Universitas St. Thomas adalah salah satu perguruan tinggi yang ada di Jepang. Civitas academika ini harus aku katakan sebagai salah satu yang punya kebijakan unik. Bagaimana tidak, konsistensinya disorot setelah berita tentang jumlah mahasiswa yang bersedia kuliah disana hanya terdiri dari satu orang. Hal ini terkait dengan kebijakan pihak kampus sendiri. Pada awal berdirinya mereka hanya membuka program studi Interpersonal dan Pemahaman Lintas Budaya. Prodi ini kurang diminati. Akhirnya pihak kampus menggantinya dengan prodi baru, yaitu Pendidikan dan Ilmu Kesehatan Internasional. Awalnya sih, banyak yang berminat. Namun, prodi yang tidak kunjung mendapatkan lisensi (kalau di Indonesia namanya akreditasi), akhirnya semua mahasiswa pindah dari St Thomas, hingga menyisakan satu orang mahasiswa saja.
Aku tergelitik ketika membayangkan suasana yang tercipta, dimana sebuah universitas hanya mengajar seorang mahasiswa. Tentu saja pikiranku secara langsung akan membandingkan dengan kondisi perkuliahan di Indonesia. Jika di Indonesia, saking banyaknya manusia usia produktif di negara kita ini, hampir setiap universitas negeri maupun swasta tidak pernah sepi dari peminat. Ada saja calon mahasiswa yang mencari tempat kuliah, dimana pun tempat kuliahnya, yang penting bisa dapat ijazah. Jika pun sepi peminat dari kalangan mahasiswa regular, maka sebuah perguruan tinggi swasta kebanyakan akan menyiasati dengan membuka kelas pegawai (ekstensi, kuliah sabtu-minggu saja). Bahkan sudah banyak bertebaran perguruan tinggi swasta yang bisa langsung memberikan ijazah dan proses wisuda dengan membayar sejumlah uang tertentu!
Berkaca pada kebijakan kampus St Thomas di awal pembahasan tadi, dapat dilihat satu perbedaan dengan kampus-kampus di Indonesia. Jika di Indonesia terkesan memaksakan jumlah mahasiswa dengan mendirikan banyak jurusan dalam satu kampus, maka di St Thomas berdiri dengan satu prodi saja. Jika di Indonesia, mahasiswa kadang harus duduk berdesakan dengan rasio luas ruangan dengan jumlah mahasiswa yang terpaut jauh, maka di St Thomas dengan bangunan lumayan besar hanya digunakan untuk satu orang mahasiswa. Bisa dibayangkan bahwa satu orang ini (anggap saja namanya Nakamura), kesepian dan bosan belajar sendiri. Atau mungkin dosennya yang bosan, hanya melihat muka Nakamura setiap hari. Selain itu, Nakamura ini kalau suatu hari mau bolos kuliah, dia tidak bisa melakukan TA (Titip Absen) yang sudah menjadi tren di kalangan mahasiswa. Ketika waktu istirahat kuliah, Nakamura harus membuka dan memakan bekalnya seorang diri, tanpa ada mahasiswa lain di sisinya. Dan sudah bisa dipastikan, kantin yang biasanya nangkringdi lobi kampus sudah tidak beroperasi lagi. Mereka tentu tidak mau bangkrut dengan kumungkinan pelanggan mereka hanya seorang Nakamura dan pegawai administrasi kampus.
Setidaknya dari uraian diatas, bisa dilihat perbedaan komitmen antara pemangku kepentingan perguruan tinggi di Jepang dengan negara kita. Mereka tetap mengutamakan kualitas dibanding dengan hanya sekedar kuantitas. Selain itu, petinggi-petinggi kampus terus bersemangat mencari solusi pemecahan masalah untuk kampus mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan meninggalkan komentar anda..
Pasti sangat membangun untuk perbaikan blog ini..