Judul diatas mengacu pada kejadian baru-baru ini yang sempat diliput oleh media massa di kampus Universitas Brawijaya Malang. Beberapa mahasiswa semester menengah di kampus itu melakukan aksi protes terhadap kebijakan Uang Kuliah Tunggal (UKT), yang menurut mereka sangat mahal. Protes yang dilakukan oleh beberapa mahasiswa ini tergolong unik, yaitu dengan ‘menjajakan’ ginjal mereka kepada siapa pun yang ingin membelinya. Uang yang diperoleh akan digunakan untuk membayar biaya kuliah. Usaha kelima orang mahasiswa ini mendapat tanggapan yang beragam dari banyak pihak, tidak jauh dari pro dan kontra.
Saya sebagai pemuda sekaligus salah satu alumni dari universitas yang sama, sempat mengikuti berita dari pers tentang kegiatan protes tersebut. Saya sama sekali tidak bingung untuk meletakkan hati pada pihak yang kontra dengan aktivitas yang menurut saya berbau kontroversi itu. Bagaimana tidak, saya merasa kita sebagai pemuda harus punya pemikiran luas di tengah kemungkinan dan peluang yang semakin bertambah di dunia ini.
Pertama, jika di ranah kampus ada yang namanya Dewan Mahasiswa, yang kita tahu tugas mereka adalah menggalang aspirasi dari ‘warga kampus’ yang telah memilih mereka. Jika kemudian ada beberapa mahasiswa yang sampai mau menjual ginjal buat biaya kuliah, lantas tugas Dewan Mahasiwa itu seperti apa?? Bukankah masih ada cara-cara diskusi dan mediasi yang lebih elegan dari pihak legislatif mahasiswa dengan petinggi-petinggi kampus untuk memutuskan nasib mahasiswa itu?
Kedua, saya mengutip wawancara yang dilakukan harian Merdeka tertanggal 21 Agustus 2013 kepada para mahasiswa yang ingin menjual ginjalnya. Saat ditanya tentang apa rencananya, salah satu dari mereka berkata “Memang ada keinginan jual ginjal, kalau benar-benar sudah tidak ada jalan keluar lagi”. Bukankah dari pernyataan itu SUDAH SANGAT JELAS? Mereka tidak serta merta merasa harus segera menjual ginjalnya. Mereka juga pasti punya rasa takut, bagaimana jika sehari setelah menjual ginjalnya sistem metabolism mereka tiba-tiba terhenti?
Ketiga, sangat banyak mereka yang mengaku diri sebagai aktivis kampus ramai mendukung usaha kelima mahasiswa ini untuk memprotes kebijakan kampus. Menurut mereka, itulah mental aktivis sejati, bukan sekedar mencari popularitas. Hei bung, saya cuma ingin mengatakan bahwa masih banyak jalan menuju Roma. Mati memang pasti terjadi, tapi mati konyol tanpa usaha alternative juga tidak elegan. Mahasiswa-mahasiswa yang mau menjual ginjal sendiri mengakui bahwa itu merupakan Plan terakhirnya (PLAN Z), jadi masih ada PLAN A-Y untuk dipertimbangkan terlebih dahulu. Jika manusia hidup dari dan untuk dirinya sendiri, maka silahkan saja segera jual ginjal. Metabolisme tubuhnya tiba-tiba besok terhenti, ya itu urusannya sendiri. Tapi ini masalahnya beda Bung, ada jutaan sel dan memori dalam otak, ada ratusan teman, ada ratusan keluarga! Selama semua itu masih ada, setiap alternative tetap mungkin.
Keempat, percaya nggak dengan cerita orang-orang sepuh dahulu yang punya anak sampai selusin, tetapi bisa menyekolahkan semuanya hingga selesai walaupun mereka orang tuanya hanya buka warung makan kecil-kecilan atau menjadi buruh bangunan?? Jika semua orang tua dahulu kala punya pikiran picik juga, apakah mereka harus membiayai kuliah anaknya dengan menjual ginjal, empedu, hati, jantung, atau nyawa? Apakah seperti itu??
Sebagai catatan akhir, saya ingin mengatakan bahwa secara pribadi saya salut dengan para aktivis, asalkan tidak mengarah pada ‘aktivitas’ yang kontroversial dan provokatif. Kita bangga menjadi mahasiswa, kita punya kecemerlangan seorang pemuda seperti yang diteriakkan oleh Bung Karno tempo dulu. Tapi perlu diingat, medan laga di depan mata sudah berbeda, lahan diskusi dan mediasi sudah dibuka selebar-lebarnya. Mari kita manfaatkan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Hidup PEMUDA!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan meninggalkan komentar anda..
Pasti sangat membangun untuk perbaikan blog ini..