PENDAHULUAN
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengatakan dalam pidatonya di Bulan Agustus, bahwa angka kemiskinan di negara Indonesia tercinta medio Maret 2013 menunjukkan penurunan yang signifikan dibandingkan tahun 2004, yaitu sebesar 11,37 persen. Tahun 2004 persentase kemiskinan sebesar 16,16 persen, ada penurunan sekitar 5,29 persen. Sejalan dengan hal tersebut, disampaikan pula bahwa angka rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia periode 2009-2013 sebesar 5,9 persen per tahun (Harian AntaraNews, 16 Agustus 2013).
Fakta tersebut tentu sebuah prestasi yang membanggakan bagi pihak mana pun yang peduli terhadap perkembangan ekonomi Indonesia, tetapi mungkin tidak demikian bagi sekitar 28 juta penduduk yang mengalami langsung arti dari sebuah kemiskinan dalam hidupnya. Betapa tidak, indikator utama yang digunakan oleh pemerintah dalam mengukur tingkat kemiskinan penduduknya berupa kemampuan dalam pemenuhan kebutuhan dasar (sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan). Padahal, secara teori masyarakat miskin memiliki kategori atau klasifikasi sesuai dengan kemampuannya, yaitu sangat miskin, miskin, prasejahtera 1, prasejahtera 2, dan prasejahtera 3. Apakah yang dimaksud oleh pemerintah dengan persentase kemiskinan itu hanya masyarakat sangat miskin atau mencakup semua klasifikasi tersebut? Apakah bantuan pemerintah terhadap masyarakat miskin sudah menyentuh aspek kemandirian dan pemberdayaan, atau hanya memampukan masyarakat dalam waktu yang sementara seperti memberikan bantuan tunai (BLSM, BSM, BOS, dan lain-lain)? Apakah langkah kongkrit pemerintah dalam penyediaan infrastruktur dasar seperti permukiman, air bersih, sanitasi, dan kesehatan?
Masyarakat miskin dalam kategori apa pun perlu mendapat perhatian yang lebih mendalam, tidak hanya melulu diukur dengan tingkat pendapatan dan pemenuhan kebutuhan pokok. Mereka membutuhkan kemandirian dan pemberdayaan yang secara simultan menyentuh sisi psikologis, sehingga mampu merubah kebiasaan dan pola hidup sehari-hari. Mengapa aspek kemandirian perlu ditekankan? Menurut Bradshaw (2006) penyebab kemiskinan terdiri dari 2 macam, yaitu kemiskinan secara kultural dan struktural. Kemiskinan kultural (budaya) terjadi karena kelemahan individu dan budaya, seperti kurangnya tanggung jawab, pemborosan, moral, serta rasa malas. Sementara, kemiskinan struktural disebabkan oleh diskriminasi sosial, ekonomi, politik, dan kondisi geografis wilayah. Jadi, kemiskinan kultural dan struktural yang dialami oleh jutaan masyarakat di Indonesia perlu mendapat perlakuan khusus.
Berangkat dari uraian tersebut, dan juga menimbang salah satu strategi yang diajukan dalam Instruksi Presiden Nomor 03 Tahun 2010 untuk Indonesia dalam mempercepat tercapainya tujuan Millenium Development Goals (MDGs) di Tahun 2015, yaitu tentang Program Pemberantasan Kemiskinan dan Kelaparan, maka sebaiknya diterjemahkan dalam langkah-langkah kongkrit. Salah satu langkah yang dapat dilaksanakan dalam mendukung program itu adalah pengelolaan kawasan kumuh yang tersebar di seluruh pelosok tanah air.
PEMBAHASAN
Permukiman yang kumuh dapat dianggap sebagai ciri atau kenampakan fisik dari predikat kemiskinan. Kekumuhan pada umumnya terjadi karena peruntukan lahan yang tidak sesuai dengan zonanya, kondisi rumah yang tidak layak, fasilitas air bersih dan sanitasi yang tidak sesuai standar kesehatan, dan aksesibilitas yang kurang memadai. Permasalahan ketidaksesuaian peruntukan lahan permukiman disebabkan oleh lahan perkotaan telah penuh (overload) dan tidak memberikan ruang bagi mereka yang tidak memiliki biaya, sehingga muncul kantong-kantong permukiman kumuh di kolong jembatan, sempadan sungai, sempadan rel kereta api, tepi laut, bahkan pinggir perbatasan antar negara. Bangunan rumah hunian seadanya dan tidak memperdulikan aspek kelayakan, biasanya rumah-rumah kumuh dibangun dengan bahan semi dan non-permanen. Keberadaan permukiman kumuh yang menyalahi aturan zonasi ini sudah tentu akan menelurkan masalah yang lebih pelik, yaitu mengenai jalur aksesibilitas serta penyediaan utilitas dasar seperti air bersih, listrik, dan sanitasi. Apa yang bisa disediakan oleh pemangku kepentingan jika mereka telah tinggal di lahan yang tanpa kejelasan sertifikat hak milik? Siapa yang berhak menyediakan akses menuju permukiman yang bukan pada tempatnya? Jika pun disediakan, maka sama saja pemerintah membenarkan atau merestui penggunaan lahan yang salah untuk kegiatan masyarakatnya.
Pendekatan yang dapat dilakukan dalam rangka menekan angka permukiman kumuh adalah berupa Community Based Development (CBD). Pendekatan ini mengamanatkan partisipasi aktif dari masyarakat dalam kegiatan perencanaan pembangunan yang diperuntukkan bagi mereka. Pendekatan itu kemudian dilengkapi dengan kebijakan di bidang penataan permukiman kumuh, i) kebijakan yang diperuntukkan bagi lahan permukiman kumuh, ii) kebijakan yang diperuntukkan bagi infrastruktur dasar (air bersih, sanitasi, jaringan jalan, drainase). Penataan permukiman kumuh yang telah sesuai dengan peruntukannya dilakukan dengan revitalisasi dan rehabilitasi kawasan, sedangkan untuk permukiman kumuh yang lahannnya masih menyalahi zonasi keruangan dilakukan upaya relokasi dan pemberian hak kepemilikan rumah bagi mereka yang tidak mampu. Selanjutnya pengadaan infrastruktur sebisa mungkin untuk melibatkan masyarakat dalam prosesnya, antara lain pembangunan septict tank komunal, toilet umum, IPAL bersama, pompa dan penampungan air umum, drainase, dan pavingisasi jalan lokal. Utilitas-utilitas dasar yang dibangun dengan partisipasi masyarakat cenderung lebih terpelihara karena pengawasan dan rasa memiliki bersama.
Program penanganan permukiman kumuh memakan biaya yang tidak sedikit. Pemerintah tidak harus berjuang sendiri dalam pencapaian target ini, tetapi bisa menggandeng pihak lain seperti swasta dalam kerangka public-private partnership (PPP). Kerjasama yang bersifat mutualisme antara ketiga pemangku kepentingan, yaitu pemerintah, swasta, dan masyarakat akan merubah paradigma lama pembangunan. Sejalan dengan hal itu, menurut Prof. DR. Eng. Ir. Budi Prayitno (Kepala PUSPERKIM UGM, dalam paparan tentang Green Design Penanganan Permukiman Kumuh 2020) bahwa ada 2 kata kunci yang dapat mendorong akselerasi penanganan kawasan kumuh; i) paradigma baru terhadap hak bermukim masyarakat, ii) peningkatan kapasitas pemangku kewajiban. Hak atas permukiman yang layak telah diatur dalam konstitusi negara, yaitu antara lain Pasal 28H ayat 1 UUD 1945, UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, dan Pasal 25 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
PENUTUP
Keberhasilan pencapaian target MDGs diperoleh dengan kesuksesan dalam penerapan strategi sampai ke menyentuh aspek psikologis. Masyarakat perlu pemberdayaan, bukan sekedar sandang, pangan, papan. Pemerintah perlu membuka diri dalam kerjasama, tidak hanya memaksakan idealisme ekonomi semata.
REFERENSI
Ratna, Heppy. 2013. Angka Kemiskinan 2013 Tercatat 11,37 Persen.
Jakarta : Harian AntaraNews. http://www.antaranews.com/berita/390875/angka-kemiskinan-2013-tercatat-1137-persen. Diakses tanggal 31 Oktober 2013.
Bradshaw, Jonathan. 2006. Child Poverty and Well Being. Inggris :
University of Plymouth Press.
Presiden Indonesia. 2010. Instruksi Presiden Nomor 03 Tahun 2010 untuk
Indonesia Dalam Mempercepat Tercapainya Tujuan Millenium Development Goals
(MDGs) 2015. Jakarta.
KemenPU. 2005. Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 498 Tentang
Pedoman Penerapan Teknologi Tepat Guna Bidang Pekerjaan Umum. Jakarta:
KemenPU Press.
Prayitno, Budi. 2012. Rencana Aksi Percepatan Indonesia Bebas Kumuh
2020, Strategi Implementasi dan Peta Jalan. Jakarta: Pusperkim UGM. http://pusperkimugm.org/home/2013/02/grand-design-penanganan-permukiman-kumuh-2020/. Diakses tanggal 31 Oktober 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan meninggalkan komentar anda..
Pasti sangat membangun untuk perbaikan blog ini..