Cermin dari Kota-Kota Besar
"Teknologi bisa membuat orang cerdas, tapi juga bisa membuat orang tetap bodoh. Yang cerdas adalah teknologinya, tapi orangnya tetap bodoh." (Yasraf Amir Piliang, Budayawan)
Saya rasa kita sudah tidak asing dengan frasa "Smart City" sebagai bagian dari ikhtiar pemerintah dalam membentuk kota-kota di Indonesia menjadi lebih baik. Sederhananya, Smart City adalah konsep kota yang ingin memudahkan setiap aktivitas masyarakatnya melalui sinergi dengan teknologi modern. Konsep ini sudah menjadi formula yang banyak diadopsi oleh beberapa kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Makassar dan Malang.
Seperti apakah penerapan-penerapan konsep Smart City di beberapa kota itu? Sebut saja pemasangan jaringan CCTV di berbagai sudut kota, pembayaran tiket dengan kartu, pemantauan petugas kebersihan, berbagai aplikasi ojek dan taxi Online, pengadaan titik-titik hotspot di taman kota, pembayaran pajak Online, E-samsat, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Menurut survei yang dibawahi oleh Komisi I DPR bahwa pengguna jaringan internet di Indonesia sudah tembus di angka 80 juta orang. Dengan kata lain, 80 juta orang ini tidak lagi hanya menggunakan fasilitas SMS dan Call saja, tetapi sudah lihai dalam berkirim pesan Facebook, WhatsApp, WeChat, Line, LinkedIn, Path, dan lain sebagainya. Sebagian lagi tidak hanya membaca koran versi cetak, namun sudah sangat gemar membuka situs koran versi online nya. Ini artinya apa? Animo masyarakat terhadap informasi digital semakin meningkat, sehingga mendukung diterapkan nya konsep Smart City ini, yang sarat akan aroma teknologi.
Fakta kedua adalah, dari 80 juta pengguna jaringan internet tersebut, 85 persennya adalah pemuda. Hal ini tentu mengisyaratkan bahwa konsep Smart City akan lebih mudah teraplikasi dalam semangat dan gairah para pemuda. Misalnya saja penerapan e-monitoring di Surabaya rintisan Walikota Risma, salah satunya pemantauan sampah hingga menuju TPA. "Dalam pemantauan sampah ini saya harus tahu sampah yang masuk ke TPA itu setiap hari ada berapa ton. Kemudian nomor truknya berapa saja. Dari mana saja truk itu. Nah saya harus memantau seperti itu," begitu kira-kira kalimat dari Ibu Risma. Nah, hanya unsur pemuda yang akan sangat semangat menjalani operasional seperti itu. Kota lain seperti Bandung tidak mau kalah dengan Konsep Bandung Technopolis-nya, Yogyakarta dengan taman pintar-nya, Malang dengan E-Samsat nya, Jakarta dengan ribuan kamera pemantau-nya, Makassar dengan berbagai teknologi terbarukan nya.
Aplikasinya di internal Kota Bima
Saya bukan menjelekkan, tapi memang harus membandingkan apa yang ada di kota kita tercinta ini. Para pemimpin kita sudah berada di jalur yang benar untuk komitmen menjadikan Kota Bima menjadi salah satu pengguna konsep Smart City. Kenapa saya katakan demikian? Baru-baru ini Pemkot kita berhasil meraih penghargaan dari PT Telkom karena dianggap punya itikad baik untuk mewujudkan konsep Smart City. Kok bisa? Ya, langkah awal kecil dengan menyediakan beberapa titik hotspot area di dalam kota adalah termasuk pendukung konsep Smart City. Menurut walikota dan PT Telkom daerah Bima, mereka masih mau nambah lagi titik-titik nya, sekalian mengadakan pustaka digital. Yeah, saya rasa ini sudah on the track, walaupun masih jauh tertinggal dari kota-kota besar diatas.
Bagaimana bisa hanya dengan menempatkan Wifi gratis lantas Kota Bima langsung menerima penghargaan Smart City? Bisa saja! Sebab elemen Smart City ada 6 macam : masyarakat penghuni kota, lingkungan, prasarana, ekonomi, mobilitas, dan Smart living. Ada beberapa level dalam sebuah kota pintar (menurut Taufik ismed):
= Level 0 : masih kota biasa, ada potensi menjadi Smart City
= Level 1 : mulai menjadi Smart City, tersedia jaringan internet secara menyeluruh
= Level 2 : setiap kota mulai terhubung, Metropolitan Area Network
= Level 3 : bertukar informasi antar kota secara Online
= Level 4 : tiap kota memiliki informasi penting dan unik tersendiri dan nilai penting di dalamnya.
= Level 5 : integrasi yang baik antar kota, kombinasi nomor 2,3, dan 4
Jika sebuah kota sudah memfokuskan diri pada satu elemen diatas berarti dia sudah punya komitmen untuk ke arah 'kota pintar'. Kota Bima walaupun masih abu-abu, namun bisa ditebak bahwa kota ini ingin memfokuskan diri pada bidang prasarana teknologi. Mungkin niatnya ingin ke arah Seoul, sebagai Kota pintar dengan penyedia koneksi internet tercepat di dunia, atau seperti Kopenhagen yang sangat peduli dengan kebersihan lingkungannya? Amin.
Perlu saya tekankan bahwa penerapan konsep apa pun itu harus melibatkan jiwa totalitas. Jangan mau kota kita dianggap berjalan di ranah abu-abu. Jika konsen pada satu elemen bukan berarti elemen lain dipinggirkan. Sampah masih menjadi momok menakutkan buat kita. Pelayanan rumah sakit masih membuat 'trauma'. Minimnya pantauan pencegahan untuk tindak kejahatan masih memicu rasa tidak aman. Sanitasi dan drainase nyaris tersendat-sendat pengawasannya. Lowongan sangat mencekik saking sedikitnya lapangan pekerjaan. Semua itu adalah masalah sekaligus berkah, agar kita bisa sama-sama berpikir : "siapa kita? bagaimana kita? Maunya dibawa kemana?"
Integrasi Antar Elemen Kota Pintar
Saya tadi sudah membahas apa yang telah dilakukan oleh Kota Bima dalam upaya meraih predikat Kota Pintar. Beberapa taman kota telah disulap menjadi tempat tongkrongan asyik buat para muda-mudi, berkat sarana wifi gratis di sekitarnya. Bagi yang ingin berhemat paket data mungkin akan sering datang ke taman (lapangan). Buat yang lagi galau mungkin juga akan lebih sering datang dan duduk menyendiri sambil update status di medsos. Paling penting dari itu, saya hanya ingin 'menyentil' sedikit tentang kebiasaan kita jika tersedia jaringan internet. Kita semua akan terbiasa jadi "autis" untuk selalu melihat Smartphone. Kita lupa bahwa fungsi utama taman kota atau pun lapangan adalah untuk sarana interaksi antar sesama, sebagai tempat menghirup udara segar di tengah deru asap kendaraan bermotor yang tak henti-hentinya. Sekumpulan anak muda akhirnya sering datang ke taman, duduk berjejer di pinggir, masing-masing memegang Smartphone, akhirnya tidak ada interaksi verbal dan fisik sama sekali sampai akhirnya mereka pulang. Setiap habis subuh bukannya jogging dulu sedikit sebelum "nyambung" wifi, malah hingga pulang tak ada aktivitas otot yang berarti.
Inilah yang ingin saya ketengahkan seperti ungkapan salah seorang budayawan di awal tulisan saya. Teknologi tidak melulu bisa membuat seseorang atau pun kota menjadi pintar, bahkan dia cenderung membuat bodoh. Kenapa? Jika pemuda kemudian telah dikendalikan oleh teknologi maka selamanya dia akan jadi budak. Sementara jika pemuda bisa mengendalikan teknologi tetap di bawah norma-norma yang seharusnya, maka teknologi akan "patuh" padanya.
Komitmen menerapkan konsep Smart City perlu mempertimbangkan kesiapan masyarakat, sebab masyarakat penghuni kota adalah salah satu elemen paling penting untuk mewujudkan konsep itu sendiri. Interaksi sosial (nyata) penting untuk tetap dijaga mengalahkan nikmatnya interaksi di dunia Maya. Bisa saja generasi kita berkembang menjadi semakin apatis dan anarkis oleh sebab pengaruh candu sosial media.
Ayok kita dukung sepenuhnya kota kita menerapkan secara utuh konsep Smart City untuk kemudahan dan kemajuan peradaban kota yang lebih baik. Amin.
Selamat pagi, selamat berakhir pekan. Jika berkenan tinggalkan Like, Comment, dan share.. makasih..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan meninggalkan komentar anda..
Pasti sangat membangun untuk perbaikan blog ini..