Kamis, 05 September 2013

CERITA ORANG PASAR




Ada kisah menarik yang mewarnai hari jumat saya kemarin. Saya selalu percaya bahwa hari jumat adalah hari yang penuh berkah dan meneduhkan hati. Pagi hari pukul 07.30 wita, saya diminta oleh ibu untuk mengantarkannya berbelanja ke pasar. Kami cuma punya satu motor dinas di rumah, dan ibu tidak bisa mengendarai motor, jadilah saya yang mengantar beliau. Sesampai di pasar, ibu meminta saya untuk menunggunya hingga beliau selesai berbelanja, “ibu cuma sebentar kok, ditunggu disini saja ya” katanya. Saya kemudian mencari tempat yang teduh untuk memarkir motor.

Kondisi pasar tradisional memang tidak bisa terlepas dari kesan bau, kotor, berdebu, dan kumuh. Begitu kira-kira gambaran yang nampak sejauh mata saya memandang di pasar kota kecil saya ini. Hati selalu tersenyum jika melihat pemandangan seperti itu, ‘di pusat-pusat perbelanjaan barang mewah seperti swalayan dan mall, sangat banyak yang antusias untuk berburu barang mahal. Tapi tengoklah pasar tradisional ini, disini kebutuhan dasar untuk kehidupan sehari-hari dapat diperoleh! Kenapa selalu terkesan kotor dan jorok?’


Singkat cerita, di dekat tempat saya memarkir motor ada sekelompok pria usia setengah baya duduk kongkow-kongkow sambil menghisap rokok. Diantara mereka ada salah seorang yang sudah berusia 60-an tahun. Orang itu terlihat kontras dari pakaiannya yg sederhana (jika tidak ingin disebut lusuh), cara bicaranya lantang, tubuhnya kurus namun bisa terlihat sisa-sisa ketangguhan di usia mudanya dahulu. Bisa dibilang orang tua ini menjadi pusat perhatian dari kelompok tersebut.

Bapak tua ini ternyata sangat dikenal oleh orang seantero pasar tradisional. Setiap orang yang lewat hampir semuanya menyapa dia jika lewat pintu depan itu. Dari panggilan orang yang lewat, akhirnya saya tahu nama bapak ini adalah Bedo. Dia bekerja sebagai makelar ayam. Jadi setiap pagi dia sudah berada di portal masuk pasar, dia menunggu setiap orang yang masuk membawa ayam yang ingin dijual. Itu adalah pekerjaan satu-satunya saat ini untuk menghidupi keluarga.

Sejurus kemudian, saat saya sedang termenung menatap kepada mereka, ada suara handphone (Hp) dari dalam saku Pak Bedo. Lantas dia segera mengeluarkannya dari dalam saku celana, dan kemudian menghampiri saya. Dia berkata : “Nak, mata saya sudah rabun. Minta tolong bacakan SMS yang masuk di Hp saya”.

Setelah saya buka SMS di Hp lawasnya itu, dalam inboxnya tertulis bahwa seorang teman dari Pak Bedo ini ingin menjual ayamnya dengan harga yang di atas harga pasaran, temannya itu lagi butuh uang. Pak Bedo yang mendengar SMS yang saya bacakan kemudian tersenyum, dan mengalirlah dengan deras cerita dan keluh kesahnya tentang hidup: “asal modal bisa terus berputar, menyenangkan jika bisa membantu meringankan beban orang lain. Saya tidak berorientasi pada harta, hidup saya sejak zaman Soeharto dulu sudah biasa susah. Kami dahulu hidup hanya dengan mencari rumput dan jadi buruh. Celana cuma punya satu, kalo sobek terkena tangkai ilalang ya bisa sampai ditambal 5 kali tuh celana, jadi kalau jalan seperti ada yang nepuk-nepuk bokong. Tapi saya sempat dulu beli tanah di daerah gunung sana tahun 1982 luasnya 6 are harganya cuma 120 ribu. Itu saja sudah mahal sekali dengan kurs masa itu”.

Saya menatap dalam-dalam mata beliau yang sayu, topi lusuhnya yang sudah tak berbentuk, rambut berubannya sesekali dia garuk dengan mengankat topinya. Salut saya sama orang ini!

Pak Bedo kemudian melanjutkan kalimatnya : “saya anggap kalian generasi muda saat ini beruntung sekali, bisa hidup di zaman yang serba modern, nggak ada susahnya. Tapi tetap kalian memiliki sesuatu yang masih sangat kurang dari generasi kami dahulu, itu adalah dedikasi dan kerja keras. Kini kaum muda sering minta hal yang instan, nggak pernah belajar dari kisah hidup orang tuanya dahulu”.

Cerita Pak Bedo kemudian harus terputus bersamaan dengan munculnya ibu saya dari dalam pasar. Saya kenalkan ibu kepada beliau. Sambil menggaruk ubannya di balik topi, dia berikan nasehat terakhir sebelum saya memacu motor untuk pulang.

“Begini Nak, nggak perlu berpikir dahulu hal-hal yang muluk tentang Negara, ini ada orang tuamu untuk kamu abdikan diri. Jaga mereka dengan sepenuh hati. Toh, surga ada di telapak kaki ibu kan.”

Sejuk rasanya hati saya mendengar kisah dan nasehat dari orang tua seperti Pak Bedo. Biar bagaimana pun pengalaman adalah sesuatu yang sangat berharga dan tak dapat digantikan dengan uang berapa pun. Salam hormat saya bagi pejuang kehidupan di Pasar Tradisional. Saya lebih menghormati mereka dari pada pejabat-pejabat pemerintah yang hidup mewah dari uang hasil penipuan. :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan meninggalkan komentar anda..
Pasti sangat membangun untuk perbaikan blog ini..

Pemuda, Pembangunan, dan Kemerdekaan

Potensi Pemuda Sang Proklamator, Soekarno, begitu menekankan pentingnya peran pemuda. Ungkapannya yang biasa diulang oleh kita sekarang “ ...