Kamis, 26 September 2013

DARI HATI UNTUK CINTA (Representasi Kisah Para Pelaku Cinta)



Ibarat laju aliran sungai, yang sebelum mencapai lautan tidak akan terhenti. Bagai alunan musik dari composer terkenal, tak akan lelah melantunkan nada merdu sebelum ajal menjemput. Seperti sang bintang yang terus bercahaya, sebelum sang rembulan datang menggantikan. Begitu pula perumpamaan cinta. Cinta tak akan terhenti sebelum munculnya titik jenuh yang membuat pelaku cinta berada pada kondisi serba salah. Cinta memang selalu indah pada pandangan pertama. Cinta layaknya sabun mandi yang harumnya di awal begitu menggoda, kemudian hilang di saat terakhir. Cinta tidak lain adalah secangkir kopi, yang jika tidak dibumbui dengan gula kehidupan, maka pahitnya begitu terasa.

Mungkin saja keindahan cinta yang hanya berlangsung di awal seperti itu ada hubungannya dengan sebuah teori dalam fisika, Rumus Tekanan. Tekanan sama dengan gaya dibagi luas bidang tekan. Jadi, semakin luas bidangnya dan semakin kecil gaya maka akan menghasilkan tekanan yang tinggi. Cinta yang dibingkai dengan luasnya egoisme dan gaya yang monoton, maka akan menyulut tekanan besar terhadap pelaku-pelaku cinta untuk lebih cepat berada pada kondisi serba salah.

Candu cinta yang semakin dalam justru membuat pelakunya banyak mempermasalahkan hal kecil untuk dibawa ke rapat umum harian. Bisa jadi ini karena suatu tanda bahwa topik pembicaraan sudah terlanjur habis. Mungkin juga banyak ranah kehidupan pribadi yang sudah diakuisisi untuk dijadikan lahan bersama, sehingga muncullah kalimat “ceritakan semuanya, tidak boleh ada dusta diantara kita”.
Banyak kalangan yang dengan bijak berkata bahwa wanita ingin dimengerti. Ungkapan itu bisa diyakini adalah sebuah ungkapan yang dipopulerkan oleh seorang wanita pula. Pada batas-batas tertentu, begitu indah untuk mengerti wanita. Tetapi apakah bisa terus indah jika cinta hanya mau dimengerti dalam kondisi sepihak? Cinta bukan untuk ‘aku’ atau ‘kamu’, tapi sangat indah diciptakan untuk ‘kita’. Pada lingkup sebagai manusia normal, pria dan wanita sama, punya otak, punya hati, pada satu titik akan sama ingin dimengerti.

Tidak pernah ada yang salah dengan ego, apabila perasaan itu tetap dipelihara dalam arah yang positif. Setiap manusia punya egosentrisme. Ego-lah yang membuat seorang pria ingin mendapat pekerjaan yang mapan sebelum memutuskan untuk menikah. Ego pula yang mengkondisikan seorang ayah untuk gengsi dalam menerima calon pria yang ingin mendekati anak wanitanya, karena seorang ayah tahu pahit manisnya perjuangan, getirnya dua buah sikap yang bernama tanggung jawab dan kepercayaan.

Dunia cinta terasa begitu luas sekali. Ada jutaan bahkan miliaran manusia mengirimkan pesan cinta pada orang yang dikasihi. Jejaring sosial sudah tak nampak lagi sebagai dunia maya, datang menggantikan peran secarik surat cinta yang dikirim melalui burung merpati putih, kadang pula pada sebuah botol tertutup yang pasrah untuk dibawa arus gelombang laut. Ribuan foto dikirim setiap menit, menggantikan pertemuan tatap muka yang penuh gelora. Kerinduan begitu cepat terpuaskan seiring dengan perkembangan zaman, kepuasan yang aneh.

Entah mana metode yang tepat, sebagian pelaku cinta ingin dengan buas mengumbar keromantisan tanpa ragu di depan publik, namun sebagian lagi begitu merasa romantis dengan perasaan yang hanya mereka bertiga dengan Tuhan yang tahu. Mana yang lebih baik? Setiap orang punya gaya nya masing-masing. Namun, ironi akan muncul saat ternyata perputaran waktu membawa pada perubahan pandangan tentang gaya itu sendiri. Akan ada saatnya cinta ingin ditampakkan, tetapi dengan cara yang lebih elegan, semata karena kebanggaan untuk menyebutkan “ini soulmateku, ini calon pasangan hidupku” kepada lingkungan sekitar. Pelaku cinta yang baik punya sejuta cara untuk membuat bunga-bunga layu karena cemburu, dedaunan meranggas karena terharu, dan angin sejenak berhenti oleh sebab iri pada kesejukan cintanya yang selalu baru.

Suatu saat cinta akan mengantarkan pelakunya pada titik keseriusan yang tidak biasa. Saat pelaku cinta telah mendapat apa yang dinamakan “chemistry melalui pasangannya, maka sudah menjadi kodrat hati untuk dipenuhi dengan keinginan membina rumah tangga. Namun, jika para pelaku cinta sudah sangat dipercaya oleh kedua orang tua sang kekasih jauh sebelum menikah maka ini bisa saja menjadi awal dilema besar. Ketika hubungan dua sejoli berada pada kondisi serba salah, maka ini yang selalu dikonfrontasikan. Alasan klasik yang menjadi birokrasi panjang untuk berhenti mencintai adalah kedekatan dengan orang tua kekasih. Bertahan menjadi alasan yang kontroversial dengan menutup mata dan hati dari apa yang sebenarnya dirasa. Sangat ironis sekali, jika alasan para pelaku cinta bertahan adalah karena orang tua. Sedikit banyak ini dapat diartikan keterpaksaan atau pun sandiwara tingkat dewa. Rasa sayang tinggal hanya di bibir saja, hati tak berucap selaras dengan lidah. Hal ini lah yang membuat pelaku cinta sangat susah merasa peka di sisa-sisa kehidupan percintaannya.  

Filosofi pencarian cinta tidak jauh berbeda dengan penemuan rezeki. Jika kita berjalan di sebuah lorong yang terang, di depan kita ada kepingan emas murni tergeletak begitu saja. Kita tidak akan melihat dan mendapatkannya ketika kita berjalan di lorong dengan kacamata hitam. Begitu pula dengan cinta, ketika jalan sudah terasa lurus dan terang, namun tetap saja cinta tidak bisa mengantarkan kita pada kemilau keindahannya jika hati kita masih ditutupi oleh ego dan rasa gengsi untuk saling membahagiakan sang kekasih. Cinta diciptakan untuk diungkapkan, bukan ditinggal dalam hati sebagai sampah abadi sebuah zaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan meninggalkan komentar anda..
Pasti sangat membangun untuk perbaikan blog ini..

Pemuda, Pembangunan, dan Kemerdekaan

Potensi Pemuda Sang Proklamator, Soekarno, begitu menekankan pentingnya peran pemuda. Ungkapannya yang biasa diulang oleh kita sekarang “ ...