Jangan mengkritik orang bodoh, karena dia akan membencimu. Tapi kritiklah orang berakal, karena dia akan mencintaimu.. (Sayyidina Ali)
Setiap hari saya berpikir keras bagaimana caranya agar Kota Bima bisa
cukup ramah bagi generasi yang akan datang. Biarkan kita yang
menanggung panasnya terik matahari yang selalu menyengat lebih dari 35
derajat celcius setiap hari di musim panas. Biarkan kita yang menanggung
perguliran musim kemarau dan hujan yang semakin tak menentu. Biarkan
kita yang mengecap air bah (banjir) yang sudah tidak malu-malu lagi
merembes ke jalan raya, banjir yang sudah tidak segan memnghanyutkan
rumah-rumah kayu non-permanen milik penduduk.
Sesungguhnya
tiada sesuatu yang terjadi tanpa sebuah alasan, tiada aksi tanpa
reaksi, pun tiada yang kita tanam melainkan kita akan memetik hasilnya.
Dan hingga detik ini pun kita belum tersadar akan semua itu; apa dampak
dari deretan pohon rindang di pinggir jalan yang dibabat habis? Apa
dampak dari pegunungan hijau yang dibakar dengan ribuan alasan klise?
Apa dampak dari pembangunan komersial yang mengesampingkan daerah
resapan air? Apa dampak dari sampah rumah tangga yang dibuang dengan
egois di sepanjang daerah aliran sungai? Generasi kita perlu bertanggung
jawab atas apa yang disebut sebagai “nasi hampir menjadi bubur” tersebut.
Siapa
sih yang tidak merasa iri melihat perkembangan daerah-daerah yang
dipimpin oleh seorang walikota/bupati yang memiliki latar belakang ahli
perencanaan kota? Bu Risma (Walikota Surabaya), Ridwan Kamil (Walikota
Bandung), Fauzi Bowo (Mantan Gubernur DKI Jakarta), semuanya punya
sesuatu rekomendasi berbasis perencanaan kota yang matang. Malah kita
harusnya lebih untung, Kota Bima belum se-ruwet dan sepadat kota-kota
besar itu. Kalau bahasa gampangnya, belum apa-apa saja sudah seperti ini, apalagi jika nanti sudah maju? Akan lebih banyak dinamika daerah yang harus diselesaikan.
Idelnya, dalam sebuah kota pasti akan selalu ada 3 (tiga) komponen yang selalu berkaitan erat; Ekonomi, Sosial, Lingkungan. Nah,
kalau pemimpin sudah memprioritaskan yang pertama (ekonomi), maka
siap-siap saja daerah kita akan tumbuh menjadi daerah yang kapitalis dan
liberal, makin hedon. Sebaliknya jika pemimpin kita lebih mengutamakan
komponen Sosial dan Lingkungan, maka kesejahteraan secara ekonomi
dijamin akan lebih mudah dicapai. Investasi yang jauh lebih
menguntungkan dan bersifat jangka panjang tentu ada di bidang sosial dan
lingkungan (ekologi). Yah, itu dia! Heuheu..
Jika
ditanya, apa sebenarnya beda Kota Bima dengan daerah lain, atau bahkan
dengan kota-kota di negara lain? Jawabannya bisa jadi hanya satu, yaitu MENTAL, mental
pemimpin dan masyarakatnya. Di daerah-daerah kita di Indonesia ini,
kalau masyarakat sudah berpikiran maju kadang pemimpinnya yang bobrok.
Kalau pemimpin sudah oke, malah masyarakat yang menjatuhkan dengan
kekolotannya. Apalagi kalau sudah paket double; pemimpin bobrok ditambah dengan masyarakat yang kolot, mau dibawa kemana daerah itu?
Pertama,
penghargaan kita terhadap sejarah dan budaya bisa terlihat dari
perlakuan kita terhadap benda dan situs-situs sejarah. Jika di daerah
lain tempat dengan romantisme sejarah selalu di-upgrade dengan baik setiap tahunnya, sehingga para pengunjung selalu merasa ada sesuatu yang baru dan fresh dari
waktu ke waktu. Lalu bagaimana nasib ASI Mbozo kita? Ibarat kakek-kakek
jompo yang tinggal menunggu hari kematiannya! Syukur saja baru-baru ini
Festival Keraton Nusantara 2014 Bima ditunjuk sebagai tuan rumah,
sehingga ASI Mbozo ada sedikit tersentuh (itu pun dengan dekorasi
seadanya), selama ini dia jablay! Heuheu.. Seharusnya kita sudah tidak
lagi memperdebatkan ASI Mbozo itu asetnya kota atau kabupaten. Kita punya sejarah yang sama, kita bagaikan saudara kembar yang lahir dari rahim ibu yang sama.
Kedua,
tanah lapang yang berfungsi sebagai lahan terbuka multifungsi perlu
diperhatikan sebagai elemen yang termasuk dalam fungsi sosial dan
lingkungan. Tapia pa yang terjadi dengan lahan terbuka kita? Saking
multifungsinya, Lapangan Merdeka kita dipakai sebagai tempat shalat ‘id,
bermain bola, senam, latihan mobil & motor, berjualan, kencan,
buang sampah sisa kencan, buang sampah sisa jualan, dan lain-lain. Mbok
ya ditanami rumput yang baik-baik, kemudian dibatasi aktivitas apa saja
yang boleh dilakukan didalamnya melalui peraturan yang bagus. Kalau
perlu pasang tulisan “Dilarang menginjak rumput, dimakan boleh”. Heuheu. Kalau
pemerintah tidak sanggup memenuhi biaya perawatan taman, gampang saja,
tinggal tarik saja pajak atau CSR dari beberapa perusahaan yang memiliki
kantor sekitar Lapangan Merdeka, jadi bisa sedikit meringankan. Oke kan?
Ketiga, ini
dia yang paling bertolak belakang dengan yang terjadi di Kota Bima.
Orang-orang pada berlomba-lomba meramaikan jalan raya dengan pepohonan
rindang nan hijau, sementara kita malah berpacu untuk membabat habis
pepohonan itu. Saya yakin bahwa setiap kita sudah pernah belajar biologi
dasar yang menunjukkan betapa besar fungsi tumbuhan hijau bagi
simbiosis mutualisme antar makhluk hidup. Tumbuhan-tumbuhan pun memiliki
berbagai spesies yang punya fungsi berbeda dalam bidang arsitektur
landscape. Dan sekarang apa yang kita rasakan? Kita mulai uring-uringan
untuk keluar di siang hari. Mulai masuk jam 10 pagi saja kita sudah
gerah! Kita akhirnya merasakan dampak dari kebijakan yang terlalu
memikirkan sisi ekonomi.
Keempat,
menggelikan jika mendengar cerita ibu tentang Sungai Padolo yang dahulu
begitu bening hingga bisa kita lihat dasarnya. Semua aktivitas MCK
(Mandi, Cuci, Kakus) bisa mengambil air dari sungai yang mengalir itu.
Lalu saya harus menjadi generasi yang hanya bisa membayangkan itu
sebagai cerita indah, dan tidak pernah saya rasakan nikmatnya. Kini,
tulisan “dilarang membuang sampah di sungai” saja terlihat
‘kotor’ ditempeli stiker-stiker anggota partai. Saya menatap sinis.
Bagaimana mungkin sungai ini bisa bersih? Dalam aturannya saja, jarak
rumah dari bibir sungai harusnya lebih dari 15 meter. Namun sekarang
rumah malah di atas sungai langsung. Nanti kalau rumah kebanjiran,
mengungsi, minta bantuan dan uluran tangan pemerintah. Hadeh!
Terakhir,
situasi keamanan kota yang kondusif juga perlu diwujudkan demi menambah
kesan ramah bagi warga pribumi maupun pendatang. Para pemuda diberikan
wadah untuk bekerja, berkreasi, dan berinovasi dalam hal positif.
Misalnya saja, pemuda yang selama ini dikenal sebagai pencuri dijadikan
atlet lari cepat. Pemuda yang dikenal sebagai pemilik senjata api,
direkrut jadi atlet tembak di ajang porprov. Pemuda yang dikenal sebagai
jiwa yang labil dan rentan emosi, disuruh menjadi pelatih beladiri
saja. Heuheu.. Oleh karena itulah, pemimpin tertinggi harus
rela ‘berkotor-tangan’ dan berpeluh lebih banyak dalam kegiatan turun ke
masyarakat, melihat langsung sisi kehidupan yang tiada pernah
terlihat, merasakan langsung perilaku masyarakat yang sulit untuk
dirasakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan meninggalkan komentar anda..
Pasti sangat membangun untuk perbaikan blog ini..