Sudah banyak
kata-kata mutiara yang terungkap oleh para kalangan bijak untuk mengungkapkan filosofi
dari proses perubahan. Ya, dunia ini berubah! Gaya hidup, ukuran tubuh,
keuangan negara, teknologi, penguasa kerajaan, dan lain-lain; semua berubah.
Ungkapan paling keren tentang perubahan itu adalah “tidak ada yang tidak berubah di dunia ini, kecuali perubahan itu
sendiri”. Semua karena Tuhan menjamin bahwa salah satu ciri makhluk hidup
adalah dia bergerak, tumbuh, dan berkembang biak. Hanya dengan berubah kita
bisa mengimbangi perubahan, hanya dengan berubah kita bisa mensejajarkan diri
dengan keinginan alam dan juga amanat Tuhan.
Tentu saja, kita
semua punya impian dan harapan. Hidup bukan hanya untuk numpang makan, minum,
dan buang air, sambil menunggu datangnya panggilan untuk kembali kepada
Pencipta kita. Orang tua kita keras mendidik mulai dari rumah, kemudian
menyekolahkan di institusi pendidikan terbaik, lalu dengan berderai air mata
mereka melepas kita untuk melanjutkan studi ke luar daerah. Itu semua karena
apa? Karena mereka juga punya naluri untuk merubah anaknya. Ketika anaknya
berubah, mereka tahu bahwa nasib mereka juga akan berubah.
Jangan heran
ketika banyak para pakar ilmu sosial yang sangat menekankan pendidikan sebagai
salah satu faktor ‘perubah nasib’ yang paling penting. Di Indonesia, pendidikan
disebut sebagai sokoguru kemajuan peradaban sumber daya manusia. Pendidikan
merubah pola pikir, pendidikan merubah tingkah dan perilaku, pendidikan merubah
image seseorang, pendidikan memacu
persaingan menuju globalisasi di segala lini.
Pada akhirnya, background (latar belakang) pendidikan
kitalah yang sebagian besar mengisi pola pikir di dunia pekerjaan (pasca-kuliah).
Jika kita menemukan orang-orang yang getol menyuarakan perubahan, sering ikut
demo, menuntut kebijakan pemerintah; itu biasanya tidak jauh dari image seorang lulusan fakultas sosial
dan ilmu politik, serta fakultas hukum. Jika suatu saat kita menemukan orang
yang sangat lincah mengkritik kebijakan ekonomi, standby di depan layar televisi memandangi nilai saham dan valas,
pakai setelan baju ala eksekutif muda; itu biasanya para lulusan ekonomi
akuntansi, keuangan, bisnis perbankan, atau administrasi. Jika kita melihat
teman-teman yang dengan semangat memperhatikan konstruksi bangunan Lippo Group
atau Ciputra Group, senang hitung-hitungan struktur, sering merenung sambil
memandangi ukuran jembatan, sering mengkritik campuran aspal yang kurang bagus,
sering mengkritik kebijakan makro penerapan konsep kota dan wilayah; itulah dia
teman-teman kita dari fakultas sipil dan perencanaan. Ada lagi orang-orang yang
bawaannya bersifat bijaksana dan penyabar, senang memberi arahan, suka tampil
memberi pelajaran di depan umum; nah itu teman-teman dari fakultas keguruan.
Masih banyak lagi contoh-contoh lain yang tidak bisa saya sebutkan satu
persatu.
Poin penting
sekaligus fakta yang ada saat ini adalah bahwa ketersediaan tenaga kerja dalam
usia produktif tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang ada. Lantas
apa yang terjadi? Tentu saja munculnya kaum-kaum pengangguran yang tersebar di
berbagai pelosok nusantara. Nah, dengan kenyataan yang sudah seperti itu
adanya, maka pihak pemerintah dan swasta sebagai dua kubu sumber lowongan pekerjaan
akhirnya punya kebijakan masing-masing. Dua kubu ini kemudian sepakat untuk
memperbesar peluang para pencari kerja (jobseekers)
dengan memberikan beberapa kemudahan dalam persyaratan lamaran. Apa yang
dimaksud dengan kemudahan disini? Kemudahan itu adalah dengan kebijakan
penerimaan para pegawai dari jalur “semua jurusan”. Mau tidak mau, dengan
kebijakan ini maka akan banyak sekali pegawai yang akan bekerja tidak sesuai
dengan bidang yang dia geluti ketika perkuliahan dahulu! Pegawai yang akan
bekerja tentu bagaikan buah yang “belum matang”, sehingga perlu didikan atau
masa orientasi untuk bisa menyesuaikan diri dengan bidang kerja yang baru.
Misalnya :
perusahaan BUMD bernama “Faqih Persada Permai” membuka lowongan pekerjaan bagi
pria/wanita berusia 18-26 tahun dengan kriteria sebagai berikut : tinggi
minimal 160 cm, berbadan sehat (dibuktikan dengan keterangan rumah sakit
setempat), tidak buta warna, berasal dari semua jurusan perguruan tinggi dengan
akreditasi minimal B, nilai IPK minimal 3.00 (skala 1-4), bersedia ditempatkan
di seluruh cabang yang ada.
Jika ada
lowongan dengan kriteria umum seperti itu, maka dengan reputasi perusahaan BUMD
yang dipandang baik dan berpenghasilan tinggi, maka akan sangat banyak para
pencari kerja yang akan melamar. Ya, perusahaan-perusahaan elit saat ini sudah
tidak lagi menjadikan IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) sebagai satu-satunya
ukuran pegawai mereka. Itu artinya apa? IQ bukan hal yang harus didewakan lagi
seperti paradigma lama. Sikap, niat, penampilan, emosi, motivasi, dan
kecerdikan lebih dilihat sebagai aset penting bagi perusahaan untuk memajukan
mereka di persaingan global!
Nah, hal inilah
yang kemudian bisa menimbulkan apa yang saya istilahkan sebagai masa transisi
dalam judul tulisan ini. Bagi saya seorang yang notabene memiliki background jurusan perencanaan wilayah
dan kota (tata kota) yang tulen. Tulen ini dalam artian sejak zaman SMA dahulu
saya memang sudah memimpikan ingin masuk jurusan itu (kan banyak tuh,
teman-teman kita yang merasa “salah jurusan”). Kasus teman-teman merasa salah
jurusan/kesasar/masuk karena terpaksa di perguruan tinggi ini sedikit banyak
akan sama dengan kondisi dimana saya sebagai seorang alumni perencanaan wilayah
dan kota tapi akhirnya harus bekerja di dunia perbankan. Nyambung nggak tuh?? Saya yang dengan susah-susah, bergelimang air
mata dan keringat, berusaha membangun idealisme untuk membangun daerah sesuai
disiplin ilmu saya, namun akhirnya harus “terjerumus” dalam jalan yang berbeda.
Hingga kemudian
nasihat dan wejangan dari para arif bijaksana bisa meluluhkan hati saya.
Kuncinya adalah pola pikir kita sendiri. Ketika kita sudah berusaha untuk membangun
semua impian kita, dan akhirnya jalan itu masih belum terbuka, maka bukalah
jalan-jalan yang lain. Bagaikan aliran anak-anak sungai, jumlahnya banyak dan
berbagai macam, tapi akhirnya akan bermuara pada laut yang sama. Kalau kata
pepatah “banyak jalan menuju Roma”.
Kalau kata bondan prakoso : “ketika
mimpimu yang begitu indah tak pernah terwujud, ya sudahlah”. Kemudian
dimantapkan lagi oleh Mary Engelbreit : “jika kamu tidak menyukai sesuatu, maka
rubahlah. Tetapi jika kamu tidak bisa merubahnya, maka rubahlah caramu berpikir
tentang hal itu”. Nah, kalau sudah seperti itu, apa lagi yang harus
disesali? Cintai pekerjaan yang telah diberikan untuk kita, dari pada menuntut
pekerjaan yang belum pasti adanya. Karena cinta pada pekerjaan memuluskan niat
untuk ibadah. Masa transisi memang akan sedikit sulit, karena kita akan bermain
di antara ranah harapan dan kenyataan. Move
On mungkin istilah yang tepat untuk segera lepas dari masa transisi itu.
Selamat malam
bagi para pemuda yang masih merasa tidak cocok dengan pekerjaan yang baru. Sama
mantan aja bisa Move On, masa sama kerjaan nggak bisa? Pilih saja mau mencintai
yang sudah pasti ada, atau mencari yang belum tentu adanya,, Heuheu. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan meninggalkan komentar anda..
Pasti sangat membangun untuk perbaikan blog ini..