hutan sangat besar manfaatnya demi merumuskan langkah selanjutnya. Potensi membuat kita bisa mengagumi, sedangkan masalah dapat membuat kita waspada agar tidak berdampak buruk pada apa yang telah dikagumi. Berdasarkan paparan Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam Depatemen Kehutanan, beberapa potensi keanekaragaman hayati yang terkandung dalam tanah ibu pertiwi sangat membanggakan, seakan melengkapi kekayaan dari bidang-bidang yang lain; biodiversitas alam kita terdiri dari 515 spesies mamalia (urutan pertama dunia, 36% diantaranya bersifat endemik), 122 spesies kupu-kupu sayap burung (urutan pertama dunia, 44% diantaranya bersifat endemik), lebih dari 600 spesies reptil (urutan ketiga dunia), 1531 spesies burung (urutan keempat dunia, 28% diantaranya endemik), 270 spesies amfibi (urutan kelima dunia), 28000 tumbuhan berbunga (urutan ketujuh dunia). Betapa luar biasanya potensi-potensi itu jika kita ingin membayangkannya. Sebagian dari potensi itu terkandung di dalam setiap rimbunnya hutan kita. Ketika ekosistem hutan di negeri ini mengalami kerusakan, maka komponen yang ada di dalamnya pun akan bermasalah. Permasalahan yang sudah semakin biasa terjadi serta mengancam ekosistem hutan antara lain, penebangan liar, pembakaran, pembangunan kavling, hingga pencurian kayu dan spesies langka. Oleh karena itu, perlu kiranya dirumuskan berbagai kebijakan pro-lingkungan, pendukung kelestarian, serta tidak mengabaikan peningkatan kesejahteraan.

Ekonomi Versus Ekologi

Tantangan terberat dalam penyelenggaraan kebijakan terkait hutan di era modern saat ini adalah perbenturan kepentingan antara pelestarian lingkungan dengan peningkatan kesejahteraan di bidang ekonomi. Kenyataan itu kemudian mengerucutkan sebuah pertanyaan tentang mampukah pemerintah menyelaraskan kedua sisi mata uang tersebut dalam pengelolaan hutan? Para pemegang aliran konservatoris selalu mendengungkan langkah konservasi alam sebagai upaya utama yang harus dilakukan dalam menjaga keseimbangan alam, sedangkan para ekonom dan berbagai kalangan dunia usaha mengutamakan ukuran kuantitas hasil sebagai patokan keberhasilan pengelolaan. Padahal jika menilik paradigma baru yang semakin gencar disuarakan bahwa kedua lini tersebut bisa saja dilakukan seiring dan sejalan tanpa mengorbankan salah satunya. Menurut World Resource Institute, bahwa konservasi mengandung tiga unsur pokok; menyelamatkan keanekaragaman hayati, mempelajari keanekaragaman hayati, dan menggunakan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan dan seimbang. Jelas dari uraian tersebut dapat disepakati tentang penyatuan tiga kegiatan yang saling mendukung tercapainya hutan yang lestari sekaligus ekonomi yang mandiri.

Sudut Pandang Seorang Presiden

Memang tidak selamanya kita harus duduk di kursi jabatan tertinggi negeri ini untuk bisa membawa perubahan bagi hutan. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa kita hidup di bawah sebuah sistem yang mulai nampak keburukan-keburukannya, baik itu tentang sistem birokrasinya yang berbelit-belit, sumber daya manusia yang kurang mumpuni, hingga pada fenomena KKN yang seakan telah mendarah daging. Oleh karena itu, tentu akan lebih mudah jika saya mengandaikan diri sedang duduk dalam kursi kepemimpinan seorang presiden, dimana pucuk tertinggi kekuasaan pengelolaan sumber daya alam, termasuk hutan, ada di tangan saya. Saya membawahi menteri-menteri di kabinet, saya sejajar dengan dewan legislatif dalam hal bargaining power di ranah pembuatan peraturan, saya juga punya hak prerogatif dalam mendukung kebijakan yang saya cetuskan sendiri. Betapa menyenangkan jika kesempatan sebagai presiden itu saya gunakan untuk menelurkan ide pengembangan hutan.

Frame awal yang harus disatukan terlebih dahulu sebelum bersama-sama mengelola hutan adalah penyetaraan paradigma tadi. Pertama, kita harus menganggap (menganalogikan) hutan sebagai seorang kekasih. Ketika kita jatuh cinta pada seseorang, tentu kita akan sangat menyayanginya. Kita tidak ingin terjadi sesuatu padanya, baik itu lecet, luka bakar, tertusuk, atau mungkin dinodai kehormatannya oleh orang lain. Kedua, kesamaan tentang keselarasan pembangunan hutan demi ekologi dan ekonomi, sehingga tidak ada saling sikut dalam pergolakan kepentingan. Ketiga, pergantian presiden dan kabinet tidak harus mengganti pula segala peraturan dan strategi yang telah dijalankan oleh pemerintahan sebelumnya. Ada baiknya untuk terus beregenerasi tanpa harus bersegmentasi, melepas semua egosentrisme dan stigma negatif yang sering memandang rendah orang lain. Setelah ketiga hal itu terpenuhi, kita tinggal memperkuat aspek supremasi hukum dan penambahan beberapa gebrakan di ranah aplikasi nyata.

Kenapa saya mengatakan bahwa kita hanya tinggal memperkuat hukum dan juga langkah kongkrit? Bagaimana tidak, konstitusi negara ini sudah sangat banyak, sudah mengakomodasi semua lini pengelolaan kehutanan. Negara ini dapat dikatakan sudah terlalu banyak memendam peraturan, tanpa penerapan yang tepat di lapangan. Payung tertinggi konstitusi tentang sumber daya alam sudah jelas berasal dari pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi : “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat”. Konstitusi induk tersebut kemudian diturunkan pada Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, yang kemudian diperbarui beberapa poin hingga disahkan kembali melalui Undang-Undang Nomor 19 tahun 2004. Peraturan tersebut telah mengakomodasi segala aspek kehutanan, seperti perencanaan, pengelolaan, penelitian, pengembangan, pendidikan, penyuluhan, serta pengawasan. Ketika saatnya menjadi presiden, maka saya tinggal merumuskan langkah aplikatif turunan dari beberapa aspek tersebut.
  1. Kegiatan perencanaan bisa dilakukan dengan basis payung yang kuat. Disinilah fungsi RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) berperan besar. Jika RTRW telah diramu dalam sebuah dokumen inti yang baik, maka pedoman perencanaan wilayah, termasuk di dalamnya tercakup hutan sebagai zona kawasan lindung dan budidaya, akan berfungsi maksimal. Selama ini pembuatan RTRW masih jauh dari kesan ilmiah, masih banyak plagiatisme dengan menjiplak peraturan yang telah berlalu (RTRW ditinjau kembali setiap 5 tahun sekali). Pada RTRW itulah dasar penetapan luas ruang terbuka hijau (RTH) harus tidak kurang dari 30 persen dari luas satu satuan wilayah. Luas wilayah hutan tidak boleh kurang 30 persen dari luas daerah aliran sungai atau pulau dengan sebaran yang proporsional.
  2. Kegiatan pengelolaan bisa dilakukan dengan pemberian izin bagi setiap perseorangan atau pun lembaga swadaya masyarakat, lembaga milik pemerintah maupun swasta. Setiap para pengelola itu diberikan rambu-rambu yang ketat terkait insentif dan disinsentif dalam mengekplorasi hasil hutan. Ambang batas pengerukan hasil hutan harus jelas dan tegas. Selain itu perseorangan atau badan usaha tersebut wajib memberikan dana pengganti kerusakan alam atau pun dalam bentuk Coorporate Social Resposibility (CSR). Pengelolaan bisa dilakukan hanya pada hutan yang bukan cagar alam atau zona inti, itu pun dengan prosedur yang jelas.
  3. Kegiatan penelitian dan pengembangan bisa dilakukan dengan mengirimkan setiap ilmuwan yang konsen di bidang keanekaragaman hayati untuk lebih banyak hidup di hutan. Para ilmuwan tersebut disediakan laboratorium sekaligus rumah di dalam hutan, biaya hidup mereka ditanggung oleh pemerintah dan donasi dari swasta. Selama ini para pihak akademisi seakan hanya meneliti hutan dari jauh, hanya sesekali meninjau lokasi, sehingga chemistry serta kecintaan terhadap hutan sangat minim. Jika dalam kawasan sebuah hutan terdapat masyarakat adat yang menetap, maka para ilmuwan bisa bekerja sama dengan mereka. 
  4. Kegiatan pendidikan dan penyuluhan bisa dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari pemberian beasiswa bagi peminat studi di bidang kehutanan, pemberian penyuluhan kepada seluruh stakeholders tentang pentingnya sinergi pengelolaan bersama hutan, pemberian reward yang tinggi kepada para peneliti yang berdedikasi dalam memberikan pencerahan untuk kebaikan hutan Indonesia. Jadi, pemerintah tidak hanya beretorika semata, tapi memberikan bantuan nyata, agar setiap insan akademisi merasa dihargai adanya.
  5. Kegiatan pengawasan dapat diterapkan lebih intensif dari sebelumnya. Pengawasan ini menyangkut keselamatan segala biodiversitas dari ‘pencuri dan perampas harga diri hutan’ yang makin membabi buta. Pemantauan lewat satelit terhadap hutan harus lebih dilakukan secara terpadu dengan bekerjasama dengan Badan Inteligen Negara (BIN). Selain itu, pemerintah dapat menyebar CCTV di beberapa penjuru hutan, pemantauannya disinergikan dengan ilmuwan yang menginap di laboratorium hutan tadi. Jadi, selain para ilmuwan, di laboratorium hutan juga sudah siap siaga para tim Rescue Khusus Hutan (RKH) yang menangani langsung masalah keamanan, satu jenjang diatas polisi hutan.
 Demikian uraian saya tentang kebijakan strategis terkait hutan, yang akan dijalankan jika saya diangkat menjadi presiden. Kebijakan tidak harus muluk-muluk dan utopianis, karena sesuatu yang kecil namun berguna itu jauh lebih bermakna. Pelaksanaannya pun bisa terealisasi secara sustainable. Pemerintah yang baik harus menjalankan konsep ekonomi dan ekologi agar berjalan seimbang dalam rel yang sejajar, agar kereta api pembangunan Indonesia bisa melaju dengan potensi keuntungan hakiki; melestarikan alam sekaligus mensejahterakan rakyat. Semoga walaupun belum menjadi presiden, saya bisa menelurkan semangat keseimbangan ini kepada generasi-generasi saya. Presiden Indonesia berikutnya jangan dipercaya sebagai tokoh yang berjiwa nasionalis, sebelum dia mencintai hutan dan melindungi segala yang ada di dalamnya.

Semakin Indonesia Baru, Semakin Rindu Masa Lalu




Sepak terjang subjek politik di tahun yang penuh dengan atmosfer politik ini memang sangat menarik diamati. Tidak usah jauh-jauh, kanal politik dalam media kompasiana ini saja telah menjadi ‘gudang gula bagi semut-semut’ yang secara langsung merasakan tingginya euforia dari publik dalam menyongsong pesta demokrasi yang berlangsung dalam periode lima tahunan itu. Kita merayakan itu dengan tulisan-tulisan kita disni. Pada awal bulan April mendatang, pesta itu akan disuguhkan terlebih dahulu dengan ‘makanan pembuka’ untuk menyiapkan diri menyongsong ‘makanan utama’ lepas tengah tahun nanti. Walaupun masih terbilang memiliki waktu jeda cukup lama, tapi para calon maupun bakal calon yang mengincar kursi RI-1 telah melakukan ancang-ancang, baik dengan tindakan nyata maupun yang bersifat siluman. Pergerakan yang tak kasat mata (underground) memang harus diakui lebih favorit untuk diterapkan, mengingat saat ini belum waktunya pelaksanaan kampanye untuk para calon. Selain itu, kampanye terselubung memungkinkan salah satu pihak untuk melakukan penetrasi strategi tanpa bisa dibaca oleh pihak yang dianggap saingan.

Jual-beli politik seakan berlangsung dengan jumlah yang tak terhitung dalam medan frekuensi transaksi yang tidak nampak nyata. Lobi-lobi politik pun semakin gencar dilakukan antar komponen yang memang mengincar kedudukan setelah pesta demokrasi nanti berakhir. Para calon yang dipublikasikan oleh media sebagai orang yang baik, belum tentu dia memang baik. Sebaliknya calon yang selalu dicitrakan negatif oleh awak media, belum

Makna ‘Specta’ Sebuah Tatap Muka

Manusia memang secara kodrati diciptakan sebagai makhluk sosial, Zoon Politicon (meminjam istilah filusuf Yunani, Aristoteles), mahluk mandiri (Muhammad Zuhri), makhluk berkelompok (Dr. Johannes G), makhluk yang saling berhubungan (Liturgis). Berdasarkan kenyataan tersebut, maka manusia selalu membutuhkan sebuah bantuan dari sesamanya untuk tetap bertahan hidup. Manusia boleh saja memiliki sifat egosentris yang tinggi, tapi tetap saja tidak bisa menepis fakta bahwa dia tetap bukan siapa-siapa tanpa manusia lain. Contoh kecilnya, seorang anak yang selalu membanggakan kekayaannya sebagai buah usahanya sendiri, padahal dia tidak bisa sesukses sekarang tanpa orang tua dan sanak famili. Manusia boleh saja merasa memliki derajat paling tinggi karena jabatannya, namun tetap tidak bisa menepis fakta bahwa dia dipilih dan makan dari hasil pajak rakyatnya. Masih banyak lagi fakta-fakta lain yang menguatkan kedudukan manusia sebagai makhuk sosial.
 
Pada ranah aplikasinya sehari-hari, akibat dari kebutuhan akan bantuan dari sesamanya, maka dari itu mereka perlu untuk bertemu dan bertatap muka. Banyak faktor yang mendukung terjadinya pertemuan sebagai awal dari proses tatap muka, antara lain kesamaan tujuan (rekreasi, relaksasi, edukasi, dll), kesamaan kondisi (stress, penat, marah, kecewa, sedih, dll), kesamaan waktu (luang, jeda, libur, hari raya, cuti, dll). Pada era yang saat ini telah berubah, teknologi komunikasi dan informasi yang berkembang pesat, lebih cepat dari laju panah yang ditembakkan dari busurnya, lebih lincah dari cheetah (hewan tercepat di dunia) yang mengejar mangsanya, maka interaksi manusia berupa tatap muka akhirnya tergantikan dengan hadirnya teknologi handphone, internet, televisi digital, dan lain sebagainya. Padahal dalam sebuah tatap muka mengandung makna spektakuler yang tidak

Sabtu, 22 Maret 2014

[PUISI] Setangkai Rindu untuk Ibu di Alam Baru


Kasih sayangmu ibu..
Tercurah penuh waktu..
Padaku sang anakmu..
Menguntai syahdu..
Semerdu lagu..

Ribuan laku sia-sia..
Bermodal nafsu dunia..
Mengiris hatimu terluka..
Meluka jiwamu durja..
Hilangkan senyum tawa..

Sakitmu meluruh ketegaran..
Jeritmu meruntuh keceriaan..
Terkulai lemas kau kesakitan..
Ruang medis tak meringankan..
‘Enyahlah kau sakit, sialan!’

Hancur lebur..
Ombak berdebur..
Mengalur..
Mengubur..
Harap tlah menjamur..

Maaf untuk ibu tercinta..
Kau tinggalkan aku putus asa..
Anakmu tak tahu balas jasa..
Kini, meronta pun ku tak bisa..
Hanya doa di atas nisanmu saja..

Terima kasih ibu terkasih..
Tiada aku ingin berdalih..
Hidup ini telah menyerpih..
Ku berusaha ntuk tidak tertatih..
Jalani nuansa kehidupan hitam dan putih..

[Syair dedikasi untuk sahabat yang ditinggal pergi sang ibu, semoga tetap tegar, yakin saja bahwa musibah itu sumber penghapusan dosa]

Ayah, Menyulap Benci Menjadi Cinta


Saya sudah melihat wajah ayah di dunia sejak saya dilahirkan seperempat abad yang lalu. Ayah saya orang yang tinggi, gempal, berkumis-jambang tebal, berambut ikal, tatapan matanya tajam. Beliau punya 3 orang anak, saya anak sulung. Pada awal kelahiran saya hingga berusia 3 tahun, saya beserta ayah dan ibu masih tinggal di rumah kakek. Saya saat itu belum berpikir bahwa tengah hidup menumpang di rumah bukan milik kami sendiri. Setelah usia masuk sekolah taman kanak-kanak, kami pindah ke rumah baru, rumah kami sendiri. Namun apa yang disebut rumah sendiri ini sangat memilukan, lahannya begitu luas mencapai 4 acre, tetapi rumahnya hanya terdiri dari bangunan 2 kamar berjajar seperti sebuah kost-kostan. Satu kamar dipakai untuk tidur, satu kamar lagi dibagi dua; setengahnya kamar mandi, setengahnya adalah dapur. Sebagai gambaran saja, bahwa perbandingan luas tanah dengan luas rumah kami waktu itu adalah 65% : 35%.

Ayah awalnya bekerja sebagai guru di Mandratsah Aliyah (setingkat SMA), mengajar mata pelajaran Bahasa Inggris, Arab, serta Al-Qur’an Hadits. Setelah lama menjadi guru, kemudian beliau diangkat menjadi kepala sekolah. Dianggap berhasil menjadi kepala sekolah, beliau kemudian dipromosikan lagi sebagai Kepala Departemen Agama di kota kami! Ketika itu saya sedang mengenyam pendidikan di bangku kelas XI. Saya sudah bisa memikirkan kembali apa yang telah terjadi dalam hidup kami, namun pikiran-pikiran itu semua berbau negatif.

Saya begitu jengah dengan hidup ini setelah saya mengerti bahwa kami bukan keluarga kaya dan berada seperti teman-teman lain. Rumah kami amat sederhana, tidak mencerminkan

Fotografer Asing Mual Lihat Pasar Tradisional Tomohon

Tidak mengherankan jika Indonesia digandrungi oleh para wisatawan dunia sebagai destinasi wisata. Kekayaan alam yang tiada tara, potensi keanekaragaman budaya yang luar biasa, serta peninggalan sejarah yang menyimpan sejuta romantisme masa lalu, menjadi daya tarik tersendiri bagi para pelancong. Wisatawan yang berkunjung ke Indonesia memiliki beragam tujuan, ada yang ingin menikmati pantai beserta terik mataharinya, ada yang datang untuk menikmati alam bawah laut, ada yang memiliki preferensi menguak misteri di balik situs-situs sejarah, ada pula yang gemar mengabadikan semua potensi dalam bentuk foto. Berbicara tentang foto, stok pemandangan yang ada di negara kita tidak akan pernah ada habisnya untuk diabadikan. Selalu ada tempat baru, objek baru, dan kondisi baru yang selalu menarik untuk diabadikan.

Salah seorang wisatawan asing asal Oman yang konsen di dunia fotografi, Raymond Walsh, secara langsung datang mengunjungi Pasar Tradisional Kota Tomohon, Sulawesi Utara. Dia awalnya datang ke Indonesia untuk menikmati seluruh keunikan yang ada di berbagai daerah dari balik lensa kualitas tinggi miliknya. Ketika dia mengunjugi pasar tersebut, betapa kagetnya dia terhadap pemandangan yang pertama kali dia saksikan seumur hidup. Wajah Walsh berada di antara takjub, bingung, dan ngeri. Betapa tidak, pasar itu mengahadirkan konsep dan konten berjualan yang amat berbeda dengan apa yang sering terbayang di pikirannya. Meja-meja besar di pasar tidak hanya diletakkan untuk sayur dan ikan saja, tetapi juga hewan-hewan yang tergolong hewan buas dan hewan peliharaan pun berjajar rapi diatas meja (monyet, tikus, kungkang, ular ukuran besar, hingga kucing). Walsh sesaat bergidik dan merasa mual serta pusing memandang setiap pemandangan dalam pasar. Dia begitu iba dengan beberapa hewan yang di negaranya merupakan hewan peliharaan kesayangan, seperti kucing dan anjing, namun justru disini kedua hewan tersebut malah diburu, dibunuh,

Pemuda, Pembangunan, dan Kemerdekaan

Potensi Pemuda Sang Proklamator, Soekarno, begitu menekankan pentingnya peran pemuda. Ungkapannya yang biasa diulang oleh kita sekarang “ ...