Senin, 12 September 2016

Ibrahim-Ismail, duet ayah dan anak yang tetap "kekinian"


Kita mungkin sering dengar nama cewek yang tiba-tiba nge-hits di jagad media, Jessica Kumala Wongso? Kita juga mungkin ikut terbawa perasaan saat melihat wajah seorang berkepala hampir gundul yang tersangkut isu dwi-kewarganegara-an, Archandra Tahar? Dan kita rela berkembang-kempis hidung menyaksikan para artis yang membagi kisah hidupnya sehari-sehari bersama anak-anaknya, seringkali kita sebut itu sebagai hiburan?

Berapa lama kisah mereka akan bertahan dalam benak kita? Seminggu? Sebulan? Setahun?
Bagi saya pribadi, channel televisi makin tidak berkenan di hati, kecuali acara sepakbola, MotoGP dan standup comedy..

Momen Hari Raya Idul Adha selalu memberi kesan yang mendalam. Terdapat kebersamaan, persaudaraan, solidaritas, dan tentu saja : senyuman. Bukan hanya karena ramai hewan kurban, tetapi juga karena banyak pelajaran..
Di hari yang suci ini, tidak perlu kita membuka layar televisi mencari hiburan. Inilah sebenarnya yang kita butuhkan sehari-hari; interaksi nyata, bertatap muka, jauh dari bayangan kehidupan artis di ibukota sana, berhenti sejenak mendengar isu-isu politik yang melelahkan, kita menikmati apa yang ada di depan mata, saling berucap syukur penuh makna..



Di atas jutaan mimbar shalat 'ied para khatib mensyiarkan kembali kisah inpirasi yang tak pernah lekang oleh waktu. Kisah yang walaupun telah berlalu sejak 2510 sebelum Hijriyah, tetapi masih dan makin segar di ingatan manusia.. Kisah yang tiada pernah bosan untuk dihayati, tak ada politisasi, tanpa drama pengalihan isu, atau bahkan tanpa pencitraan serta cari sensasi.. Kita mengelu-elukan kisahnya, Allah pun membanggakan dalam KitabNya : Kisah Nabi Ibrahim As bersama putranya Ismail As.

Pelajaran yang amat berarti bagi saya pribadi bahwa mereka berdua sangat akrab, saling pengertian, saling sadar posisi. Mereka soulmate dalam perjuangan menegakkan ajaran Allah.  Bayangkan setelah puluhan tahun Ibrahim belum dikaruniai anak, beliau terus berdoa tanpa kenal lelah : "Rabbi Hablii Minasshalihin.. Rabbi Hablii Minasshalihin.. Rabbi Hablii Minasshalihin"..

Saat khatib membacakan potongan doa Nabi Ibrahim tersebut, saya selalu merinding, nangis. Zaman sekarang, orang tua sudah banyak yang tidak peduli mau lahirkan anak shaleh atau tidak. Orang tua sudah banyak yang tak percaya kisah-kisah romantisme ayah dan anak era para Nabi. Apa itu kepedulian? Mungkin sudah gak ada artinya. Jadilah saat anak lahir, dia menjelma menjadi musuh bagi orang tua. Berita-berita tragis tentang perkelahian orang tua dan anak, ayah membunuh anak, anak membunuh ayah, anak diperkosa oleh ayah, dan masih banyak lagi. Andai, ini hanya berandai-andai sebagai perbandingan. Jika saja orang tua zaman sekarang yang bermimpi mendapat perintah menyembelih anaknya, kira-kira akan seperti apa tanggapan anak sekarang mendengar penjelasan orang tuanya?? Hmmmm..

Kekaguman saya kepada kisah Nabi Ibrahim dan Ismail selalu jadi inspirasi hidup yang kekal. Tidak perlu beliau berada di zaman yang sama, tidak perlu beliau tampil di televisi atau bioskop. Tidak perlu beliau nampang di media sosial.. Bagi saya beliau selalu jadi trend kekinian..

Salam dari kami generasi yang masih terus belajar mempedomani intisari hidup kalian.. Ibrahim As, Ismail As, dan Hajar Al-Qibhtiyah..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan meninggalkan komentar anda..
Pasti sangat membangun untuk perbaikan blog ini..

Pemuda, Pembangunan, dan Kemerdekaan

Potensi Pemuda Sang Proklamator, Soekarno, begitu menekankan pentingnya peran pemuda. Ungkapannya yang biasa diulang oleh kita sekarang “ ...