Menurut Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Pemekaran Wilayah dapat diartikan
sebagai sebuah proses untuk membagi sebuah daerah administratif (daerah otonom)
yang sudah ada menjadi dua atau lebih daerah otonom baru. Sejak Indonesia
menerbitkan kebijakan otonomi daerah, maka sejak itu pula beberapa daerah
cenderung meminta untuk melakukan pemekaran wilayah. Peluang secara normatif
untuk melakukan pembentukan suatu daerah baru dapat dilaksanakan sepanjang mengikuti
prosedur dan mekanisme yang berlaku menurut peraturan yang telah tertulis. Pemerintah
telah melakukan langkah preventif dalam memberikan panduan bagi daerah-daerah
yang ingin memekarkan diri agar dalam pelaksanaannya terjadi keserasian,
kesepahaman, dan keteraturan, diantaranya dengan mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 129 tahun 2000 tentang Pengaturan Persyaratan Pembentukan dan
Kriteria Pemekaran, Pengahapusan, dan Penggabungan Daerah. Peraturan itu
mengamanatkan bahwa...
pembentukan suatu daerah otonomi baru dimungkinkan jika memenuhi syarat-syarat kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Pemekaran wilayah pada akhirnya akan membentuk daerah administrasi yang lebih kecil dari sebelumnya, yang memiliki beberapa keutamaan menurut Mutalib dalam skripsidisini.blogspot.com :
pembentukan suatu daerah otonomi baru dimungkinkan jika memenuhi syarat-syarat kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Pemekaran wilayah pada akhirnya akan membentuk daerah administrasi yang lebih kecil dari sebelumnya, yang memiliki beberapa keutamaan menurut Mutalib dalam skripsidisini.blogspot.com :
- Pelayanan lebih optimal, karena wilayah pelayanan relatif sempit
- Pemerintah lebih responsif karena lebih dekat dengan komunitas (masyarakat) yang dilayani
- Partisipasi masyarakat lebih meluas karena akses masyarakat yang relatif terbuka
- Konsolidasi masyarakat menjadi lebih mudah karena kedekatan institusi dengan masyarakat
- Pengawasan menjadi lebih mudah karena wilayah pengawasan relatif sempit
Nusa Tenggara Barat adalah
sebuah propinsi di Indonesia yang meliputi bagian barat Kepualauan Nusa
Tenggara. Dua pulau terbesar di wilayah NTB terdiri dari Pulau Lombok di bagian
barat dan Pulau Sumbawa, dengan Ibukota propinsi ini adalah Kota Mataram di
Pulau Lombok. Beberapa suku yang menurunkan penduduk NTB antara lain Suku
Sasak, Suku Sumbawa, dan Suku Bima (wikipedia.com). Propinsi Nusa
Tenggara Barat atau disingkat NTB, merupakan salah satu propinsi dari 33
propinsi di Indonesia. NTB semula dibentuk karena kesamaan budaya dan agama
setelah memisahkan diri dari Propinsi Sunda Kecil yang terdiri dari Bali, NTB,
dan Nusa Tenggara Timur pada tahun 1958. Selama ini Propinsi NTB meliputi dua
wilayah pulau besar yaitu Lombok dan Sumbawa. Pulau Lombok yang meliputi satu
kota dan tiga kabupaten luasnya 23,51 persen atau sepertiga dari luas pulau
Sumbawa dihuni oleh 2,93 juta jiwa sama dengan 70,65 persen penduduk NTB.
Kepadatannya 617,76 jiwa per kilometer persegi. Sedangkan pulau Sumbawa yang meliputi
satu kota dan empat kabupaten luasnya 76,49 persen dari luas NTB sama dengan
tiga kali pulau Lombok penduduknya 1,22 juta jiwa atau 29,35 persen yang
berarti kepadatannya 78,88 jiwa per kilometer persegi. (Sumber BPS NTB 2006)
Perbedaan level pembangunan
yang terjadi antara ibukota propinsi dengan daerah lain di sekitarnya pun
terlihat jelas pada wilayah NTB. Namun, kini dengan semangat otonomi daerah
maka kota dan kabupaten lain dalam wilayah NTB mulai berbenah dan mengenali
potensi daerah masing-masing dalam rangka dimanfaatkan demi meningkatkan
kesejahteraannya masing-masing. Peningkatan kesadaran setiap daerah terhadap
potensi serta cara pemanfaatannya menyebabkan timbulnya keinginan untuk mandiri
dalam hal pengelolaan daerah. Pemekaran wilayah akan memberikan perubahan yang
jelas terhadap ekonomi daerah, sebab pemerintah daerah akan diberikan
kesempatan untuk mengelola sumber dayanya sendiri, dan hasilnya digunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran daerah sendiri. Meningkatnya kesadaran Pulau
Sumbawa atas potensinya selain menyangkut potensi ekonomi juga terkait dengan
isu perang dingin antar suku yang terjadi antara Suku Lombok dengan Suku
Sumbawa dan Suku Bima.
Pengembangan wilayah
bertujuan agar memperkecil kesenjangan pertumbuhan dan ketimpangan antar
wilayah. Jika terjadi kesenjangan atau ketimpangan pertumbuhan ekonomi antar
wilayah akan membawa pada tidak tercapainya tujuan pembangunan nasional secara
menyeluruh. Menurut Purnomosidi dalam Khairullah (2006), bahwa pengembangan
wilayah dimungkinkan karena adanya modal yang bertumpu pada pengembangan
sumberdaya manusia dan sumber daya alam, berlangsung secara kontinyu sehingga
menimbulkan arus barang sebagai salah satu gejala ekonomi antar daerah. Pada
konteks pengembangan wilayah, pendekatan dngan konsep ekonomi merupakan suatu
metode yang paling banyak digunakan, karena konsep ini megamanatkan pembangunan
pada sektor-sektor utama pada lokasi tertentu.
Konflik sosial ekonomi sangat
mungkin terjadi dalam rentang waktu sebelum hingga setelah proses pemekaran
wilayah. Beberapa aspek yang dapat mempengaruhi timbulnya konflik tersebut
antara lain kebijakan politis, batas administrasi, keanekaragaman sosial-budaya,
ketersediaan sumber daya alam. Berdasarkan aspek-aspek tersebut sehingga
Indonesia yang notabene merupakan Negara Kepulauan memiliki konflik kewilayahan
yang tinggi (Hermanto, 2007).
B.
PEMBAHASAN
Pemekaran wilayah pada
dasarnya merupakan upaya peningkatan kualitas dan intensitas pelayanan terhadap
masyarakat. Daerah yang akan dibentuk sangat perlu untuk memiliki basis sumber
daya yang seimbang antara satu dengan yang lain, sehingga tidak muncul
disparitas yang tinggi dalam perjalanan ke depannya (Khairullah, 2006). Jika
pemekaran wilayah kemudian hanya menimbulkan disparitas yang semakin tinggi
antar daerah, kemudian ditambah lagi dengan konflik horizontal yang menguat
akibat saling mempertahankan ego daerah, maka dapat dikatakan bahwa pemekaran
wilayah hanya akan menjatuhkan wilayah secara nasional.
Pada dasarnya, pemekaran
wilayah merupakan salah satu bentuk otonomi daerah dan merupakan salah satu hal
yang perlu diperhatikan karena dengan adanya pemekaran wilayah diharapkan dapat
lebih memaksimalkan pemerataan pembangunan daerah dan pengembangan wilayah.
Otonomi daerah lebih harus memperhatikan prinsip demokrasi yang dijunjung
bangsa ini, peran serta masyarakat (aspek partisipasi), pemerataan dan
keadilan, serta potensi keragaman daerah (www.skripsidisini.blogspot.com)
Wilayah Propinsi Nusa
Tenggara Barat (NTB) yang berpusat di Kota Mataram telah lama berdiri dalam
dukungan dua pulau besar, yaitu Lombok dan Sumbawa. Pulau Lombok yang terpisah
oleh sebuah selat dari Pulau Sumbawa mengalami kemajuan yang lebih pesat jika dilihat dari segi ketersediaan
infrastruktur, walaupun dalam faktanya di Pulau Lombok (terdiri dari Kabupaten
Lombok Timur, Tengah, Barat, dan Kota Mataram) juga terdapat kesenjangan yang
begitu mencolok. Kemajuan pesat hanya tampak pada Kabupaten Lombok Barat dan
Kota Mataram.
Kesenjangan wilayah yang
sangat nyata ini kemudian diimbangi dengan kesadaran Kota dan Kabupaten
Se-Pulau Sumbawa akan potensi dan juga cara pemanfaatan sumber daya yang
dimilikinya, sehingga secara perlahan Pulau Sumbawa dapat menunjukkan aspek
kemandirian dalam mengelola rumah tangganya sendiri. Sejak tahun 2002
pemerintah empat kabupaten dan kota internal Pulau Sumbawa telah membicarakan
upaya-upaya yang harus dipersiapkan dalam rangka pemekaran wilayah. Pada tahun
2006 kemudian kerjasama pemerintah Se-Pulau Sumbawa semakin serius dalam
persiapan, sehingga membentuk panitia khusus pemekaran daerah baru yang
dinamakan Propinsi Pulau Sumbawa (PPS). Ketua panitia pemekaran PPS adalah
mantan Gubernur NTB periode sebelumnya.
Proses persiapan Pulau Sumbawa untuk menjadi propinsi sendiri
dihiasi oleh berbagai permasalahan sosial politik yang tidak sederhana, antara
lain timbulnya pro-kontra di tengah masyarakat, perseteruan politis yang
membawa aspek kesukuan, hingga muncul kembalinya sinisme kesukuan yang dahulu
pernah muncul antara daerah di NTB. Pernyataan Mendagri Tahun 2001 bahwa
pihaknya telah menerima permintaan pemekaran wilayah dari 13 Propinsi, salah
satunya disebutkan Bima. Penyebutan daerah Bima sebagai pusat pemekaran
propinsi NTB membuat rakyat daerah Sumbawa Besar tidak terima, sehingga mereka
mengadakan pertemuan untuk memastikan bahwa jika kelak Propinsi Pulau Sumbawa
terbentuk maka ibukota propinsi harus jadi milik Sumbawa Besar. Permasalahan
itu sempat menyebabkan ketegangan yang berimbas pada perang dingin antar kedua
suku ini, hingga pada pertemuan antara pemerintah internal Pulau Sumbawa Tahun
2006 yang memutuskan menyerahkan kepada Sumbawa Besar sebagai calon ibukota
Propisni Pulau Sumbawa (PPS).
Jika ditinjau dari sisi
politis, persiapan panitia pemekaran PPS hingga tahun 2010 telah mantap.
Panitia telah mengantongi surat persetujuan hingga level Walikota dan Bupati,
sehingga saat ini tinggal menunggu persetujuan dari gubernur. Jikalau pun
berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 di atas, maka Pulau
Sumbawa telah siap dari segi kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya,
sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah.
Pemerintah Propinsi NTB dan
juga panitia persiapan PPS saat ini dihadapkan dengan banyak dukungan serta
kecaman dai berbagai pihak. Pihak yang pro (mendukung) usaha dari pembentukan
propinsi baru ini menyatakan bahwa jika tidak dimekarkan maka kesenjangan yang
terjadi akan semakin melebar dan juga hal itu akan memperlambat pembangunan
daerah lain selain ibukota propinsi. Sedangkan pihak yang kontra (menolak)
berargumen bahwa memekarkan wilayah hanya akan memperlemah kesatuan yang telah
lama dibina dan juga akan meningkatkan sentimen serta konflik antar daerah. Sebelum
itu ego antar suku telah nampak pada politik para pejabat di level propinsi.
Setiap gubernur terpilih yang berasal dari daerah atau pun suatu suku akan
cenderung memprioritaskan daerah asalnya dalam program pembangunan, sehingga
sangat sulit untuk dijumpai keadilan dan pemerataan pembangunan.
Niat baik serta kerja keras
panitia persiapan pemekaran PPS tinggal menunggu waktu saja dalam penerapannya.
Gubernur NTB saat ini pun telah menyetujui dan memberi lampu hijau dalam
pembentukan propinsi baru, namun gubernur harus menunda pemberian keputusan
tersebut karena harus menunggu hasil evaluasi dari semua daerah yang telah
mengalami pemekaran sebelumnya. Gubernur NTB sebagai orang nomor satu di level
propinsi sudah seharusnya mendengarkan berbagai aspirasi dari rakyatnya,
termasuk keinginan Pulau Sumbawa untuk memisahkan diri dari Propinsi NTB.
Ketika proses pemekaran itu usai, maka akan terbentuk dua propinsi dengan nama
berbeda, yaitu Propinsi Pulau Lombok dan Propinsi Pulau Sumbawa. Penolakan atau
pembatalan permintaan pemekaran diri malah akan membahayakan stabilitas
wilayah, sebab Pulau Sumbawa memutuskan untuk memisahkan diri dengan persiapan
yang matang dalam waktu yang tidak singkat, di samping itu juga Pulau Sumbawa
telah mempertimbangkan aspek kesiapan sumber daya sebagai salah satu syarat
pentingnya.
Pada tingkatan nasional
pemerintah tengah berusaha untuk menunda sekian banyak permintaan pemekaran
wilayah dalam rangka melakukan evaluasi besar terhadap tingkat efektivitas
jumlah daerah atau wilayah yang selama ini telah mengalami pemekaran. Menurut
penulis, kajian itu sangat penting mengingat sejak berlaku dan diterapkannya
otonomi daerah, masih banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan yang tidak
diharapkan, misalnya tidak efektifnya kinerja struktur pemerintahan daerah,
Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN), kesulitan dalam membiayai pembangunan
daerahnya, peningkatan perilaku atau tindak kejahatan, dan lain sebagainya.
Permasalahan-permasalahan ini jika dibiarkan berkembang terus tanpa dilakukan
evaluasi berkala, kemudian di sisi lain pemerintah lantas terus menerima
permintaan pemekaran wilayah dari daerah lain maka dapat dipastikan akan
terjadi ketidakteraturan, baik di level daerah maupun nasional. Dampak yang
paling signifikan terjadi adalah tidak tercapainya cita-cita pembangunan yang
dicanangkan oleh pemerintah pusat.
C.
PENUTUP
1.
Kesimpulan
a. Pemekaran wilayah sebagai
salah satu bentuk otonomi daerah memiliki beberapa manfaat secara politis dan
kepemerintahan, antara lain pelayanan lebih optimal karena wilayah pelayanan
relatif sempit, pemerintah lebih responsif karena lebih dekat dengan komunitas
(masyarakat) yang dilayani, partisipasi masyarakat lebih meluas karena akses
masyarakat yang relatif terbuka, konsolidasi masyarakat menjadi lebih mudah
karena kedekatan institusi dengan masyarakat, serta pengawasan menjadi lebih
mudah karena wilayah pengawasan relatif sempit
b.
Pemekaran Wilayah NTB menjadi
dua propinsi baru seharusnya disikapi dengan positif, sebab kesatuan pemerintah
kota dan kabupaten Se-Pulau Sumbawa telah menyiapkan proses ini sekitar 10
tahun yang lalu, dan juga mereka telah mempertimbangkan segala aspek yang mesti
dipersiapkan dalam rangka memekarkan diri sebagaimana yang diamanatkan oleh
Peraturan Pemerintah Nomor 129 tahun 2000 tentang Pengaturan Persyaratan
Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Pengahapusan, dan Penggabungan Daerah.
c.
Penolakan terhadap aspirasi
rakyat Pulau Sumbawa oleh pemerintah wilayah hanya akan mempertajam perpecahan
dan konflik yang telah terbentuk sebelumnya, sehingga saat ini kemantapan Pulau
Sumbawa untuk menjadi propinsi mandiri seharusnya diusahakan dengan memikirkan
tata cara pelaksanaan awal pemerintahan agar kelak tercapai starting point yang
baik.
d.
Upaya pemerintah dalam
menunda terlebih dahulu usaha pemekaran wilayah baru dalam rangka evaluasi
kinerja pemekaran wilayah sebelumnya patut diacungkan jempol, hal ini demi
perbaikan dan pedoman bagi pemekaran wilayah lain ke depannya.
2.
Saran
a.
Pemekaran Propinsi NTB
tinggal menunggu waktu, upaya yang perlu dilakukan adalah perbaikan internal
pemerintahan dalam Pulau Sumbawa, juga diimbangi dengan penyelesaian masalah
kesukuan.
b.
Pemekaran wilayah jangan
dijadikan alasan dalam pertikaian antar suku, dan jangan pernah jadikan sebagai
kesempatan untuk meraup keuntungan saat proses maupun kelak saat propinsi baru
terbentuk.
DAFTAR PUSTAKA
Strahm, Rudolf. 1983. Yang Berlimpah dan Yang Merana, Uraian
Ringkas Tentang Politik Pembangunan.
Jakarta: PT. Gramedia.
Arifin, Bustanul. 2001. Penglolaan Sumberdaya Alam Indonesia,
Perspektif Ekonomi, Etika, dan Praksis Kebijakan. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Harmantyo, Djoko. 2007. Pemekaran Wilayah dan Konflik Keruangan
Kebijakan Otonomi Daerah dan Implementasinya di Indonesia. Makara, Sains,
XI (1): 16-22.
Khairullah dan Cahyadin, Malik. 2006. Evaluasi Pemekaran Wilayah
di Indonesia Studi Kasus Kebupaten Lahat. Jurnal Ekonomi Pembangunan. XI
(3): 261-277.
Argama, Rizky. 2005. Pemberlakuan Otonomi Daerah dan Fenomena
Pemekaran Wilayah di Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia Press. http://argama.files.wordpress.com/2007/08/pemberlakuanotonomidaerahdanfenomenapemekaranwilayahdiindonesia.pdf (diakses
pada tanggal 19 September 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan meninggalkan komentar anda..
Pasti sangat membangun untuk perbaikan blog ini..