Filosofi yang seringkali terdengar menyapa
telingaku sejak dahulu adalah bahwa setiap manusia diciptakan memiliki hati
agar dapat mencintai. Hal itu yang kemudian membawa lamunanku pada potongan
kisah hidup yang telah terangkai 13 tahun yang lalu. Aku adalah Faqih, anak
sulung dari tiga bersaudara. Kami hidup sebagai keluarga bahagia di sebuah kota
kecil di ujung timur Pulau Sumbawa, Kota Bima namanya. Ayahku seorang PNS yang
telah bergolongan 4A, sedangkan ibu hanya bekerja di rumah, padahal beliau
bergelar sarjana. Setelah dewasa baru aku tahu kisahnya. Beliau sebenarnya dulu
nyaris bekerja sebagai pegawai bank. Ayahku melarangnya untuk bekerja, dengan
berbagai pertimbangan tentunya.
Aku lulus dari Taman Kanak-Kanak (TK) di tahun 1999. Ibuku begitu antusias menerima ijazah kelulusanku. Ibu bertambah sumringah saat para guru tak henti-hentinya memujiku sebagai murid yang patut diteladani. Beberapa hari setelah kelulusan, aku didaftarkan ibu di SD yang cukup sederhana, sekolah itu berada dalam perkampungan. Selama dua tahun aku merasa tidak berkembang, mungkin karena guru-guru belum melihat potensiku, hanya saja teman-teman sekelas sangat mengasyikkan. Setiap ada perlombaan antar sekolah, aku selalu tidak diikutkan. Kadang kala aku merasa para guru di TK dahulu hanya membual tentang kecerdasanku.
Entah apa yang sedang direncanakan oleh
takdir, pada saat akan menginjak kelas III, ayah mendapat kepercayaan untuk
menjadi kepala sekolah di sebuah Madrasah Aliyah di desa. Desa tersebut
berjarak 2 jam perjalanan dari kota. Jadilah kami sekeluarga ikut pindah ke
desa, termasuk tempat sekolahku dan adik-adik. Kami diberikan sebuah rumah
dinas yang berdekatan dengan sekolahku yang baru. Aku cukup cepat beradaptasi
dengan lingkungan yang baru, walaupun awalnya memang terasa aneh. Misalnya saja
saat perkenalan pertamaku di kelas, teman-teman menyambut dengan penuh antusias
serta menghujani dengan berbagai pertanyaan. Lebih aneh lagi suasana di rumah,
kami merasa diperlakukan istimewa oleh para tetangga. Pernah suatu ketika ayah
pulang membawa video game (Nintendo) untuk kami. Ketika aku memainkannya,
tiba-tiba semua anak-anak tetangga berdatangan untuk menonton. Suasananya
persis seperti orang-orang yang antri sembako. Ternyata pada waktu itu Nintendo
termasuk barang mewah disana.
Suasana
persaingan di kelasku sekarang harus kuakui tidak seketat seperti di kota.
Prestasi kelas didominasi hanya oleh beberapa orang siswa laki-laki. Aku segera
mengenali mereka, ada 3 orang teman yang sangat berpengaruh di kelas, Aziz,
Fahri, dan Hafidz. Aziz adalah anak ulama besar yang sangat disegani di
kampung, Fahri anak dari saudagar kaya raya, sedangkan orang tua Hafidz dua-duanya
adalah guru di sekolah kami. Komposisi mereka bertiga ini selalu meraih tiga
besar dalam juara kelas, selalu diikutkan dalam berbagai lomba, dan juga
mendapat beasiswa prestasi. Belum genap setahun, aku sudah bisa bersaing dengan
Aziz dalam memperebutkan juara utama di kelas. Selain itu, aku menyisihkan
Hafidz dalam kelompok lomba antar sekolah, karena hanya tiga orang yang berhak
ikut. Kini aku, Aziz, dan Fahri yang
merajai lomba antar sekolah. Beasiswa prestasi pun aku kantongi.
Kisah
asmaraku dimulai saat duduk di kelas IV. Kepala sekolah membuat kebijakan yang
mengharuskan siswa laki-laki duduk berpasangan dengan siswa perempuan, agar
tidak ada lagi kegaduhan dalam kelas yang biasanya disebabkan oleh interaksi
siswa laki-laki. Sepertinya Pak Kepala Sekolah tidak menyadari bahwa akan ada
banyak cinta-cinta monyet yang bermunculan
akibat kebijakan itu. Aku dipasangkan dengan Diana. Hatiku tiba-tiba berdesir
tidak karuan. Gadis ini yang matanya selalu bertemu-pandang denganku, hanya
selalu melontar senyum tak pernah berkata. Dan hari ini aku harus duduk
bersebelahan dengannya. Mungkin jika gadis ini penampilannya biasa saja aku
tidak akan salah tingkah seperti ini. Diana tak lain adalah primadona sekolah,
kecantikannya selalu jadi buah bibir lelaki. Rambutnya hitam panjang terurai,
kulitnya cokelat sawo matang, bibirnya merah merekah bagai delima siap dipetik,
pakaiannya selalu modis walaupun sederhana, cocok dengan posturnya yang berisi.
“Hai Diana, senang bisa duduk bareng kamu..”
sapaku dengan gugup.
“Hmm.. Kamu tuh lucu..” Jawabnya dengan senyum
menawan.
Bagi
Diana mungkin jawabannya biasa saja, tetapi secara sadar otakku sibuk berputar
ratusan kali berusaha menerjemahkan makna di balik singkatnya jawaban itu. Apa
pun yang dirasakannya, yang jelas aku sekarang berubah lebih ceria, lebih
semangat untuk datang lebih pagi, menyiapkan diri agar tidak gugup lagi seraya
membersihkan debu yang mungkin menempel pada kursinya. Sungguh tepat sekali
kebijakan kepala sekolah, bisa menekan tingkat kegaduhan kelas. Tapi bagiku
sama saja, kini aku lebih fokus menatap senyuman Diana dari pada melirik papan tulis.
Selama
beberapa waktu lamanya, aku merasa tidak yakin jika Diana merasakan hal yang
sama denganku, dia tidak pernah banyak bicara, hanya tersenyum dan lebih banyak
mengangguk serta menggeleng. Sampai suatu saat, hari jum’at menjelang ujian
semester, untuk pertama kalinya aku bergidik dan sangat ketakutan menatap
Diana. Wajahnya pucat pasi, kantong matanya terlihat sangat hitam lebam.
“Diana, kamu kenapa?” kupelankan nada suara
agar tidak terdengar oleh guru.
“Ada apa Diana? Apa kamu sakit?” suaraku
tertahan melihat lelehan air matanya.
Mulut Diana bisa terbuka, tapi tidak ada suara
sama sekali yang keluar. Bulu romaku berdiri. Aku akhirnya melaporkan pada guru
di depan. Sesaat setelah itu, orang tua Diana datang dan membawanya pulang.
Aku tidak bisa
menjelaskan perasaanku, ketika beberapa jam
kemudian nama Diana disebut dalam pengumuman kematian di masjid. Dia telah
tiada sebelum aku tahu bagaimana perasaannya, sebelum dia tahu betapa aku
mengaguminya. Satu kampung serasa berduka. Kami mengantarnya hingga ke liang
kubur. Aku tak kuasa melihat guyuran tanah menutupi jasadnya. Aku duduk
termenung dan menangis di pojok kompleks pemakaman, jauh dari keramaian.
Setelah semua pelayat meninggalkan pemakaman, Fahri muncul di depanku.
“Qih, kamu lagi ngapain disini?” Tanya Fahri
dengan terburu-buru.
“Aku nggak sanggup aja liat Diana dikubur..”
jawabku.
“Oh iya, kamu dicariin sama ibunya Diana. Beliau
menunggu di depan nisannya Diana..”
“Lho, ada apa ya, kok aku dipanggil?” aku
bingung bercampur khawatir.
“Sudahlah.. Kamu temui aja dulu beliau. Ntar juga
kamu tahu..”
Aku
berjalan menuju kuburannya Diana, dari kejauhan aku melihat keluarga Diana masih
ada disana. Langkahku makin berat, ada semacam kekhawatiran mengisi relung
hati. Apa aku pernah berbuat salah pada Diana? Apa ada sesuatu yang kurang
berkenan?
“Maaf Bu, apa ibu mencari saya?”
“Kamu yang namanya Faqih ya? Anak baru yang
datang dari kota itu?”
“Benar Bu. Apa saya melakukan kesalahan?”
“Sama sekali tidak Nak. Sini duduklah di
samping ibu. Ada yang ingin ibu ceritakan padamu..” wajah beliau penuh dengan
air mata.
“Diana sangat mengagumimu Qih. Dia selalu
cerita tentangmu pada ibu setiap malam menjelang tidur. Dia cerita semua
tentang kegugupanmu saat berhadapan dengan seorang gadis, tentang kecerdasanmu,
dan juga bagaiamana ramainya kelas sejak kehadiranmu. Diana memang orangnya
pendiam, dia cenderung memendam apa yang dirasakannya. Jika kamu tahu dia
selama ini mengidap penyakit jantung yang sudah sangat parah, maka kamu akan
segera memahami arti penderitaan dalam kediamannya. Diana tidak pernah se-antusias
ini saat menceritakan tentang temannya. Dia selalu tersenyum malu apabila minta
izin pada ibu untuk menonton lomba cerdas cermat sekolah kalian, karena ibu
tahu dia ingin pergi mendukungmu. Dan suatu waktu, ibu lihat Diana menangis
sesenggukan di kamar. Ibu yang heran masuk menghampirinya. Dia tiba-tiba
memeluk ibu, kemudian bercerita bahwa dia baru saja menyaksikan pertandingan
sepakbola antar sekolah dan melihat Nak Faqih kesakitan dilanggar lawan. Dia
sangat mengkhawatirkan cederamu saat itu Qih”.
Akhirnya terungkap
semua apa yang selama ini menjadi pertanyaan sekaligus harapan hatiku tentang
Diana. Kudengarkan cerita ibunya dengan khusuk, tetapi mataku tak kuasa menahan
terjangan air mata, membuat nama DIANA FIRDAUSIYAH di atas batu nisan yang
kutatap sedari tadi menjadi kabur. Ada penyesalan yang amat dalam membanjiri
hatiku. Kenapa semua baru terang sekarang? Kenapa Diana menyembunyikan
semuanya? Kenapa aku dulu tidak cukup peka untuk menyadari perasaannya?
Entahlah, semua pertanyaan berkecamuk dalam batin, sangat menyiksa. Setelah
selesai bercerita, ibunya Diana memeluk erat tubuhku. Kami berjalan pulang
bersama.
Hari-hari yang
berlalu setelah kepergian Diana adalah ruang hampa penuh kegalauan bagiku. Aku
lebih suka berdiam diri di rumah. Kadang kegalauan makin menusuk ketika
pandangan kosongku dibuyarkan oleh becak bertuliskan Kutunggu Jandamu Diana.
Selain itu, ada lagi nama toko DIANA. Jujur aku belum bisa melupakan nama itu.
Senyumnya masih terus bertengger di sanubari. Aku kemudian baru bisa
melupakannya sedikit demi sedikit berkat kesibukanku dan teman-teman berlatih
untuk mengikuti lomba yang cukup bergengsi, Lomba Cerdas Cermat antar kecamatan
Kota dan Kabupaten. Sekolahku menjadi wakil tunggal kecamatan kami. Begitu
bangganya aku ketika di final kami bertemu dengan bekas sekolahku di kota dulu
beserta rombongan guru-gurunya. Setelah melalui pertarungan sengit, kami
berhasil memenangkan pialanya. Bekas guru-guruku dari kota tak lupa memberi
selamat dan memuji kekompakan tim sekolah kami. Ada kepuasan tersendiri yang
tertiup dari dalam hatiku. Setelah itu aku makin dipercaya oleh sekolah untuk
mengikuti lomba-lomba lain secara individu, seperti lomba mengarang, lomba
shalat, dan lomba adzan. Aku selalu pulang dengan membawa piala.
Oh iya, pasangan
dudukku di kelas sekarang digantikan oleh Rini. Dia anak kepala sekolah kami,
dari penampilannya bisa langsung dipastikan dia adalah anak yang begitu
dimanja, angkuh, dan tebang pilih dalam persahabatan. Dia selalu bergaul sesama
anak orang kaya di kelas. Jadilah dia menjadi buah bibir karena
kekurangan-kekurangan itu, bukan karena kebaikannya. Apa pun yang dikatakannya
padaku selalu bernada sinis dan merendahkan. Satu hal yang membuat aku tak
membencinya bahkan ingin mengenalnya lebih jauh adalah karena kebaikan kepala
sekolah padaku. Beliau sudah menganggap aku sebagai anaknya sendiri. Setelah
beberapa bulan kami duduk bersama, aku coba melemparkan umpan padanya melalui seorang teman,
aku menyuruh teman itu (sebut saja Rijal)
untuk menyampaikan salam
pada Rini. Hatiku berkata tidak ingin mengulang kesalahan yang sama ketika dulu
aku terlalu lamban dalam mengungkapkan perasaan pada seorang gadis. Hal yang
kadang terasa menggelikan memang, aku menyampaikan salam ke gadis di sebelahku
tetapi lewat teman lain yang duduk jauh dari kami. Sehari kemudian Rijal datang
membawa jawaban dari Rini.
“Gimana Jal, titipan pesanku kemarin? Apa
balasannya?” tanyaku tak sabar.
“Nihil Qih. Rini itu sama sekali nggak ada
rasa ke kamu. Dia malah bilang nggak sudi kalau pacaran sama kamu, lihat mukamu
aja mual katanya” Rijal lengkap menjelaskan.
“Ooo.. Gitu ya Jal.. Makasih ya..” ada nada
kecewa dalam suaraku. Salah sasaran!!
Hal terbaik yang
ingin aku lakukan saat itu adalah melupakan obsesi semu untuk mendekati Rini,
percuma rasanya. Belum sempat hatiku melangkah menjauh dari Rini, aku didekati
oleh Hafidz suatu sore sepulang sekolah. Ukuran badan temanku yang satu ini
memang diatas rata-rata anak di kelas, jadi dia disegani dalam urusan adu otot.
“Heh, anak kota. Jangan belagu kamu! Pake
acara dekatin Rini lagi. Rini itu bagianku. Nggak usah dekatin dia kalau kamu masih mau
sekolah dengan tenang. Ingat, kamu cuma anak pendatang di kampung ini” suaranya lantang
menantang.
“Aku memang pendatang, nggak usah bawa-bawa
perbedaan desa dan kota. Ambil saja Rini-mu. Dia memang tidak ada hubungannya
denganku” balasku dengan
dingin.
Sebenarnya selama kejadian itu hatiku
tersenyum geli. Gertakan Hafidz membuatku semakin lega untuk menjauhi Rini yang
memang tidak menaruh rasa padaku. Selain itu, aku juga menyadari bahwa Hafidz
hanya mencari pelampiasan atas tersingkirnya dia dalam persaingan di kelas. That’s
point!
Tepat di saat aku akan naik kelas VI, ayahku dipindahtugaskan
lagi ke kota. Keluarga kami akhirnya pindah kembali ke rumah yang dulu, aku pun
melanjutkan sekolah di SD sederhana yang dulu. Kondisinya telah berubah,
guru-guru sudah mengenal aku sebagai siswa yang sangat berprestasi. Aku kini
dipercaya mewakili sekolah dalam berbagai ajang lomba.
Singkat
cerita, ketika aku telah menginjak kelas XII, teman-teman alumni SD di desa menghubungi nomor telepon rumahku. Mereka berencana mengadakan
reuni akbar, dan menunjukku sebagai ketua panitia. Aku langsung saja
menyetujuinya, sudah amat rindu aku pada desa itu sejak kutinggalkan selama 6 tahun. Acara reuni itu
berlangsung meriah. Setelah dilaksanakan di sekolah, kemudian dilanjutkan
dengan tamasya ke pantai terdekat. Satu jam sudah acara di pantai berlangsung,
aku sedang duduk bernostalgia dengan Aziz dan Fahri. Sejurus kemudian ada Dinda
yang datang menarik tanganku menjauh dari keramaian.
“Qih, aku pengen cerita tentang Rini..” kata
Dinda.
“Emank ada apa sama dia Din?” tanyaku setengah
heran.
“Rini sebenarnya sejak dulu sudah punya
perasaan sama kamu Qih. Tapi hanya ego-nya saja yang buat dia nggak
mengakuinya. Setelah kepindahanmu kembali ke kota dia bingung mencari tahu
kenapa kamu pindah. Dia meminta nomor telepon rumahmu, tetapi selalu takut
untuk menghubungi. Dia sudah terlanjur malu karena pernah nolak kamu dengan
kasar. Setelah semuanya itu, Rini sering gonta-ganti pacar, dia tak jarang
pacaran sama orang yang sudah punya istri. Rini sering dibawa entah kemana sama
pacar-pacarnya itu. Dia sering nggak pulang beberapa hari.” Dinda detail
menjelaskan.
“Astagfirullah.. Kok Rini bisa menyimpang
sejauh itu?” aku mengelus dada.
“Ehm.. ada yang lagi berduaan nih..” tiba-tiba
Rini muncul di depan kami.
“Nah, ini dia Rini. Kalau begitu aku tinggal kalian
berdua ya..” Dinda pun pergi.
“Dinda ngomong apa aja ke kamu?” selidik Rini.
“Ngomongin perubahan kamu, yang makin gila
dalam pacaran” jawabku sekenannya.
“Aku seperti itu karena memang aku gila
ditinggal sama kamu Qih. Aku benar-benar sayang sama kamu. Ayo Qih kita
pacaran. Peluk aku sekarang kalau kamu setuju” Rini langsung buas menyambar
tubuhku, berusaha memelukku.
Secara refleksku tampar pipinya hingga dia
terduduk di tanah, air matanya menetes.
“Perbaiki dulu dirimu Rin, kelak akan datang
pria yang lebih baik dariku untuk melamarmu. Jika kamu masih terus seperti ini
maka jangan berharap ada pria baik yang menghampirimu” saranku penuh simpati.
“Apa yang salah denganku? Aku begitu
mencintaimu, dan ingin kita berdua menyatukan cinta sekarang. Apa aku kotor
buatmu? Apa yang kau lihat dariku?” tanya Rini tegas.
“Aku pernah merasakan hal yang sama Rin, saat
aku menginginkanmu dahulu, aku ingin lebih dekat denganmu agar bisa memperbaiki
sifatmu, sebab teman-teman selalu melihatmu sebagai pribadi yang manja dan
angkuh. Tapi apa jawabanmu ketika itu? Keangkuhan lebih menguasaimu, hingga
kamu nggak rela jujur dengan perasaanmu sendiri. Sekarang aku telah mendengar
semua kisah tentangmu, kamu semakin berubah ke arah yang negatif. Aku hanya
merasa makin tidak layak untuk dekat denganmu, sebab aku tidak mampu
memperbaiki orang yang sudah sangat rusak akhlaknya.”
“Siapa yang menceritakan fitnah itu? Kenapa
kamu percaya begitu saja dengan mereka? Apa kamu tidak mau menanyakan langsung
padaku?” Rini coba membela diri.
“Sudahlah Rin.. aku sudah punya banyak bukti,
bukan hanya satu orang yang mengatakan semua itu. Aku selalu menanyai kabarmu
lewat telepon pada teman-teman disini. Salah satu mantan pacarmu juga orang
tuanya tinggal di kota, jadi aku kenal baik dengannya. Dia bercerita banyak
tentangmu” aku ternsenyum sinis padanya.
Aku
berlari kencang menuju sepeda motor, meninggalkan Rini yang masih sedu sedan.
Kupacu dengan kencang motor menuju kampung. Aku ingin berziarah ke makam yang
sudah lama terlupakan, mengunjungi Diana-ku. Kumenangis di samping batu
nisan-nya. Hatiku berkata lembut, ternyata belum bisa ketemui cinta sejati
yang tulus mencintai seperti dirimu untukku, Diana. Semoga kau tenang
disana. Kalau kau rela tunggulah aku di pintu surga.
Hingga detik ini aku lulus dari perguruan
tinggi, 4 tahun sejak kudaratkan tamparan ke pipinya Rini, aku belum pernah
mengunjungi desa itu lagi. Aku hanya mendengar kabar gembira itu dari
teman-teman via Handphone, bahwa Rini saat ini sudah jauh berubah. Dia sudah
memakai jilbab panjang, pandai berorganisasi, hingga ada seorang ustadz asal Pulau Lombok yang ingin
melamarnya. Aku begitu riang mendengar kabar itu. Tak lupa pula teman-teman
menyampaikan salam dari ibunya Diana untukku. Ah, beliau ternyata selalu mengingatku
walaupun anaknya kini telah tiada dan aku telah pindah kembali ke kota. Semoga
saja Diana di alam sana juga selalu melihat dan mengingatku seperti ibunya yang
tak pernah lupa padaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan meninggalkan komentar anda..
Pasti sangat membangun untuk perbaikan blog ini..