Sabtu, 21 Desember 2013

Ibukota Itu Besar, Namun Angkuh (Cerita Perjalanan Jadi Narasumber Seminar di Jakarta) Chapter 2


“Perhatian! Sesaat lagi Anda akan memasuki Halte Senayan City. Periksa kembali barang-barang Anda, jangan sampai ada yang tertinggal. Harap hati-hati dalam melangkah dan jangan berebut.” Begitu biasanya suara peringatan otomatis dari speaker bus ketika akan memasuki halte tujuan. Aku segera mengencangkan tas di pundak untuk bersiap turun dari bus. Ada sebuah perasaan lega bisa sampai tujuan dengan berbagai kemungkinan tak diinginkan di daerah ibukota yang katanya kejam ini. Aku turun dengan langkah gontai, memperhatikan sejenak arah yang akan kutuju, dan kemudian bergegas menuruni halte itu. Aku menyusuri jembatan penyeberangan untuk sampai ke seberang selatan jalan. Disana kulihat hamparan hijau berbagai sarana olahraga, ada lapangan golf, ada lapangan untuk latihan sepakbola, dan puluhan hektar taman indah. Anugerah seperti ini yang ingin kulihat dari sebuah kota bernama Jakarta, hamparan ruang terbuka yang masih hijau di tengah kesemrawutan pembangunan yang semakin menjadi-jadi. Anugerah indah seperti ini yang masih memberikan sumbangan udara berkadar oksigen tinggi untuk penduduk kota. Anugerah seperti ini yang membuat para pemuda tidak akan berpikir untuk menghabiskan waktu di jalan dan menggelandang karena kekurangan wadah bermain. Anugerah seperti ini juga yang masih memberikan harapan bagi para masyarakat yang telah sepuh untuk menikmati masa tuanya dengan tenang. 



Lokasi pelaksanaan seminar berlangsung di Parkir Timur Senayan. Aku sempat mengeluarkan kesan underestimated tentang lokasi ini. Bagaimana bisa seminar berskala nasional yang diadakan oleh kementerian paling bergengsi di Indonesia hanya dilaksanakan di sebuah parkiran? Pikiranku seketika sirna demi menyaksikan sebuah desain ruangan luar (outdoor) yang mempesona. Sepanjang ratusan meter jalan menuju arah lokasi itu terbentang spanduk dan baliho yang sangat mewah. Aku serasa sedang berjalan diatas karpet merah kerajaan saat menyusurinya. Desain yang digunakan untuk acara ini tidak kalah mewah dengan resepsi acara pernikahan anak salah seorang menteri kita. Ruangan dibagi menjadi tiga bagian besar. Ruangan utama digunakan sebagai tempat presentasi. Ruang ini dibagi lagi dalam beberapa sekat sesuai dengan banyak tema yang dipresentasikan. Ruang kedua digunakan sebagai lokasi pameran foto dan desain proyek yang dilakukan oleh kementerian bersama partner kerja. Ruangan ketiga digunakan sebagai lokasi hiburan dan ramah tamah. Puluhan perwakilan menteri yang biasanya hanya kulihat dalam televisi nampak sedang berbincang-bincang sebelum acara dimulai. Apakah ini berarti aku salah satu yang akan mempresentasikan karya tulis di depan orang-orang penting tersebut? Tidak salah lagi. Hatiku berdetak lebih cepat ketika menyadari hal itu.

Tema karya tulisku terkait dengan Tata Ruang Dan Urban Design. Sekertaris Jenderal Penataan Ruang maju untuk melakukan presentasi pertama. Wawasan yang luas mewarnai apa yang beliau sampaikan. Para peserta seminar yang mayoritas berasal dari kalangan departemen pekerjaan umum, akademisi, dan para pejabat pemerintah yang mewakili tiap daerah sangat antusias untuk mendengarkan pemaparannya. Sesi tanya-jawab menjadi bagian yang menyenangkan bagi mereka. Kesempatan membawa aspirasi dari daerahnya masing-masing membuat sesi ini menjadi menarik. Tentu saja sangat banyak pertanyaan yang ditampung dan tidak bisa dijawab saat itu juga, disebabkan karena dibatasi oleh waktu. Pihak narasumber tetap membuka ruang untuk diskusi diluar forum tersebut terkait dengan masalah yang belum terjawab. 

“Berikutnya kita akan mendengarkan bersama paparan dari anak muda yang nampaknya masih segar, dia alumni dari Universitas Brawijaya. Dia akan mempresentasikan jurnal yang berjudul Penataan Taman Serasuba Kota Bima. Beri tepuk tangan untuk Mas Faqih Ashri, ST. Waktu dan tempat kami persilahkan”. 

Sambutan yang luar biasa aku dapatkan ketika aku beranjak dari belakang. Aku yakinkan diri bahwa ini merupakan momentum yang baik untuk mengembangkan diri, menampilkan apa yang aku pernah pelajari di depan para orang-orang hebat. Hati tak pernah berhenti berdoa agar Yang Maha Kuasa memberi kemudahan lisanku untuk berucap, akalku untuk cepat dalam berpikir, dan tindakanku agar terlihat alamiah dan tidak arogan. Aku memposisikan diriku -saat itu- sebagai insan yang paling awam, sehingga sangat terbuka untuk dimasuki oleh kritikan, cacian, dan tidak menutup kemungkinan untuk sebuah pujian. Tanggapan yang datang dari para peserta setelah aku menyelesaikan paparan sungguh sangat mengharukan. Para dosen yang berasal dari perguruan tinggi di Jakarta memberikan apresiasi, pertanyaan, dan juga masukan yang sangat membangun. Aku memiliki modal yang potensial untuk di kemudian hari bisa mengembangkan penelitian ke tahap yang lebih lanjut, begitu kata mereka. Aku menerima sertifikat narasumber dari panitia. Alhamdulillah. Setelah acara selesai, aku sempatkan diri berkenalan dan berbincang dengan beberapa peserta seminar yang berasal dari Makassar, Bandung, dan Jogjakarta.

Perjalanan pulang dari tempat seminar tidak pernah semudah yang aku bayangkan. Saat itu jam telah menunjukkan pukul lima sore. Aku pelankan langkah kakiku dari parkiran senayan menuju halte busway, seraya kunikmati udara sore hari dan mentari yang segera berlabuh ke peristirahatannya. Aku naik busway di halte pertama, penumpang yang mengantri sudah sangat banyak. Aku masih mendapatkan tempat untuk berdiri, walau nafas rasanya hampir habis di dalam bus. Pemandangan di halte kedua membuatku ingin muntah. Bagaimana bisa dengan kondisi badan yang sedang lemas karena seharian penuh mengikuti seminar, aku kemudian harus dihadapkan dengan antrian super panjang yang baru pertama kali aku lihat. Gerombolan manusia yang mengantri hampir sepanjang tujuh ratus meter kurasa. Jika saat itu aku adalah seorang wanita yang sedang hamil tua, maka bisa saja aku melahirkan di tengah manusia-manusia itu sebelum antrian itu berkurang setengahnya. Gila!

Aku menyerah setelah 30 menit menunggu menanti giliran, tidak satu pun busway yang mampir di halte itu untuk sekedar mengurangi beberapa orang yang mengantri. Aku putuskan keluar dari antrian, keluar dari halte, dan mencari kopaja yang lewat disitu. Aku tidak sendiri, beberapa orang pun ikut menyerah dan berdiri bersamaku di pinggir jalan raya. Mereka semua memegang handphone dan terdengar menghubungi keluarga mereka masing-masing agar bisa dijemput. Aku bagaimana? Temanku tak bisa diharapkan untuk datang menjemput. Dia pasti sedang terlelap sepulang dari pekerjaannya yang melelahkan, sekedar sepeda motor pun dia tak punya. Beberapa tukang ojek berteriak menawarkan jasa dari seberang jalan sana. Rasanya aku ingin segera memanggil mereka, otot dan persendian kaki sudah mulai terasa pegal. Seketika kubayangkan berbagai motif perampokan yang dilakukan tukang ojek di ibukota, aku sedikit mengurungkan niat. Waktu masih panjang, kopaja akan datang, keadaan belum mendesak untuk menggunakan ojek. Waktu telah berlalu 90 menit lamanya, tapi apa yang kutunggu tak kunjung datang. Kulambaikan tangan –bukan tanda menyerah- untuk menjawab tawaran dari abang tukang ojek yang makin malam teriakannya makin kencang menawarkan jasa. 

Aku dihampiri oleh pria setengah baya, usianya sekitar 56 tahun. Dia menawarkan harga 75 ribu rupiah untuk mengantarkan sampai ke Ragunan. What?? Itu biaya naik ojek atau naik kereta api? Aku berusaha protes. Aku hanya ingin naik motor itu jika harganya 50 ribu. Itu pun harga pertama dan terakhir yang ingin aku bayar untuk sebuah tumpangan ojek. Ketika nanti aku sudah sampai ke tujuan, aku berjanji tidak akan pernah menjerumuskan diri lagi ke dalam situasi seperti ini. Bapak tukang ojek itu akhirnya setuju dengan tawaranku, tapi tentu saja ada yang aneh. Dia tidak langsung meluncur untuk mengantarkanku, dia menawarkan lagi aku pada tukang ojek lain yang mau berangkat dengan bayaran segitu. Sialan, aku jadi merasa semacam barang di pelelangan. Emang gua cowok apa’an?? Begitu kalau orang Jakarta menyahut. 

Seorang bapak dengan umur lebih muda, sekitar 43 tahun, bersedia mengantar. Dia sangat banyak bercerita di dalam perjalanan. Dia mengisahkan tentang keluarga, pekerjaan, dan berbagai masalah lain ketika dia memutuskan pindah dari tanah kelahirannya. Jakarta itu kejam bagi orang-orang yang tidak mau berusaha. Semua pekerjaan asalkan halal perlu dilakukan untuk menjamin keberlangsungan hidup yang berkah. Ucapan bijak seketika meluncur deras dari mulut pria ini. Aku yakin dia sudah memahami pahit manis hidup di ibukota. Bagi mereka kota besar memang menyimpan banyak potensi kriminalisasi, tapi sekaligus menjadi tempat paling mudah mengais rezeki. Semua tersedia, tinggal digiatkan dengan usaha yang maksimal dan kreatif agar mampu lepas dari predikat miskin absolut atau pun kultural. Dia sempat menanyakan daerah asalku, keluarga, dan juga tujuan datang ke Jakarta. Saat aku diturunkan olehnya di depan terminal Ragunan, begitu lega rasanya. Tentu saja aku tidak merasa berat memberikan uang 50 ribu untuk pelayanan ramah yang pertama kali kurasakan sejak menginjak ibukota. Salut.

Sesaat setelah memasuki pintu kontrakkan, aku melihat teman-teman sedang bersantai sambil menonton televisi. Mereka tersenyum melihat wajah lelahku. Mereka tahu aku baru saja menjalani hari yang melelahkan. Mereka segera menawarkan kopi hangat untuk sekedar meredam emosi yang mungkin akan aku tumpahkan. 

“Bagaimana presentasinya Bro? Semoga semuanya tadi lancar ya” 

“Kalau presentasi sih lancar, tapi transportasinya yang nggak tahan” jawabku tidak berminat

“Aku lupa bilang ke kamu, Jakarta ini menyenangkan asalkan kita sudah tahu tren jam sibuknya kapan dan jam lowongnya kapan. Jadi bisa kita hindari tuh kemacetan”

“Tapi kalau semua orang berpikir untuk berjalan di jam yang nggak sibuk, bukannya sama saja?”

“Wah, nggak tahu lagi kalau seperti itu. Selama kami di Jakarta kami baik-baik saja”

“Kalian baik-baik saja karena kalian tinggal dekat kantor, kalian jarang jalan keluar kan”

“Iya juga sih.. Senayan aja baru tahu kemarin. Hahahaha”

Begitulah Jakarta. Banyak harapan tentang kesejahteraan yang diimpikan oleh jutaan orang yang melakukan urbanisasi kesana. Banyak pula kenyataan yang diceritakan tentang kejamnya ibukota dalam waktu yang bersamaan. Tentu tidak sedikit aspek yang harus dibenahi untuk daerah yang dulu bernama Batavia. Daerah basis perjuangan proklamator kemerdekaan Indonesia. Begitu nanti aku bekerja disana, aku ingin semua tetap baik-baik saja. Bahkan jika ide tentang pemindahan ibukota negara telah terwujud.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan meninggalkan komentar anda..
Pasti sangat membangun untuk perbaikan blog ini..

Pemuda, Pembangunan, dan Kemerdekaan

Potensi Pemuda Sang Proklamator, Soekarno, begitu menekankan pentingnya peran pemuda. Ungkapannya yang biasa diulang oleh kita sekarang “ ...