Sore ini langit berhiaskan
awan kelabu, mendung merajai suasana duka. Wajah-wajah suram sedang berdiri
menatap sepasang nisan dan tanah gembur yang baru saja ditimbun di pemakaman
umum kampung kami. Aku mengenali dua wanita yang masih tetap bergeming, tidak
beranjak dari sini, sementara orang-orang sudah pulang satu persatu dengan
teratur. Mereka berdua istri dan ibuku, dua wanita yang paling kusayang di
dunia. Siapa yang mereka tangisi? Aku coba memanggil mereka, kusentuh pundak
istriku, namun tidak ada respon sama sekali. Aku ganti meraih tangan ibuku,
beliau juga tidak menoleh sedikit pun. Aku ingin mengajak mereka pulang. Melihat
mereka seperti itu, aku pun ikut memperhatikan kuburan itu. Aku terkejut bukan
kepalang, namaku tertulis jelas di permukaan batu nisan, tanggalnya pun
menunjukkan waktu hari ini! Ternyata aku telah meninggal. Kuburanku yang kini
mereka tangisi. Gerimis mulai menitik menghajar debu-debu tanah pemakaman. Aku
tidak merasakan dinginnya air hujan. Jadi benarlah bahwa aku sudah tidak di
dunia lagi. Aku mulai merasakan takut yang luar biasa. Satu sisi aku mulai
meraba apa gerangan yang telah terjadi sebelumnya.
*****
Nisrina Ayu Dewi, wanita anggun
yang kunikahi tiga tahun yang lalu. Dia seorang perawat di sebuah rumah sakit
swasta di kota kami. Perkenalanku dengannya berawal sejak aku memeriksakan diri
ke rumah sakit. Saat itu aku mengeluh sering sesak napas. Nisrina-lah yang
dengan sabar merawatku, sangat tenang menasehati agar aku mengurangi kebiasaan
merokok. Aku sangat nyaman berada dekatnya, membagi cerita tentang kebiasaan merokok-ku.
Aku merokok sejak SMA hingga kini usiaku beranjak kepala tiga. Nisrina pun
setuju kunikahi dengan syarat aku harus berhenti merokok. Sebagai orang
kesehatan, dia paham betul ancaman dari benda yang bernama rokok. Dia tidak
ingin rumah tangga kami nanti harus