Nampaknya apa
yang dikatakan oleh sebagian orang memang benar adanya, bahwa hidup ini dinilai
berdasarkan apa yang pernah kita lihat. Pada tahun 2003, saat aku masih duduk
di Madrasah Tsanawiyah, pelajaran agama kurasa amat menarik sampai termanifestasikan
ke dalam perilaku sehari-hari. Contoh kecilnya saja, saking seringnya memakai
kopiah aku sampai lupa tidak memakai helm di saat ada razia lalu lintas. Selain
itu, bulu kaki ini panjang melambai karena sering menggunakan celana panjang. Suasana
berubah ketika aku akan masuk SLTA. Ayah begitu ‘ngebet’ memasukkan aku ke
sekolah agama (lagi), tetapi aku berhasil meyakinkan beliau bahwa atmosfer
persaingan di sekolah umum akan lebih terasa. Hatiku juga menambahkan : “yang
pasti cewek-ceweknya juga lebih terasa”. Nah, jadilah nilai-nilai keagamaan
yang telah dipupuk akhirnya kering kerontang akibat tidak disirami. Dunia baru
itu justru sangat menarik, ada sebuah dinamika. Banyak kontroversi, obsesi,
manipulasi, sampai harus pake dasi. Tidak ada rasa kaku seperti biasanya,
membuat hatiku merasa inilah duniaku. Disini aku “belajar” bolos melewati
tembok setinggi 2 meter, aku belajar trik mengambil rokok di kantong satpam
yang sedang tertidur di tempat duduknya, tak lupa juga aku pahami metode korupsi
uang OSIS untuk kegiatan-kegiatan yang saat ini baru kusadari sebagai hedonisme anak-anak alay.
Ketika usiaku merangkak naik menjadi 19 tahun (sebenarnya sih merangkak turun, karena kan berakhir di liang kubur), aku berhasil lolos seleksi regular universitas terkemuka di Jawa Timur. Orang tuaku begitu senang dan bangga. Walaupun tergolong tipe pembangkang, aku termasuk anak yang cerdas dan mudah bergaul. Lho, kenapa aku tahu? Karena memang ada yang pernah bilang seperti itu. Salah satunya adalah seorang cewek cantik, sebut saja namanya Bunga. Tenang saja, si Bunga ini tidak ada hubungannya dengan cerita, namanya hanya muncul sampai disini. Kembali pada kisah kelulusanku pada universitas negeri tadi. Setelah sekitar 1 bulan proses belajar-mengajar, aku tahu betapa beragamnya daerah asal teman-teman sekelasku. Tak lama berselang aku telah mendapatkan 2 cowok sebagai teman dekat. Ini bukan berarti aku homo, bukan juga karena temanku itu yang punya disorientasi seksual. Aku dekat dengan mereka karena kami punya visi yang sama. Kami sama-sama punya impian membangun daerah masing-masing usai kuliah. Dalam hal sifat dan perangai, kami berbeda karena notabene berasal dari daerah yang berbeda. Costa berasal dari daerah bagian timur Indonesia, Jono berasal dari daerah bagian barat, sedangkan aku sendiri datang dari daerah bagian tengah. Jadi nama kami sering tergantikan dengan Wita, Wib, dan Witeng. Orang melihat kami bertiga sebagai sebuah genk karena hampir tak terpisahkan, saling melengkapi, dan saling support.
Pernah suatu
ketika, saat malam minggu di hari libur tengah semester ketiga. Costa berangkat
ke rumah cewek yang baru 2 minggu dikenalnya lewat Facebook. Mereka belum
jadian, baru tahap pedekate. Setelah sekitar 30 menit duduk bersama cewek itu
di teras, tiba-tiba terdengar suara gemuruh puluhan motor besar Harley Davidson
mendekat ke arah mereka. Lelaki kekar paling depan memarkir motornya, dia
memanggil Costa dengan isyarat tangan.
“Orang itu siapa? Dia manggil saya kah?” tanya Costa
setengah berbisik.
“Jangan dengerin dia. Itu mantan pacarku” kata cewek
itu.
“Trus saya harus bilang WOW sambil masuk rumahmu
gitu?”
Costa berusaha percaya diri. Dia melangkah ke arah
kelompok yang sedari tadi mem-plototinya. Seraya melangkah, dia sempat mengirim
SMS pada 2 nomor berbeda dalam kontak handphone lawasnya.
“Ngapain kamu datang ke rumah ini? Kamu siapa?” Tanya
ketua genk yang kepalanya dibalut slayer merah.
“Saya hanya mengunjungi cewek yang saya suka. Tidak
ada hak Anda melarang saya” suara Costa bergetar.
Tak butuh waktu
lama bagi para anggota genk untuk mencerna kata-kata Costa. Dalam 5 menit leher
Costa sudah dicekik dan bersiap menerima hantaman rantai yang dililitkan di
telapan tangan. Tapi… Sejurus kemudian giliran para anggota genk motor yang
dikagetkan oleh suara gemuruh yang menuju ke arah mereka, bahkan 2 kali lebih
berisik dari suara motor mereka. Suara itu berasal dari puluhan mobil yang
terdiri dari berbagai jenis dan merk. Nampak oleh Costa 2 wajah yang tak asing
olehnya di dalam mobil paling depan. Senyum sumringah menghiasi wajah Costa,
sebaliknya seringai kecut yang muncul dari mimik para anggota genk motor. Siapa
pun pasti takut dengan rombongan mobil itu, tak terkecuali genk motor. Mereka
adalah anggota GENK MOBIL! Adalah Jono yang punya networking yang luas,
jadi bukan masalah besar baginya untuk mendatangkan preman dari aliran apa pun,
apalagi demi sahabat dekatnya. Pada akhirnya, para anggota genk motor harus
merelakan tubuhnya untuk menjadi bulan-bulanan. Malam itu perkelahian sama
sekali berjalan tak seimbang.
“Lain kali kalau nyari cewek ya dilihat dulu background-nya
dong Cos” aku coba menasehati.
“Apa masalahnya sih? Cinta itu tidak bisa
direncanakan. Dan yang paling penting, saya tak takut apa pun selama kalian
berdua ada” kami bertiga akhirnya berpelukan.
“Apa pun yang terjadi, kita tetap akan bersama” Jono
menambahkan.
Begitulah..
Waktu terus bergulir tanpa bisa dihentikan (kecuali jam dinding kampus lagi
kehabisan baterai). Tak terasa kami sudah semester 5. Persahabatan kami makin
erat. Semua jurusan sudah tahu tentang kami, Genk Tiga Serangkul. Tiga
mahasiswa yang disegani namun punya solidaritas tinggi serta kepedulian kelas
dewa. Costa sudah mantap dengan cewek mantan kekasih ketua genk motor, Jono
dijodohkan orang tuanya dengan santri solehah, sementara aku… asyik bercumbu
dengan bayangan yang tak tampak jasadnya. Bosan juga dengan kesendirian. Terus
digojloki sebagai seorang homo, sampai pernah dibilang impoten. Costa dan Jono
berusaha agar aku bisa segera punya pacar, termasuk dengan menggojloki aku
dengan anggota genk cewek di kelas. Awalnya kudekati yang namanya Tiwi, tetapi
dia beralasan bahwa aku orangnya sok ngatur, belum juga jadian. Setelah itu,
masih di genk yang sama, aku beralih pada Mona. Aku cukup lama pedekate
dengannya, tetapi setelah saldo ATM-ku habis baru terungkap bahwa dia tidak mau
pacaran dengan orang luar jawa. Miris sekali dengar isu SARA semacam itu di
tengah perasaan cinta. Terakhir aku mencoba banting setir mendekati si ketua
genk, namanya Santi. Dia begitu molek, tak berbulu (di bagian tertentu),
tinggi, dan humoris. Aku lebih serius lagi dengan dia. Aku sampai dikenalkan
pada ibunya. Masalahnya adalah ayahnya yang (tak) terhormat malah diam-diam
menjodohkannya dengan pria lain. Jadilah aku cenderung pendiam, garuk-garuk
tembok kamar kost, intensitas buang air kecil dengan sabun khusus meningkat
secara drastis.
“Sudahlah sobat.. Hati memang tak bisa dipaksakan”
Jono coba menenangkan.
“Kita ini genk
berpengaruh, tidak boleh patah hati. Cewek itu oasti butuh cowok, tapi untuk
saat ini mereka belum butuh kamu sobat. Positif Thinking lah sedikit”
Costa tiba-tiba muncul dari dalam botol. Ups, salah. Maksudnya dari balik pintu
kamar.
Begitulah kedua sahabatku, selalu ada saat aku punya masalah, seringkali tahu akan kebutuhan hati ini. Tak ingin aku terus larut dalam kegalauan, Costa dan Jono merencanakan adventure besar-besaran. Aku diajak mendaki Gunung Bromo, agar ketika sampai dipuncaknya aku dapat berteriak sepuasnya tentang gendutnya bokong Si Tiwi, baunya kaos kaki Si Mona, panjangnya bulu ketek Si Santi, dan masih banyak lagi aib lainnya. Biar gunung, awan, dan sunset yang jadi saksinya. Tiga hari setelah dari puncak Bromo, aku dipaksa ikut dalam wisata biologis, tepatnya di panti pijat plus-plus paling terkenal di Jawa Timur. Mereka beralasan agar aku dapat membuktikan bahwa aku memang pria sejati dan tidak impoten. Paling menggelikan melihat Costa lupa memakai kembali celana dalamnya saat keluar dari TKP. Seakan ingin melengkapi perjalanan itu, aku juga diajak berendam di pemandian air hangat. Kali ini mereka berdalih agar aku bisa lebih dewasa melihat dunia melalui “celah gunung”.
“Gimana pemandangannya sobat?” Tanya Costa saat kami
asyik berendam.
“Dunianya sih bagus, tapi gunungnya sudah pada
berusia lanjut bro. Sepertinya pernah meletus beberapa kali dan sudah nggak
aktif lagi” celetukku sekenanya yang diiringi gelak tawa mereka.
Kita tidak tahu apa yang terjadi besok, yang pasti nilai hidupku ditentukan oleh apa yang dilakoni saat ini. Tidak perlu mengharapkan kebahagiaan semu dari seorang pacar jika ternyata dengan persahabatan hidup bisa lebih ceria. Bukan masalah homo atau pun impoten, tetapi ini soal kebutuhan hati akan ketulusan. Spirit of Togetherness from Tiga Serangkul Gank.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan meninggalkan komentar anda..
Pasti sangat membangun untuk perbaikan blog ini..