Jumat, 06 Maret 2015

PELAJARAN DARI PERJALANAN KE DESA (Tuhan Masih Sayang Kita)


Saya berkunjung secara kontinyu ke sebuah desa di daerah Kabupaten, saya mendapati beberapa fenomena ‘menarik’ yang ada di dalam kehidupan masyarakatnya. Angka perceraian di usia muda cukup tinggi. Selain itu, yang lebih mencengangkan, disana para pemuda sudah tidak asing lagi dengan yang namanya melakukan hubungan di luar nikah!

Sungguh perut saya geli, serasa digelitik, melihat para pemuda usia sekolahan (sekitar 16-19 tahun) sudah menggendong anak. Satu sisi ada juga rasa empati karena saya menyadari betapa tegar mereka menjalani kehidupan yang sedemikian ‘tidak normal’ berdasarkan sudut pandang norma ketimuran. Ukuran badan mereka masih terlalu rapuh, masih sangat kecil untuk merasakan sakitnya prosesi kelahiran sebagai kompensasi kenikmatan sesaat yang pernah mereka lakukan di awal dahulu dengan sang pacar.

Desa ini berada cukup jauh dari keramaian serta aksesibilitas masih terbilang kurang memadai mengingat jauhnya lokasi desa dengan jalan arteri primer. Masyarakat harus menempuh satu setengah jam perjalanan normal untuk mencapai jalan utama kabupaten. Sekarang jalan menuju desa itu sudah lumayan bagus dengan aspal, dahulu kondisinya masih makaddam. Mayoritas masyarakat hidup dari hasil bertani dan berternak. Ada beberapa nama tokoh (yang kini sudah sepuh) berhasil keluar dari desa itu, kemudian terbilang sukses di tanah rantau. Namun perkembangan kehidupan masyarakat, terutama para pemuda di zaman modern ini, membuat suasana desa makin suram. Makin sedikit pemuda yang memiliki impian, makin sedikit pemuda yang berani menggantung mimpi di langit untuk sekedar membayangkan bagaimana rasanya sukses di usia tua. Sebaliknya, makin banyak pemuda yang sok menjadi ‘penguasa kampung’, semakin banyak pemuda yang berteman dengan miras dan judi, semakin banyak pemuda yang berani menggantung masa depan pacarnya dengan merampas kehormatan diri dan keluarganya.

Menurut sumber yang menceritakan ke saya, fenomena tersebut sudah terjadi sejak lama.
Namun makin masif dalam hitungan lima tahun terakhir. Sangat ironis ketika saya mendengar dan melihat langsung anak usia sekolahan disana yang sering bertengkar dengan ayahnya sendiri hingga saling baku-hantam; anak muda yang tidak malu lagi menenggak minuman keras di depan keluarganya sendiri; anak muda yang ‘membuka lahan baru’ di sawah dan kebun untuk melakukan hubungan gelap; anak muda yang membawa lari anak gadis desa sebelah karena sudah dihamili; gadis rupawan yang tiba-tiba terlihat pucat setelah menggugurkan bayi yang tak berdosa; sampai ada bayi yang gagal digugurkan dan ketika dewasa bayi tadi hidup dalam keadaan cacat fisik maupun mental. Na’udzubillah!

Kenapa dikatakan bahwa fenomena itu sudah berlangsung sejak lama? Setelah saya telisik, ternyata fenomena ini seakan telah mendarah daging, telah menjadi ‘gelindingan’ bola salju, telah menjadi semacam kebiasaan yang mengakar kuat bagai lingkaran setan dalam masyarakat desa itu. Para orang tua (tidak semua) dari para pemuda desa ini telah membangun dasar yang kuat bagi munculnya wabah negatif ini ke tubuh generasi-generasinya. Bagaimana tidak, selama ini para bapak-bapak disana tidak sedikit yang ketahuan selingkuh, kedapatan berjudi dan miras, hingga menghamili wanita lain. Mereka tidak segan dengan komentar yang berkembang di masyarakat. Mereka tidak puas dengan satu istri, ingin terus mencari pelampiasan nafsunya. Kini di hari tuanya, para bapak-bapak itu ada yang baru terungkap tentang berapa jumlah wanita yang pernah dia selingkuhi, berapa jumlah anak hasil hubungan gelapnya, berapa anak yang lahir normal serta berapa anak yang cacat karena percobaan pengguguran, dan masih banyak lagi. Tuhan punya cara tersendiri untuk membuka aib hambaNya yang menyimpang di dunia!

Nah, kalau akar masalahnya memang sudah ada sejak era para orang tuanya dahulu, pantas jika para anak dan keturunan akan meniru dan mencontoh apa yang dilakukan orang tua. Kata pepatah “buah kelapa tidak jatuh jauh dari pohonnya”, dan “Jika guru kencing berdiri, maka murid akan kencing berlari”. Bukankah begitu??

Melihat akar dari fenomena tersebut, dapat dikatakan bahwa : sangat banyak faktor yang mendukung lingkaran setan itu tetap berputar dan sangat sulit diputus. Pertama, faktor didikan orang tua. Kedua, faktor pendidikan sang anak. Ketiga, faktor aksesibilitas desa. Faktor tambahannya yaitu perhatian dari pemerintah.

Didikan dari orang tua memiliki makna penting dalam dinamika kehidupan bermasyarakat. Banyak referensi, baik dalam bidang psikologi atau ilmu sosial lainnya, yang menekankan pentingnya pendidikan berkarakter yang dimulai dari ranah keluarga (kedua orang tua). Sebelum anak dilepas ke pergaulan masyarakat luas, perlu diletakkan dahulu dasar-dasar pendidikan mental, moral, dan spiritual dari para orang tua. Banyak pemuda yang tetap tidak tergoda dengan pergaulan bebas oleh teman-temannya, salah satunya karena kuatnya dasar yang telah ditanamkan orang tua.

Pendidikan sang anak tidak kalah pentingnya. Banyak warga desa yang mengkambinghitamkan masalah ekonomi sehingga tidak menyekolahkan anaknya. Memang yang benar-benar miskin seperti itu ada, tapi lebih banyak lagi yang bermental “fakir”. Kenapa saya mengatakan demikian? Sebab, banyak mereka yang di desa itu punya uang untuk kredit motor, sewa peralatan buat acara syukuran, jalan-jalan kesana kemari, tapi uang untuk menyekolahkan anak tidak ada. Apa kata dunia? Simpan dulu gengsi untuk tidak memakai motor, tabung dulu uang yang mau digunakan untuk acara berbagai rupa, pendidikan anak jangan pernah disepelekan. Jika anak tumbuh dalam lingkungan yang ‘rusak’ tanpa dibiarkan keluar dari desa untuk menimba ilmu secara serius, maka tidak ada jaminan anak itu akan cerah masa depannya. Merantau itu berguna untuk mengerti budaya luar, luas pengalaman, lapang pengetahuan, sehingga tidak hidup seperti ‘katak dalam tempurung’. Anak muda yang pengangguran di desa itulah yang biasanya gampang diajak untuk berkelahi, gampang diajak demo, minum-minuman keras, dan lain-lain. Karena memang mereka “nggak ada kerjaan”, ibarat kompor gas bocor : disulut dikit langsung meledak!

Aksesibilitas desa dalam ilmu perencanaan kota, merupakan salah satu faktor kunci dalam pencapaian peradaban yang lebih efektif dan efisien. Lewat kemudahan aksesibilitas, arus barang dan jasa menjadi mudah; arus pertukaran informasi menjadi berkesinambungan; arus perjalanan manusia menjadi makin mudah dan menghemat waktu. Karena jika waktu di-uang-kan, maka kita akan mengerti betapa berharganya satu detik dalam hidup kita. Ketika akses keluar-masuk desa lancar, maka masyarakat tidak lagi menjadi katak dalam tempurung. Mereka bisa mengenal ‘dunia luar’ secara luas, wawasan terbuka, sehingga bisa diterapkan pula dalam skup desa mereka.

Perhatian dari pemerintah bisa berupa pendampingan dan fasilitasi berbagai kegiatan positif dalam rangka memperbaiki masalah dan dinamika sosial yang terjadi dalam masyarakat. Pendidikan Seks (Sex Education), Kegiatan pemuda, Konsultasi psikologis, dan lain sebagainya. Ketika masyarakat merasa diperhatikan, maka secara tidak langsung pemerintah sedang memberikan proses pendewasaan secara periodik.

Pada akhir tulisan ini, saya ingin mengatakan bahwa setiap kita adalah saudara. Ketika ada saudara kita yang menyimpang, maka kita perlu mengingatkan. Tentunya kita jangan malah terjerumus mengikuti mereka. Tulisan ini bukan untuk mengumbar aib sebagian orang, tapi untuk saling berbagi informasi tentang apa yang terjadi di sekitar kita. Mungkin saja fenomena ini juga terjadi di belahan daerah kita yang lain, saya tidak bisa meng-generalisasi. Saya hanya orang awam yang ingin peduli. :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan meninggalkan komentar anda..
Pasti sangat membangun untuk perbaikan blog ini..

Pemuda, Pembangunan, dan Kemerdekaan

Potensi Pemuda Sang Proklamator, Soekarno, begitu menekankan pentingnya peran pemuda. Ungkapannya yang biasa diulang oleh kita sekarang “ ...