Ibarat laju aliran sungai, yang sebelum mencapai lautan tidak akan terhenti. Bagai alunan musik dari composer terkenal, tak akan lelah melantunkan nada merdu sebelum ajal menjemput. Seperti sang bintang yang terus bercahaya, sebelum sang rembulan datang menggantikan. Begitu pula perumpamaan cinta. Cinta tak akan terhenti sebelum munculnya titik jenuh yang membuat pelaku cinta berada pada kondisi serba salah. Cinta memang selalu indah pada pandangan pertama. Cinta layaknya sabun mandi yang harumnya di awal begitu menggoda, kemudian hilang di saat terakhir. Cinta tidak lain adalah secangkir kopi, yang jika tidak dibumbui dengan gula kehidupan, maka pahitnya begitu terasa.
Mungkin
saja keindahan cinta yang hanya berlangsung di awal seperti itu ada hubungannya
dengan sebuah teori dalam fisika, Rumus Tekanan. Tekanan sama dengan gaya
dibagi luas bidang tekan. Jadi, semakin luas bidangnya dan semakin kecil gaya
maka akan menghasilkan tekanan yang tinggi. Cinta yang dibingkai dengan luasnya
egoisme dan gaya yang monoton, maka akan menyulut tekanan besar terhadap
pelaku-pelaku cinta untuk lebih cepat berada pada kondisi serba salah.
Candu
cinta yang semakin dalam justru membuat pelakunya banyak mempermasalahkan hal
kecil untuk dibawa ke rapat umum harian. Bisa jadi ini karena suatu tanda bahwa
topik pembicaraan sudah terlanjur habis. Mungkin juga banyak ranah kehidupan pribadi
yang sudah diakuisisi untuk dijadikan lahan bersama, sehingga muncullah kalimat
“ceritakan semuanya, tidak boleh ada dusta diantara kita”.
Banyak
kalangan yang dengan bijak berkata bahwa wanita ingin dimengerti. Ungkapan itu
bisa diyakini adalah sebuah ungkapan yang dipopulerkan oleh seorang wanita
pula. Pada batas-batas tertentu, begitu indah untuk mengerti wanita. Tetapi apakah
bisa terus indah jika cinta hanya mau dimengerti dalam kondisi sepihak? Cinta
bukan untuk ‘aku’ atau ‘kamu’, tapi sangat indah diciptakan untuk ‘kita’. Pada
lingkup sebagai manusia normal, pria dan wanita sama, punya otak, punya hati, pada
satu titik akan sama ingin dimengerti.
Tidak
pernah ada yang salah dengan ego, apabila perasaan itu tetap dipelihara dalam arah
yang positif. Setiap manusia punya egosentrisme. Ego-lah yang membuat seorang
pria ingin mendapat pekerjaan yang mapan sebelum memutuskan untuk menikah. Ego
pula yang mengkondisikan seorang ayah untuk gengsi dalam menerima calon pria
yang ingin mendekati anak wanitanya, karena seorang ayah tahu pahit manisnya
perjuangan, getirnya dua buah sikap yang bernama tanggung jawab dan kepercayaan.
Dunia
cinta terasa begitu luas sekali. Ada jutaan bahkan miliaran manusia mengirimkan
pesan cinta pada orang yang dikasihi. Jejaring sosial sudah tak nampak lagi
sebagai dunia maya, datang menggantikan peran secarik surat cinta yang dikirim
melalui burung merpati putih, kadang pula pada sebuah botol tertutup yang
pasrah untuk dibawa arus gelombang laut. Ribuan foto dikirim setiap menit,
menggantikan pertemuan tatap muka yang penuh gelora. Kerinduan begitu cepat
terpuaskan seiring dengan perkembangan zaman, kepuasan yang aneh.
Entah
mana metode yang tepat, sebagian pelaku cinta ingin dengan buas mengumbar
keromantisan tanpa ragu di depan publik, namun sebagian lagi begitu merasa romantis
dengan perasaan yang hanya mereka bertiga dengan Tuhan yang tahu. Mana yang
lebih baik? Setiap orang punya gaya nya masing-masing. Namun, ironi akan muncul
saat ternyata perputaran waktu membawa pada perubahan pandangan tentang gaya
itu sendiri. Akan ada saatnya cinta ingin ditampakkan, tetapi dengan cara yang
lebih elegan, semata karena kebanggaan untuk menyebutkan “ini soulmateku, ini calon
pasangan hidupku” kepada lingkungan sekitar. Pelaku cinta yang baik punya sejuta cara untuk membuat
bunga-bunga layu karena cemburu, dedaunan meranggas karena terharu, dan angin sejenak
berhenti oleh sebab iri pada kesejukan cintanya yang selalu baru.
Suatu
saat cinta akan mengantarkan pelakunya pada titik keseriusan yang tidak biasa.
Saat pelaku cinta telah mendapat apa yang dinamakan “chemistry”
melalui pasangannya, maka sudah menjadi kodrat hati untuk dipenuhi dengan keinginan
membina rumah tangga. Namun, jika para pelaku cinta sudah sangat dipercaya oleh
kedua orang tua sang kekasih jauh sebelum menikah maka ini bisa saja menjadi
awal dilema besar. Ketika hubungan dua sejoli berada pada kondisi serba salah,
maka ini yang selalu dikonfrontasikan. Alasan klasik yang menjadi birokrasi
panjang untuk berhenti mencintai adalah kedekatan dengan orang tua kekasih. Bertahan menjadi
alasan yang kontroversial dengan menutup mata dan hati dari apa yang sebenarnya
dirasa. Sangat ironis sekali, jika alasan para pelaku cinta bertahan adalah
karena orang tua. Sedikit banyak ini dapat diartikan keterpaksaan atau pun
sandiwara tingkat dewa. Rasa sayang tinggal hanya di bibir saja, hati tak
berucap selaras dengan lidah. Hal ini lah yang membuat pelaku cinta sangat susah merasa
peka di sisa-sisa kehidupan percintaannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan meninggalkan komentar anda..
Pasti sangat membangun untuk perbaikan blog ini..